Isi pesan itu ternyata dari VITTO. Ia tersenyum, namun senyumnya berubah kala mengingat kejadian saat Virgo mengatakan syal pemberiannya itu dibuang lalu diberikan kepada sang adik. Membalasnya saat melangkah menaiki tangga.
Belum.
Ting!
Pesan dikirimnya.
Saat memasuki kamarnya, melepas baju. Menatap dirinya di depan cermin. Mengingat soal syal itu.
"Aku enggak mengharapkan dia lagi," gumamnya."Aku akan berusaha menguasai senjata sihir dan membuktikan padanya kalau aku bisa!" menepuk kedua pipinya, memberikan semangat pada dirinya sendiri. Ia beranjak menuju kamar mandi. Membersihkan dirinya.
**
"Bagaimana kabar Rangga?" tanya Sukma kala berkunjung ke rumah Keluarga Emocore. Dia meminum teh yang disuguhkan oleh Yan-Yan.
"Baik," kata Virgo, menyantap camilannya. Dia sudah memakai kaos dan celana selutut.
"Dia masih menjadi rektor?"
"Masih. Dan saya masih bekerja di kampusnya."
"Kayaknya kamu lagi bete, Go. Ada apa?"
Walau sudah lama berteman baik, Sukma, Polisi Sihir, yang terkenal cantik dan pintar serta kompoten, sangat mengenal watak pemuda ini.
"Enggak ada apa-apa."
"Soal Rangga lagi?"
"Bukan soal Rangga, tapi adiknya."
"Adiknya? Ayu?" kata Sukma, meletakkan cangkirnya. Langit oranye menyinari teras belakang Keluarga Emocore diiringi angin sepoi-sepoi yang menggerakkan rambut keduanya.
"Soal syal. Aku tadi ditanyain soal itu. Padahal syal itu kan, kuberikan kepada VITTO. Aslinya sih mau kubuang."
"Syal dibuang? Syal dari siapa?"
"Dari penggemarlah masa dari dia!"
Sukma tertawa.
"Hei, enggak usah dibuang kali. Itu sama saja kamu enggak menghargai orang yang memberimu sesuatu."
"Aku tahu. Tapi, kalau yang memberikan syal itu darimu, aku mau, kok," kata Virgo tersenyum.
"Siapa tahu syal yang kamu maksud itu ada orang yang diam-diam menyukaimu..."
"Masa? Aku lebih menyukaimu ketimbang orang yang menyukaiku. Aku sih mau saja. Tapi kata VITTO, alamat pengirimnya dari kompleks perumahan si Rangga itu."
"Virgo," kata Sukma."Sudahlah. Kalau kamu mendapatkan pemberian dari gadis manapun itu kamu haruslah menerimanya. Pantas saja, kamu jomlo terus."
Virgo tertawa terbahak mendengarnya.
"Hahaha!!"
"Eh?"
"Hahaha!! Haha—jomlo katamu?"
"Jomlo sampai kamu menyakiti hati para groupies-mu," sindir Sukma pelan.
Virgo merasa tersindir hanya cuek saja. Walau disindir, dirinya akan tetap mencintai gadis ini. Sukma sendiri sudah mengetahui bahwa Virgo sudah lama menyukainya. Dari mereka masih menjadi mahasiswa dan mahasiswi di kampus Extreme dulu hingga sekarang.
"Memangnya ada seseorang yang menyukaiku?"
"Siapa tahu. Dan, siapa tahu orang yang menyukaimu bakal kamu sakiti hatinya," tambah Sukma lagi.
Virgo tersenyum kecut.
"Mana mungkin. Sudah aku bilang, kan, aku itu sukanya sama kamu."
Sukma diam saja. Langsung mengganti topik."Bagaimana soal adik Rangga? Apakah dia sudah lulus?"
"Boro-boro lulus, dia sama sekali belum bisa menggunakan senjata sihir. Kita sebagai penyihir maupun itu calon penyihir sekalipun, harus bisa menguasainya."
"Dia belum bisa menggunakan senjata sihir?"
"Sama sekali belum bisa menguasainya," jelas Virgo."Dia bodoh, ya? Untuk apa dia menjadi penyihir tetapi belum bisa menguasai senjata sihir?"
"Kok bisa? Dia semester berapa memang?"
"Mau lulus. Begitu saja Rangga membelanya seakan menutupi kelemahan adiknya."
"Kamu jangan ngomong begitu, ah."
"Memang benar, kan?"
VITTO yang baru dari ruang makan, karena selesai makan, beranjak menuju tangga mendengarnya tidak suka. Kenapa kalau membahas gadis itu seakan abang keduanya itu tidak merasa suka? Entahlah, mungkin karena selera Virgo terbilang tinggi. Dia teringat perkataan Rangga padanya di taman kampus.
"Aku akan menjadi temanmu, Kak," ucapnya sungguh-sungguh. Menaiki tangga menuju kamarnya. Beralih di rumah kediaman Keluarga Extreme. Sore hari digunakan Gino untuk melanjutkan latihan. Kebetulan abangnya sedang mandi. Jadi, Ayu cukup merasa bebas hari ini.
"Kita lanjutkan. Fokuskan dan kendalikan sihirmu seperti latihan sebelumnya," perintah Gino.
"Ya." Ayu memofukuskan pikiran dan mencoba mengendalikan sihir. Gino menunggu reaksinya. Ayu berusaha dan dengan mudahnya keluar dari mulut Gino senjata berupa panah.
Anak ini sudah bisa mengendalikan sihir rupanya, pikirnya.
Panah itu terlampar dan Ayu menangkapnya dan dari tangannya keluar busur menyala biru. Dengan masih memfokuskan sihir, busur itu ditembakkannya menuju salah satu pohon.
Set!
Breet!
Busur menyala biru terang yang ditembakkannya langsung tertancap sukses.
"Berhasil!"
Busur menyala itu sekejap menghilang.
Gino menutup mulut lebarnya kembali.
"Bagus, Gadis Kecil!"
Latihan pun dilanjutkan. Hingga Rangga sudah berpakaian santai dan mulai menghangatkan ayam balado kesukaan Ayu yang masih tersisa di dapur.
"Ke mana mereka? Kenapa sampai malam begini belum pulang? Katanya keluar sebentar. Lha, ini?" Rangga menunggu ayamnya hangat. Setelah nenghangatkan ayam untuk makan malam, dia beranjak keluar menuju teras belakang. Di teras belakang itu terdapat taman. Memperbaiki posisi kacamatanya, dia melihat sekelebat cahaya.
"Apa itu?"
Dengan teliti dan lebih dekat, dia melihat cahaya itu bukan cahaya biasa—melainkan sihir!
"Itu sihir?! Tapi, sihir sia—" Dia tiba-tiba merasakan sebuah sihir. Sihir yang dirasakannya sangat dikenalnya."Jangan-jangan ini sihir..." Dia menghampiri taman belakang, tak ayal melihat sosok adiknya bersama Gino sedang melakukan latihan.
"Ayu?!"
Busur panah menyala biru melesat cepat ke arahnya. Rangga mengetahuinya tak sempat menghindar, melesat mengenai tangannya berupa besetan.
"Ukh!"
Busur panah menyala biru menancap ke pohon lagi. Ayu mengetahui itu adalah abangnya, buru-buru berlari menolongnya."Abang!" Diikuti Gino di belakangnya. Ia membopongnya, melihat luka di lengannya."Abang baik-baik saja?"
"A-aku... Ba-baik..."
"Biar aku obati! Ayo, Tuan Gino!" Mereka berbalik cepat masuk kembali ke dalam rumah. Ayu membopongnya ke arah sofa di ruang tengah, berbalik buru-buru mengambil betadin dan alkohol."Tuan Gino, tolong, ambilkan air panas!"
Gino segera melayang ke dapur mengambil air hangat.
Ayu kembali dengan kotak P3K. Membukanya, mengambil betadin, alkohol dan air hangat yang dibawakan Gino di ember kecil. Ia mencemplungkan kain bersih ke air hangat, memerasnya lalu membersihkan lukanya. Rangga merintih sakit.
"Maaf, sakit, ya?" Kedua matanya mulai berkaca-kaca.
Setelah membersihkan lukanya, Ayu membersihkannya dengan alkohol, dan diberi bedatin. Menutup lukannya dengan perban. Matanya yang berkaca-kaca seketika keluar perlahan air mata. Tak dapat ditahan. Rangga menatapnya terkejut.
"Ay, kamu nangis?"
Ayu menggeleng.
"Aku enggak nangis, kok," kata Ayu, berusaha tersenyum.
Rangga tak bisa berkata apa-apa. Tangannya yang bebas merengkuh adiknya ke dalam pelukannya. Menenangkannya saat adiknya mulai terisak dalam tangisnya. Tangis yang ditahan, namun tangisan pelan. Rangga tidak tahu kenapa adiknya tiba-tiba menangis seperti itu. Memang, Ayu terkenal cengeng di panti asuhan dulu sebelum mereka diangkat menjadi anak di Keluarga Extreme.
"Saya enggak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis seperti itu?"
"Saya juga enggak tahu," kata Gino, di sampingnya.
Malam menjelang, bukan tengah malam lebih tepatnya. Ketika Ayu sudah terlelap dalam tidurnya, di lantai bawah, di ruang tengah yang mana lampu satu-satunya menyala selain dapur, di depan jendela yang telah tertutupi gorden di dominasi kotak-kotak cokelat-krem, televisi layar datar yang dalam keadaan mati.
"Tuan Gino."
"Apa?"
"Ayu tadi belajar menggunakan senjata sihir, ya?"
"Ya, kenapa?"
"Saya melihat tadi, tampaknya dia sudah bisa mengontrol sihirnya."
"Memang benar dia sudah bisa mengontrolnya. Bahkan, saya melihat perkembangannya lebih cepat," kata Gino, melirik Rangga, yang pemuda tersebut tidak memakai kacamatanya."Yah, dia lebih cepat belajar. Dan, bocah, saya yakin dia bakal bisa menguasai senjata sihir daripada siapapun."
"Saya harap. Memang dia agak tertinggal... Tapi, melihat tekadnya, saya tambah yakin bisa menguasai senjata sihir. Saya berharap juga, dia bisa memiliki Stella miliknya sendiri."
"Maksud kamu apa?"
"Dia bisa memiliki Stella miliknya sendiri tanpa bantuan Tuan Gino."
"Saya tahu. Tapi, saya yakin dia bisa menggunakan senjata sihir dan memiliki Stella, tanpa bantuan saya."
"Terima kasih. Tuan mau menjadi penghubung bagi Ayu," ucap Rangga, menatap lukanya yang sudah diperban.
"Masih sakit?"
"Masih. Tapi, sudahlah. Saya tahu dia cuma lalai."
"Walau kamu bilang begitu, saya akan tetap menjadi penghubungnya," kata Gino menguap lebar."Karena dia adalah gadis minder pertama yang saya temui. Dan mau berbaik hati kepada saya, menerima saya untuk tinggal di sini."