Bee seperti biasa melakukan aktivitasnya membantu ibu di rumah. Ia menyapu halaman. Asyik-asyik menyapu teras yang berlumut, sesekali mencabuti gulma-gulma, tidak sadar sesorang muncul di hadapannya dengan mengenakan ikat kepala batik bermotif Gatot Kaca di kepalanya, berkulit sawo matang-rupanya yang terlihat manis dan memiliki tinggi 165 cm, kalau bukan pemuda bernama Vitto.
Dia menunduk lalu berjongkok, ikut mencabut gulma-gulma.
"Hallo," sapanya.
Bee berhenti mencabuti rumput, menoleh. Kali ini ia memakai daster warna biru tua bergambar beruang cokelat di tengahnya, rambut dengan ciri khas dikuncir di belakang.
"Hai," balasnya kembali mencabuti gulma-gulma mungil menggunakan tangan, tanpa takut kotor."Ada apa?"
"Biasalah, mengunjungimu. Enggak boleh?" katanya,"Kalau enggak boleh aku pulang."
"Terima kasih sudah nengunjungiku." Ia tersenyum.
Sembari membantu, Vitto melanjutkan obrolannya. "Kamu setiap tiap hari gini?"
"Iyalah."
"Enggak bosan gitu?"
"Bosan sih bosan, tapi namanya seorang anak, harus membantu orang tuanya. Itu sudah menjadi kewajiban. Aku tiap hari ya kayak begini," kelakarnya.
"Kamu gadis rajin, ya?"
Bee tersenyum kembali.
"Daripada Keke Markete, yang ada tuh disuruh males. Tiap ke rumah, punya mainan enggak mau dibersihin," keluh Vitto."Eh, enggak deng dia sebenarnya rajin karena dia pernah membuat robot mini khusus bersih-bersih ke rumah. Jadi rumah bersih dan beres."
"Hahaha. Namanya juga anak kecil. Tapi kalau dilatih dari kecil, mungkin dia sudah terbiasanya mengerjakan pekerjaan rumah. Itu tergantung dari orang tuanya, Bee," terang Vitto.
Ketiga teman imajinasinya yang sebenarnya adalah karakter fiktif buatannya yang dibuat. Mereka tampak di depannya sangatlah dewasa dan mandiri. Biarpun sifat-sifat yang kadang tidak disukainya ada. Mereka selalu ada untuknya, tidak menjauhinya.
"Terus, adik-adikmu sudah datang ke sini?" Vitto melanjutkan. Tangannya sudah kotor, ada keringat turun di dahinya, di headband batiknya yang tembus.
"Mereka sudah datang, bulan dan jauh hari," katanya.
"Mereka sekolah di sini?"
"Hm."
"Yang sabar, ya." Wajah Vitto terpapar sinar matahari.
"Ya, terima kasih."
"Aku tahu, kamu cewek yang kuat, beda sama cewek-cewek lain."
"Aku tahu."
Vitto menatapnya lekat.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, memastikan gadis di sebelahnya seperti halnya adiknya, Khalisya.
"Aku baik-baik saja."
"Betul, nih?"
"Iya."
Vitto menunduk, mencabuti gulma-gulma di sekitar pot-pot bunga di bawah bunga sakura ibunya Bee, yang sering kali hingga ulat bulu.
"Kalau kamu enggak baik-baik saja, kami merasa ikut enggak baik—sedih... Aku tahu, kamu masih kehilangan, masih dalam keadaan berduka, tapi kamu harus menerima seperti kami menerima kehidupan pahit dalam ceritamu..."
"Ya, aku baik dan mengerti apa yang kamu maksud."
Vitto membuang gulma-gulma di sampingnya, dikumpulkannya menjadi satu."Nah, begitu. Itu baru Bee kami! Nah, sudah kubantuin, nih. Kamu sapu, ya!" berdiri, menepuk-nepuk punggungnya."Aku pergi, ya. Kapan-kapan aku ke sini," pamitnya."Bye, Bee!"
Dia menghilang dengan cahaya kemilau di seluruh tubuhnya. Meninggalkannya yang masih mencabuti gulma-gulma lalu berdiri, meraih sapu, menyapu bekas gulma-gulma tadi serta gulma-gulma yang dicabuti oleh Vitto.