Ayu paginya mendapati chat dari Riany di WhatsApp. Isi chat tersebut mengatakan bahwa Riany dan Rianty akan menemuinya untuk membahas video untuk sidang kemudian hari.
Kita diskusikan di kampus saja.
From:
Riany Cathrine Gloria
"Baiklah," katanya yang hanya membacanya. Meraih tas dan beranjak menuruni tangga. Hari ini ia memutuskan untuk sarapan di kantin. Tidak lupa Gino senantiasa masuk ke dalam tas sebelum berangkat. Ayu keluar dari teras, melihat abangnya tampak sedang memanasi mobil melayang merah-nya di garasi.
"Abang?" Mengetahui Rangga mengecek keadaan dalam mobil."Abang ke kampus?"
Rangga keluar dari dalam mobil."Ya, aku ke kampus, kok."
Ayu menatap lengan pemuda itu."Tapi, lengan Abang..."
"Ah, enggak apa-apa. Sudah agak mendingan."
"Itu karena salahku," cicit Ayu pelan.
Tangan kanan Rangga mengelus pucuk rambut adiknya."Enggak, Ay. Setiap penyihir pasti punya salah, kan? Asalkan kamu bisa menggunakan senjata sihir aku cukup senang. Ayo, masuk," ajaknya.
Ayu menurut saja. Masih menatap abangnya yang hanya memakai kaos. Kaos berwarna ungu dan celana panjang berwarna abu-abu namun terkesan sopan. Mobil melayang melesat keluar, otomatis pagar terbuka lebar. Mobil melayang melesat keluar menuju jalan raya. Rangga dengan santai menyetir.
"Sudah bereskah bikin video buat sidang?" Membuka topik pembicaraan.
"Belum."
"Bagaimana soal syal itu? Kamu kepingin syal kayak punya Vir—eh, VITTO..."
"Enggak," jawab Ayu malas.
Lagi-lagi abangnya membahas soal syal itu lagi. Bukannya membuatnya sedih, namun enek yang ada."Jangan bahas soal itu lagi, Bang."
"Ya, sudah. Tapi, soal absen yang diberikan Virgo bagaimana?"
"Ah," kata Ayu, seakan teringat."Itu harus dicek, ya?"
"Iyalah. Biar tahu mana mahasiswa sama mahasiswi yang enggak absen. Kamu harus belajar mengenai karakter semua mahasiswa dan mahasiswi, Ay."
"Di kampus kan, banyak. Mana aku tahu semua karakter mereka. Kenapa Abang ngomong kayak begitu?"
"Siapa tahu kamu jadi rektor nantinya."
"Apa? Aku enggak mau jadi rektor!" sahut Ayu."Aku mana pantas mendapatkan jabatan sebesar itu..."
"Pantas. Kalau kamu mau berusaha. Makanya, Abang ajarin kamu mulai kemarin."
Ayu cemberut. Matanya menatap ke arah jendela mobil. Banyak sepeda melayang dan mobil melayang yang berlalu lalang melewati mereka. Selama dua menit bahkan satu jam, mereka dilanda kemacetan. Setelah kemacetan merenggang, akhirnya mereka bisa keluar dari panjangnya mobil-mobil melayang yang kembali berlalu lalang. Hingga menuju arah kampus, gerbang otomatis akan tertutup. Urung, saat Rangga melesat masuk saat salah satu dari robot satpam akan menyapa. Mobil melayang melesat ke arah area parkir khusus mobil. Tepat di salah satu ada tanah lapang kosong, Rangga berbelok memarkirkannya.
"Akhirnya, sampai!" Ayu turun duluan saat pintu terbuka otomatis. Beranjak menuju arah yang berbeda sembari mengecek WhatssAp-nya.
"Ay, mau ke mana?" tanya Rangga keluar dari mobil.
"Mau ketemu Riany sama Rianty di kantin!" jawab Ayu, berjalan ke arah salah satu gedung. Kantin Desain Sihir.
Sementara Rangga beranjak ke arah lain, menuju lorong. Memasuki lorong, dia melihat Virgo bersama Iyan arah yang sama.
"Rektor Rangga," sapa Iyan."Selamat pagi."
"Ah, selamat pagi," jawab Rangga.
Virgo menatap lengan rektor muda itu yang dibalut perban."Kenapa lengan Anda?"
Rangga menatap lengannya."Ini karena insiden kecil."
"Insiden kecil? Kalau menurut saya ini luka parah, Pak," kata Virgo.
"Ya, mau bagaimana lagi. Luka
begini..."
"Tapi, lengan Anda baik-baik saja, kan?"
"Baik. Walau masih agak perih. Seenggaknya tadi bisa menyetir..."
"Untunglah Anda baik-baik saja."
Mereka bersama melanjutkan langkah. Virgo dan Iyan tidak memasuki kantor dosen melainkan menuju kelas masing-masing untuk mengajar. Rangga sendiri menuju kantornya. Di kantin, Ayu masuk dan tampak teman kembarnya sudah datang lebih dulu. Mereka seperti membahas sesuatu. Di meja makan di atasnya ada sebuah laptop dan buku catatan.
"Maaf, telat! Macet!"
Riany dan Rianty mendongak."Enggak apa-apa," ucap mereka bebarengan.
"Kalian bahas apa dulu, nih?"
"Bukan sesuatu yang penting. Ayu, kita sudah isi video tutorialnya. Nah, tolong kamu cek, apakah video ini sudah benar. Nanti, sisanya kamu tinggal tambahkan," pinta Rianty."Kamu pesan makanan sana," suruhnya.
"Kalian belum pesan makanan tadi?"
"Belum. Kami belum pesan makanan. Jadi, kami menunggumu."
Ayu akan duduk namun tidak jadi. Segera ia memesan makanan di depan.
"Katanya, Bang Oka kemarin pulang, di koran diberitakan ada seseorang yang diam-diam menyelusup ke area pertokoan ramuan," Kata Rianty.
"Aku baca di internet juga, polisi sihir belum dapat melacaknya. Padahal, orang yang menyelusup ke dalam toko tidak meninggalkan jejak. Bayangkan! Di dalam toko semuanya dalam keadaan bersih!"
"Berarti penyelusup yang sudah profesional."
"Siapa kira-kira ya, orang yang menyelusup itu?"
"Enggak tahu. Padahal berita itu kemarin baru disiarkan."
"Apa jangan-jangan penyelusup itu mengincar barang atau ramuan sesuatu?"
"Entah."
Ayu kembali menghampiri meja. Menggeser kursi, duduk."Aku mendengar, kalian lagi ngomongin seseorang."
"Penyusup," kata Riany.
"Penyusup? Siapa?"
"Itu dia. Kami enggak tahu. Memangnya kamu belum tahu beritanya?"
"Aku enggak tahu."
"Coba kamu baca di internet. Sudah muncul beritanya. Heboh, lho."
Ayu membuka internet di handpone.Mencari berita yang kemarin heboh sampai sekarang. Berita yang dicarinya muncul, membacanya.
Penyusup Andal Tanpa Jejak dan Merampok Ramuan di Toko Ramuan Hornes.
Terjadi perampokan di salah satu toko. Toko Ramuan Hornes, pada Sabtu, 19/04/23. Dikabarkan saat perampokan datang, toko dirampok saat malam hari dan tanpa diketahui oleh sang pemilik toko. Pemilik toko penyihir wanita paruh baya menjelaskan bahwa di tokonya saat dimasuki tak ada barang jatuh maupun pecah. Namun, yang jadi keanehan, semuanya dalam keadaan bersih dan rapi. Keanehan tersebut tidak disadari oleh Hornes Gua, yang malam hari tertidur pulas. Padahal kamar sang pemilik terhubung oleh toko. Polisi sihir masih melacak keberadaan sang pelaku. Saat diperiksa, ternyata di dalam toko, ada beberapa ramuan yang dicuri. Dan, ramuan itu penting dan mahal.
"Kok bisa?" Ayu selesai membaca, menutup handpone-nya."Malah mencuri beberapa ramuan yang penting lagi."
"Yang jadi pertanyaanku, apakah si perampok adalah seorang penyihir? Kalau dia penyihir, kemungkinan besar, ya itu. Karena dia mencuri ramuan yang penting."
"Di toko itu kan, bila menjual ramuan kebanyakan ramuan mahal. Dan kebanyakan ramuan yang di jual di toko itu pembuatannya lama. Itu pun enggak sampai setahun."
"Pastinya dia mencuri ramuan penting untuk melakukan aksinya yang selanjutnya. Kalau dibiarkan, ukh, pasti membawa mara bahaya..." Ayu memikirkannya pusing sendiri.
"Bisa jadi, Yu! Bahaya kalau dibiarkan. Semoga polisi sihir bisa mencari jejak sang pelaku sampai ketemu."
"Semoga saja," kata Rianty,"video ini bagaimana? Menurutmu sudah cocok belum?"
Ayu menatap video yang ada di layar laptop milik salah satu si kembar."Sudah bagus. Cocok. Tinggal aku tambahkan saja." Menancapkan flash disk ke lubang di samping laptop. Flash disk langsung terhubung. Ia membuka beberapa, refrensi."Aku tambahkan ini, ya." Meng-upload sebuah gambar kupu-kupu warna biru transparan.
Riany dan Rianty menatap bersamaan."Wah, bagus itu."
Robot pelayan melayang menghampiri meja mereka. Membawa nampan lumayan besar. Mereka bertiga menggeser laptop dan barang lainnya agar leluasa robot tersebut meletakkan pesanan mereka. Pesanan mereka hari ini adalah sandwich daging dan segelas susu hangat. Di kantin, terutama desain di jurusan Desain Sihir, sandwich buatan kantin di situ terkenal enak. Beberapa sandwich dengan varian isian lengkap. Ayu dan teman kembarnya paling memfavoritkan sandwich daging. Seperti yang dipesan mereka sekarang. Cuaca berubah panas kala siang menjelang hingga tepat pukul 10.00, mereka bertiga beranjak dari kantin seraya membayar pesanan mereka. Ketiganya berpisah saat sang abang si kembar menjemput mereka. Saat menceritakan, Oka kelihatan senang mendengarnya.
"Abang bangga pada kalian bertiga," ucap Oka. Mereka sekarang sudah berada di lorong.
Ketiganya meringis.
"Bagaimana kabar Rangga?"
"Abang baik, kok," kata Ayu."Bang Oka, enggak mampir dulu ke kantor?"
"Enggak. Terima kasih. Semoga sidangnya lancar, ya. Nah, ayo, kita pulang," ajak Oka kepada dua adik kembarnya.
Riany dan Rianty berpamitan kepada Ayu. Mereka berpisah. Ayu seakan teringat, ia ingin mengunjungi perpustakaan. Ia penasaran soal cerita Rangga tentang si pemilik Gino terdahulu. Melewati lorong menuju perpustakaan. Di perpustakaan ada dua pintu. Pintu pertama khusus membahas sihir terlarang dan pintu kedua, khusus para mahasiswa dan mahasiswi untuk mencari bahan refrensi. Pintu pertama harus mendapatkan izin terlebih dahulu bila ingin meminjam buku.
"Kita mau ke mana?" tanya Gino memlelihatkan sedikit mukanya.
"Kita mau ke perpustakaan," jawab Ayu menelusuri lorong. Banyak mahasiswa dan mahasiswi lewat.
"Ke perpustakaan? Untuk apa?"
"Mau mencari sesuatu."
Tepat di dekat tangga menuju lantai tiga, melihat papan gantung bertuliskan "Libary Room" memasuki salah satu dari ruangan tersebut. Pintu dibuka, di sudut ruangan terdapat dua penjaga. Di antara mereka adalah robot dan satu penyihir perempuan sekitar berumur paruh baya. Walau usianya hampir 50 tahun, penyihir tersebut masih terlihat awet muda. Penyihir itu hanya memandang Ayu sebentar dan kembali pada bacaan korannya. Ayu memasuki di antara banyaknya rak-rak buku.
Gino melihat sang master menulusuri rak-rak buku."Kamu itu mau mencari buku apa, sih?"
Ayu menempelkan telunjuknya ke mulut."Ssst... Tuan Gino jangan berisik... Di sini dilarang bicara," bisiknya."Tuh, lihat, ada papan larang di sana," tunjuknya di dinding di antara rak buku.
Gino menurut. Dia langsung bungkam.
Ayu melanjutkan menelusuri rak-rak buku. Di antara buku, ia menelusuri rak banyaknya yang menyimpan buku tentang penyihir kuno. Menatap di antara tumpukan buku yang tersimpan rapi. Matanya menangkap buku bersampul cokelat namun masih tetap terawat. Meraihnya dan membawanya menuju bangku dan meja yang sudah disediakan di situ. Menggeser kursi, duduk, meletakkan tas dan buku tersebut di atas meja. Gino di dalam tas melihat penasaran. Ayu membuka bukunya perlahan, melihat daftar isi. Mencari nama-nama penyihir agung yang dulunya semasa hidupnya pernah berjasa. Tangannya menelusuri setiap daftar, menemukan sesuatu yang membuatnya tertarik lalu membukanya, mencari halamannya.
"Mungkin ini," gumamnya pelan. Membaca judul halaman tersebut.
Para Penyihir Agung yang Berjasa
Melanjutkan membaca. Di halaman yang ia baca, terdapat gambar-gambar para penyihir. Satu halaman yang membuat dirinya penasaran. Di sana tertulis; sebuah kotak penyimpan berbagai macam senjata-senjata sihir dan dijuluki sang pembuat senjata terhebat. Hingga senjata-senjata sihir di zamannya mulai bermunculan hingga digunakan para penyihir masa kini.
Ayu membuka halaman berikutnya, disertai gambar seorang penyihir dengan kharisma yang memesona dan berwajah tampan dengan memakai jubah berwarna biru sebiru lautan. Tampak penyihir itu disegani dan dihormati. Menatap lekat-lekat gambar itu. Membuat bulu kuduknya merinding seketika. Seketika teringat sosok pria yang pernah memberikan Gino padanya di depan rumah.
"Ini... Beneran pemilik Tuan Gino?" suara masih berbisik, tidak percaya saat melihat gambarnya.
Benar. Saat ditatap lekat, pria di gambar itulah yang pernah ditemuinya.
"Yang benar saja?" katanya masih tidak percaya.
Gino menatapnya, lalu menatap buku yang dibacanya.
"Kenapa kaget begitu?"
"Saya masih belum percaya," kata Ayu.
"Belum percaya kenapa?"
Ayu memperlihatkan buku itu kepada Gino."Tuan, pernah lihat orang ini bukan?"
Gino terdiam sebentar.
"Kayaknya saya pernah ketemu orang ini. Entah di mana."
"Terus?"
"Orang ini dulu senang menyendiri. Kamu tahu, kan, orang ini dulu tinggal di tengah hutan..."
"Masa Tuan enggak ingat siapa orang ini?"
"Saya enggak ingat siapa dia. Tapi, saya pernah lihat dan bertemu orangnya langsung."
"Sebelum orang ini enggak ada, Tuan Gino dulunya disimpan di mana?"
Gino berusaha mengingatnya.
"Dulu, ya, saya tuh disimpan di sebuah tempat... Tempat itu di bawah—mungkin semacam ruangan rahasia..."
Ayu menyimak.
"Ruangan itu hanya orang ini yang dapat memasukinya. Di sana dulu, banyak barang-barang eh bukan, kayak senjata begitu... Yah, semacam itulah..."
"Benar apa yang diceritakan abang waktu itu," bisik Ayu.
"Mau apa cari orang ini?"
Ayu teringat saat pertama kali bertemu pria tampan itu. Tidak segan-segan memberikan Gino padanya. Lalu, bagaimana pria itu tahu jika dirinya sama sekali tidak bisa menguasai sihir senjata? Padahal, sesuai kenyataannya pria yang termasuk penyihir agung telah lama meninggal? Mengingatnya bulu kuduknya meremang kembali. Apakah arwah pria itu masih bergentayangan? Itulah sekarang yang dipikirkannya. Dengan alih-alih membawa sebuah kotak ajaib—multifungsi seperti Gino. Saat bertemu dengannya, ia sama sekali tak merasakan apa-apa. Takut pun tak ada. Ia berpikir pria itu hanya sekadar lewat dan memberikan Gino padanya untuk dijaga.
"Kenapa?"
"Enggak. Tapi, kalau saya ingat pertama kali, dia orang baik. Dan, mungkin saja, arwahnya ingin membantu saya."
"Hah?"
"Itu membuat saya masih penasaran. Kenapa Tuan tak mengingatnya, ya?"
"Enggak tahu."
Suasana kampus masih terasa. Mahasiswa dan mahasiswi berlalu-lalang keluar dari kelas masing-masing.
"Bentar lagi skripsi, ya, kita," ucap teman VITTO, menuruni tangga.
"Iyalah. Harus disiapkan mulai sekarang. Kita harus mencicilnya. Makanya, kita ke perpustakaan," jawab VITTO.
"Perpustakaan memang sudah dibuka? Terakhir ke sana tutup. Karena penjaganya sedang ada urusan di luar kota."
"Kita lihat saja dulu."
"Enggak, ah. Kamu sendiri saja, aku mau ke kantin. Nanti enggak ada kelas, kan?"
"Enggak ada," kata VITTO.