Alarm di kamar Sandi menggema cukup keras. Dia segera bangun dan mendapati jam menunjuk angka empat. Sudah menjadi kebiasaan semenjak Ibu meninggal, dia pasti orang yang pertama bangun dan bertugas menyiapkan air hangat untuk mandi sang ayah. Tanpa sepengetahuan Ravi, beberapa waktu belakangan ini Pak Gio memang sering mandi dengan air hangat. Sandi maupun Pak Gio sama sekali tak memberi tahu tentang hal ini pada Ravi. Mereka benar-benar menutup rapat segala hal yang terjadi selama Ravi tak ada di rumah.
Langkahnya yang gontai, diseret menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sandi pun beranjak ke dapur, menyalakan kompor dan menunggu air yang dimasaknya mendidih. Selama menunggu, dia duduk di kursi makan dengan memejamkan mata.
“Sandi, kamu ngapain di sini?” Pertanyaan itu membuat Sandi terjaga seketika. Dia terkejut bukan kepalang, karena tak biasanya ada yang menyapa di pagi buta seperti itu.
“Aku lagi masak air buat mandi,” jawab Sandi, masih berusaha menutupi.
“Sejak kapan kamu mandi pake air hangat?” Ravi menarik kursi di depan Sandi, lalu menatap curiga pada adiknya itu. “San, apa kamu sakit juga? Jujur sama Kakak.”
Tatapan Ravi penuh dengan binar pengharapan. Sorot matanya begitu menusuk perasaan Sandi, hingga adiknya itu berkata, “Buat Ayah. Beberapa waktu belakangan ini, Ayah ngeluh sakit perut.”
Desahan kasar itu kembali mendarat di telinga Sandi. Kakaknya sedikit berdecak setelah mendengar apa yang diucapkan sang adik. Sandi tahu, tak seharusnya dia melakukan hal seperti ini tanpa sepengetahuan Ravi. Bagaimanapun, mereka adalah keluarga, meski tak ada sosok ibu di dalamnya.
“Aku minta maaf, Kak. Aku cuma takut kehilangan Ayah,” ucap Sandi, lantas bangkit mematikan kompor. “Aku ke kamar Ayah dulu ya, Kak. Mau bangunin Ayah, bentar lagi azan Subuh.”
Sepeninggal Sandi, Ravi masih terpekur di kursi. Matanya kembali terasa hangat, sampai hitungan detik selanjutnya dia benar-benar menangis. Batin Ravi terasa dicambuk berulang kali. Apa gunanya dia di rumah itu jika segala hal penting tentang sang ayah tak pernah diketahuinya? Ravi tak ingin menyalahkan siapa pun dalam urusan ini. Dia hanya merasa kurang peka terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya.
***
“Gimana keadaan kamu sekarang, Rav?” Sekonyong-konyong Danika menanyakan itu saat baru sampai di tempat yang sudah disepakati. Saat di kelas tadi, Ravi memang mengirimkan ajakan bertemu pada Danika. Kontan ajakan itu disetujui tanpa ada protesan apa-apa.
“He-hei, Ka.” Ravi terlihat gelagapan menyadari kedatangan Danika. Cewek itu duduk, matanya langsung tertuju pada tangan Ravi yang terlihat menyembunyikan sesuatu. Sejak dulu, Danika memang bisa merasakan gelagat aneh lawan bicaranya, meski tak jarang lebih bersikap cuek tanpa ingin terlalu tahu urusan orang.
“Kenapa, Rav? Kamu sembunyiin apa?” Tatapan Danika menyelidik dengan wajah sedikit didekatkan pada Ravi.
“O-oh, ini. Lagu karangan aku. Nggak penting, sih. Nggak bagus juga.” Suara gugup Ravi semakin membuat Danika menaruh curiga. Bukan hal mudah untuk mengelabui cewek seantik Danika.
“Yakin?” tanya Danika lagi. Ravi pun mengangguk cepat dengan tangan yang segera dimasukkan ke saku kemeja. Sialnya, gerakan Ravi berhasil ditahan Danika hingga kertas yang mencurigakan itu kini beralih kepemilikan.
Pupil mata Ravi membesar, otaknya dengan cepat merangkai kata-kata untuk membela diri. Dia tak ingin Danika mengetahui salah satu rahasianya selama ini. Jika itu terjadi, Ravi benar-benar tak tahu harus semalu apa lagi.
“Ini kertas origami, kan?” Pandangan Danika beralih pada Ravi. “Sejak kapan kamu nulis lagu pake kertas origami kayak gini?”
Sesuai dugaan, Ravi mendadak salah tingkah. “Aku kalo kangen sama kamu emang suka nulis lagu pake kertas origami.” Jawaban bodoh itu terucap begitu saja, padahal selama merindukan Danika, yang dilakukan Ravi hanya menatap foto kebersamaan mereka dan bermain gitar.
Danika memusatkan perhatian pada kertas origami yang sudah kusut. Perlahan, dia membaca sebuah kalimat yang tertulis di sana. Dalam hitungan detik, Danika malah melayangkan pukulan pada tangan Ravi. “Ini mah kertas origami punya aku. Nih, tulisan aku. Bohong banget si Ravi.”
“Aduh! Jangan mukulin, dong. Iya, iya, aku ngaku. Itu kertas yang kamu jatohin di kamar aku. Inget, nggak? kamu ke rumah, kan?” Akhirnya pengakuan ini pun terungkap. Ravi memang tak memiliki cara selain mengakui yang sebenarnya.
“Udah ah, diem. Lagian niat banget nyimpen kertas ini,” decak Danika tidak percaya.
“Ya, beginilah.” Kedua bahu cowok dengan degup jantung mendadak tak beraturan itu terangkat. “Aku mau cerita sesuatu.”
Sekarang, kedua remaja itu mulai membahas hal serius. Secara saksama, Danika terus mendengarkan cerita Ravi mengenai kondisi ayahnya saat ini. Dada bidang Ravi terasa sesak ketika bayangan wajah Pak Gio melintas di dalam ingatannya.
Hati Ravi hanya ingin berbagi dengan Danika. Bukan berarti sahabat-sahabatnya yang lain tak dipercaya. Akan tetapi, untuk saat ini yang dibutuhkannya hanyalah support dari orang terkasih, di antaranya Danika.
“Aku anak durhaka ya, Ka?” Ravi melempar pertanyaan setelah selesai bercerita.
Danika menggeleng dan berkata, “Enggak, Rav. Kamu nggak durhaka. Udah, dong. Jangan terus-terusan nyalahin diri kayak gini. Aku yakin, nggak ada orang yang nyalahin kamu, kok.”
Sebuah senyuman tercetak samar di wajah Ravi. Pilihannya untuk bercerita pada Danika memang tepat. Cewek itu seakan memahami apa yang Ravi butuhkan sekarang. Celetukan-celetukan yang biasa lolos dari bibir tipisnya, seakan hilang hanya karena mendengar cerita Ravi. Apakah cinta sedang bekerja di antara keduanya?
“Ka, aku mau kamu selalu ada buat aku.” Tangan Ravi menggenggam tangan Danika penuh kehangatan. “Kamu mau jadi orang yang selalu ada buat aku kan, Ka? Aku beneran sayang sama kamu.”
Seakan terbang melesat ke angkasa, Danika merasa sesak napas karena ucapan Ravi yang tiba-tiba. Hatinya bergemuruh tak keruan. Danika ingin berlari dari hadapan Ravi dan berteriak sekeras mungkin.
“A-aku ....” Bibir Danika bergetar, benar-benar gugup.
“Aku nggak akan maksa, kok. Tapi aku yakin, orang-orang di luar sana tau kalo kita adalah pasangan.” Sekali lagi Danika dibuat terbang oleh ucapan Ravi.
“Aku akan berusaha selalu ada buat kamu.” Wajahnya yang sedari tadi penuh ketegangan, perlahan berganti menjadi merah.
“Kamu nggak lagi bercanda kan, Ka? Kamu nggak lagi permainin aku kan, Ka?” tanya Ravi tanpa melepaskan genggaman tangannya dari Danika.
“Perasaan itu bukan buat main-main. Sorry karena selama ini aku selalu menutupi semuanya. Bahkan aku nampar kamu waktu itu. Aku minta maaf, Rav.”
“Aku paham apa alasan kamu kayak gitu. Waktu itu situasinya emang sulit.” Ravi tersenyum lega mengakhiri ucapannya.
“Gelo euy, jadian!” Pekikan itu menarik perhatian Danika dan Ravi seketika.
“JAKA?” Tanpa diduga, Jaka mengikuti Danika sejak dari kampus tadi. Dia curiga dengan tingkah Danika yang aneh. Sekarang, kecurigaan Jaka sudah terjawab. Danika salah tingkah karena akan bertemu dengan Ravi. Cowok yang terang-terangan sudah menyatakan harapannya pada Danika.
“Kamu ngikutin Danika? Terniat, anday!” decak Ravi menggeleng. “Tutup mulut, ya. Jangan kasih tau siapa-siapa soal ini, Jak.” Ravi berbisik dengan tangan sedikit menarik kaus Jaka.
“Ah, udah aku kasih tau ke Esa.” Jaka menepuk jidatnya. Bersamaan dengan itu, handphone-nya berbunyi. “Nah, kan! Lihat!” seru Jaka lagi, menunjukkan chat yang dikirimkan oleh Esa.
“Parah! Kamu, sih. Pasti kalo nanti ketemu, mereka minta jatah jajan.” Danika menopang dagu, tidak mengerti mengapa memiliki teman seperti Jaka.
“Udah, yuk! Kamu ikut aku. Tinggalin Jaka di sini.” Ravi menggamit tangan Danika dengan cepat. Mereka berlari meninggalkan Jaka yang terus-menerus memanggil.
***
Langkah Danika terpancang di depan rumah Ravi. Dia melihat seorang wanita tengah duduk di teras bersama Pak Gio. Di sisi kanan wanita tersebut, terdapat koper dan barang-barang lainnya. Seingat Danika, dia belum pernah melihatnya sama sekali.
“Kenapa, Ka? Kok kaget gitu?” tanya Ravi, baru saja membuka helm dan belum menyadari apa yang membuat Danika bergeming.
“Itu siapa? Calon ibu baru?” tanya Danika, terdengar konyol.
“Itu?” Pandangan Ravi beralih pada orang yang dimaksud Danika. Kontan, tawanya meledak dan segera menarik tangan Danika menuju teras.
“Ravi! Ya Allah, Bibi kangen.” Wanita yang menyebut diri sebagai bibi itu bangkit dan segera memeluk Ravi yang masih menggenggam tangan Danika.
“Bi Deuis kenapa nggak ngasih tau aku kalo mau ke sini?” Ravi melepaskan pelukan sang bibi, sementara Danika hanya mesem-mesem canggung. Di sisi lain, Pak Gio tersenyum penuh arti melihat sikap Danika.
“Bibi ke sini karena Sandi cerita semuanya sama Bibi tentang kamu dan ayah kamu.” Sikap Bi Deuis memang terlihat begitu lembut. Tak heran jika Ravi merasa bibinya itu seperti pengganti sang ibu. Walau diukur dari sudut mana pun, kehadiran ibu kandung tak pernah tergantikan oleh siapa pun.
“Ini siapa? Pacar kamu?” Mata Bibi beralih pada Danika. “Cantik. Namanya siapa, Sayang?”
“Danika, Bi. Salam kenal,” jawab Danika seraya mengulurkan tangan.
“Oh, ini yang namanya Danika? Tadi ayah Ravi cerita tentang kamu. Wah, jadi cewek ini yang bikin kamu ingin pulang cepet-cepet ke Bandung, Rav?” Bi Deuis menyenggol bahu Ravi dengan nada bicara menggoda.
“Apa sih, Bi. Ayah juga, nih. Kok main cerita-cerita sama Bibi segala? Kan malu.”
Danika tak kuasa ingin tertawa mendengar cara bicara Ravi yang lebih manja daripada biasanya. Dia baru tahu jika Ravi bisa bersikap seperti anak kecil, sekalipun selama ini sikapnya cukup menyebalkan, apalagi jika sedang berkongsi dengan Esa.
“Udah, udah. Masuk yuk, Danika. Kita makan dulu. Pasti Ravi nggak ngajakin kamu makan di luar, kan?” Seolah tak puas membuat keponakannya malu, Bi Deuis malah terus menggoda Ravi di hadapan Danika. Tak bisa dimungkiri, Danika memang lapar. Namun, Danika lupa mengabari Bunda kalau-kalau hari ini akan pulang sangat terlambat.
“Aku permisi dulu, ya. Mau telepon orang rumah, takutnya nyariin, hehe.” Danika beranjak saat jus jeruk itu baru saja dituang oleh Bi Deuis. Dia berjalan menuju teras rumah dan segera menelepon Bunda. Untung saja Bunda langsung merespons panggilannya. Setidaknya, Danika akan mengurangi rasa khawatir orang tuanya di rumah.
“Kamu udah lama kenal sama Ravi, Ka?” tanya Bi Deuis, mengejutkan Danika yang baru saja selesai menelepon.
“Eh, Bibi. Sejak SMP, Tan.” Danika tersenyum, masih ada kecanggungan di antara mereka.
“Sudah cukup lama, ya. Berarti Danika tau waktu ibu Ravi meninggal?” Dari pembahasan yang diangkat Bi Deuis, Danika sudah paham arah pembicaraan mereka akan ke mana.
“Iya, lumayan, Bi. Danika juga tau waktu ibu Ravi meninggal. Kalo inget kejadian itu, rasanya sedih,” kata Danika, mengusap tengkuknya canggung. Mungkin efek pertama kali mengobrol dengan Bi Deuis.
“Oh, begitu. Semenjak ibunya meninggal, Bibi nggak pernah lihat Ravi seceria tadi. Kepergian ibunya itu seperti luka yang terlalu sulit disembuhkan oleh Ravi. Sampai akhirnya dia memutuskan tinggal sama Bibi di Jogja.” Ada jeda sebelum penceritaan itu kembali dilanjutkan.
“Bibi kasihan sama Ravi dan Sandi. Tapi Bibi nggak bisa berbuat banyak untuk mereka. Bibi cuma bisa berdoa semoga mereka bisa kembali semangat, meskipun udah nggak ada sosok ibu di rumah ini,” papar Bi Deuis, membuat Danika tertunduk mendengarkan ceritanya mengenai Ravi.
“Selama di Jogja, Bibi sering denger Ravi main gitar sambil nyanyi. Tante tau hatinya sepi, apalagi dia harus meninggalkan ayahnya di sini. Di mata Bibi, Ravi anak yang sangat baik. Walaupun dia harus jatuh bangun menguatkan diri, tapi pada akhirnya Ravi bisa kembali mengendalikan kesedihan. Hari itu sebelum dia pulang ke sini, dia bilang mau menunaikan janji sama seseorang. Apa itu kamu, Danika?”
“A-aku nggak tau, Bi.” Cukup jawaban singkat itu yang bisa lols dari mulut Danika.
Bi Deuis tersenyum kemudian berucap, “Bibi yakin, kamu adalah orang yang Ravi maksud. Bibi juga percaya, kamulah orang yang bikin Ravi lebih kuat dari biasanya. Titip Ravi ya, Ka. Kamulah salah satu sumber kebahagiaan bagi Ravi.”
Beberapa langkah dari sana, Ravi sedang berdiri mendengarkan obrolan dua sosok yang disayanginya. Sesuai dugaan, semua orang tahu jika dia dan Danika adalah pasangan, sekalipun mereka tak pernah memberitahukannya. Tetes bening kebahagiaan itu jatuh, Ravi benar-benar tengah berpesta dengan hatinya saat ini. Suatu hari, kita akan menikah, Ka.
***
Esa tertawa setelah Jaka menceritakan penemuan barunya hari ini. Mereka memang terlihat lebih akrab daripada sebelumnya. Esa tidak percaya jika Jaka akan seniat itu membuntuti Danika, hingga membongkar statusnya yang sudah berpacaran dengan Ravi. Jaka sendiri merasa konyol atas apa yang sudah dilakukannya. Namun, dia merasa bahagia karena Danika sudah bersama dengan Ravi.
“Besok, kita serbu Ravi, yuk. Ajakin Gani sama Karla juga,” usul Esa antusias.
“Serbu di mana? Kamu pasti punya ide gila lagi, ya? Nggak ikutan, ah. Nanti diomelin Danika.” Jaka menyedot jus jambu yang dibelinya sebelum menemui Esa di rumah.
“Dih, nggak seru! Ayo, dong. Sedikit lagi, Ravi sama Danika pasti married.” Esa lagi-lagi tertawa. Luka saat membiarkan perasaan sahabat-sahabatnya bersatu itu seakan pudar begitu saja. Esa cukup bahagia dengan kehidupannya sekarang.
Kriing …
“Oi! Hp kamu bunyi, tuh. Siapa, sih?” seru Esa, sedikit menyelidik layar handphone Jaka. Dari layar handphone, Esa bisa melihat nama Gani muncul di sana.
“Jak, di mana? Dari pagi teu pulang-pulang.” Suara keras Gani terdengar langsung oleh Esa. “Buruan balik! Aku kunci pintunya.” Gani memang persis seperti seorang ibu pada anaknya. Walaupun status hubungan Gani dengan Jaka hanya saudara sepupu, dia selalu cerewet, bahkan pada hal-hal kecil sekalipun.
“Bawel banget, pe-a. Ini, aku lagi sama Esa. Daripada ngomel begitu, mending sini deh, ikutan gabung. Ada gosip baru, lho!” Jaka cekikikan membayangkan tentang Danika dan Ravi yang baru saja jadian. Bagaimana jadinya jika Gani tahu juga? Apakah akan seheboh dirinya dan Esa?
“Gosip apaan?” tanya Gani.
“Kalo mau tau, sini ke rumah Esa.” Sambungan telepon diputus, gelak tawa Esa dan Jaka pun pecah. Mereka begitu senang menggoda Gani dan membuatnya penasaran. Kira-kira, hal gila apa lagi yang akan dilakukan keduanya?
***
Di lain tempat, Karla terbengong sendirian di kamar. Dia tidak tahu harus bagaimana setelah hampir seharian tidak ada kegiatan sama sekali. Karla membuka beberapa galeri foto pada handphone-nya. Menatap satu per satu potret kebersamaan dengan K’DER. Ah, waktu berlalu dengan cepat. Segala rasa persahabatan sudah dirasanya. Pertengkaran, kesalahpahaman, hingga hal-hal indah yang sulit dilupakan.
Senyum Karla tertarik di sudut-sudut bibir, tetapi sedetik kemudian dia merasakan bulir hangat yang terjatuh di pipinya. K’DER memang pernah pecah, tetapi pada akhirnya kembali bersama-sama. Tangan Karla berhenti pada fotonya dan Gani. Cowok itu benar-benar sudah mengunci hati Karla tanpa celah sedikit pun. Tanpa diketahui para sahabatnya, Gani ternyata sudah memulai pembahasan ke jenjang hubungan yang lebih serius. Hati Karla meletup bagai kembang api pergantian tahun. Tak pernah disangka, takdir cintanya harus kembali kepada Gani.
Handphone yang tadinya menampilkan foto Gani dan Karla, berubah menjadi satu panggilan masuk dari sosok yang baru saja memenuhi sudut pikiran Karla.
“Apa, Gan?” Karla dengan sigap menerima telepon Gani. Pandangannya beralih pada jam dinding, tepat pukul sepuluh malam.
“Aku di luar, bawain nasi goreng. Kamu pasti belum makan, kan?” ujar Gani, sukses membuat mata Karla membelalak. Seingatnya, seharian ini dia tidak pernah bercerita ingin makan nasi goreng, apalagi sampai bercerita belum makan. “Hei, kok diem? Buruan keluar, aku mau ke rumah Esa.”
Cepat-cepat Karla beringsut keluar sesuai permintaan Gani. Benar saja, cowok itu sedang berdiri di depan pagar seraya tersenyum. Namun, Karla tidak melihat keberadaan motor yang biasa digunakan oleh Gani. “Kamu ke sini pake apa? Kok nggak kedengeran suara motor?” tanya Karla, membuka pagar. Bukannya menjawab, Gani malah memeluk Karla.
“Sorry, ya. Seharian ini aku sibuk, jadi nggak terlalu banyak ngabarin kamu.” Gani melepaskan pelukan, menatap Karla cukup intens. “Kamu habis nangis, ya? Kenapa?”
Karla terkekeh kemudian berucap, “Cuma terharu aja malam-malam dianterin nasi goreng gini. Oh ya, ada apa ke rumah Esa?” selidiknya.
“Dih, begini doang terharu. Dasar lebay!” Gani ikut terkikik mendengar jawaban Karla, padahal bukan itu penyebabnya.
“Jaka ada di sana. Katanya sih, ada gosip baru. Aku sengaja nggak bawa motor karena Jaka bawa motor. Jadi aku ke sini naik ojol,” terang Gani. Karla patut bersyukur karena memiliki seorang pacar seperti Gani. Sudut-sudut bibirnya kembali tertarik, dia sangat bahagia.
“Udah, makan sana. Nih, nasi goreng sama cemilannya. Jangan tidur larut, ya. Aku mau ke rumah Esa dulu.” Makanan itu diserahkan Gani, lalu memeluk Karla sebentar.
“Hati-hati, ya. Kabarin kalo udah sampai rumah.” Karla merenggangkan pelukan, membiarkan Gani berlalu setelah melambaikan tangan padanya. Baru beberapa langkah meninggalkan pagar, Karla memekik memanggil Gani.
“Ya? Kenapa, Kar?” tanya Gani, menghentikan langkah.
“Makasih! Aku sayang kamu, Gan.” Karla berlari ke rumah, menahan rona merah pada pipinya. Gani sendiri hanya menggeleng melihat tingkah lucu Karla.
“Tunggu aku lamar ya, Sayang,” ujar Gani sambil menatap pintu rumah Karla yang sudah tertutup, “Ih, urang naha alay kieu, sih?”
Gani mengusap wajahnya kasar, menyadari sangat bahagia atas kembalinya hubungan dengan Karla. Kesedihan-kesedihan yang pernah hinggap dalam hatinya perlahan memudar. Gani semakin terlihat kuat setiap kali ada Karla di sampingnya.