Karena Aku Punya Papa
Malam itu terasa angin menusuk dari arah luar jendela, mengibas lembut dikulitku. Terpaan angin mengibas-ibaskan khimar berwana hijau kesukaanku yang sedang aku kenakan. Selembar kertas berada tepat dihadapanku, sesekali aku melirik dan kembali tak menghiraukan. Aku asyik memperhatikan indahnya panorama malam yang berhias bintang, subhanallah indahnya ciptaan yang Maha Esa. Kerlipan bintang kembali mengingatkan aku pada suatu kisah perjalanan hidup yang kini menjadi sebuah masa lalu.
Aku pernah menangis karena mendapat cemooh, aku pernah mendengar berbagai macam komentar yang begitu menyayat hati. Namun sepahit apapun itu semua kini mampu aku lalui. Untuk bisa menjadi diriku yang sekarang ini, adalah hal yang dulunya aku anggap mustahil tetapi saat ini nyata bagiku. Sungguh hidayah itu milik Allah. Ketika kita bersungguh-sungguh menginginkannya maka Allah akan memberi seberapa banyak yang mampu kita emban dan jalani. Allah sangatlah menyayangi hambanya melebihi seorang ibu menyayangi anaknya.
Aku selalunya melandaskan sesuatu karena hati, mulanya aku hanya mecoba belajar taat dan menatah amalan-amalanku. Semua aku jadwalkan sesuai dengan progress untuk mencapai tujuanku. Dulunya aku hanya terobsesi pada prestasi gemilang yang ingin aku capai karena papa yang menjanjikan hadiah jika aku mendapatkan juara kelas. Ternyata apa yang aku impikan itu memang benar-benar terwujud. Terselip kebangaan pada papa atas apa yang aku raih. Melihat papa yang bahagia ketika aku meraih prestasi hal itu ternya semakin membuat aku giat belajar disamping karena papa selalu menjanjikan hadiah tiap-tiap semester.
Rutinitasku setiap harinya tersusun rapi dalam jadwal-jadwal harian, aku memporsikan waktu secukupnya paling banyak detik-detik waktu mengalir dalam belajar, belajar dan belajar. Aku hanya memporsikan istirahat 1 jam untuk tidur siang hari dan 6 jam pada malam hari. Papa selalu memberikan dorongan yang membuatku begitu menggebu meraih juara kelas. Alhasil aku menamatkan SMP dengan nilai rata-rata lulus ujian 8,1 yang pada saat itu menduduki juara pertama di pelulusan sekolahku.
Sebagai seorang muslimah yang sedang tersentuh hidayahNya aku begitu menginginkan melanjutkan pendidikan dalam suasana yang aku inginkan. Yah, sekolah pesantren. Begitulah pintaan dihatiku ketika gumangan pengumuman itu dibacakan. Namun, sebagai gadis kecil yang sangat patuh dan tidak ingin orang tua terluka maka semua keinginan mereka akan selalu menjadi utama. Menepiskan keegoan dan menutup rapat-rapat agar tak ada celah yang menggerogoti hati kecil ini yang mungkin saja bisa memudarkan semangat yang sedang menggebu.
Dibalik berkobarnya semangat belajarku adalah papa yang tiada hentinya menasehatiku. Melihat papa yang begitu tabah dan sabar menjalani kehidupan aku tak pernah berpikir untuk menyerah. Papa sering kali mendapat hinaan karena papa tak pernah sekolah semasa mudanya, papa tidak tahu membaca dan papa pun tidak tahu menulis papa juga buta huruf hijayyah. Papa tiap harinya mencucurkan keringat banting tulang untuk membiayai keluarga kecil kami, ada mama, aku dan 1 adik laki-laki dan perempuanku.
Diam-diam aku meneladani papa yang tak pernah patah semangat mencari nafkah sebagai seorang petani papa hanya beristirahat dimalam hari itupun tidurnya hanya beberapa jam saja hingga fajar kembali menyingsing, malam yang semestinya harus ia gunakan untuk tidur malah masih sibuk memikirkan segala cara mengenai apa yang harus ia lakukan di hari esok. Tidak pernah aku mendengar papa mengeluh menjalani hidupnya .
Duniaku terasa begitu indah dibalik tirai cinta dan kasih sayang kedua orang tua yang aku miliki. Sebagai gadis kecil yang sangat dimanja, Alhamdulillah aku tumbuh dan mengenal arti hidup dengan baik. Aku menjalani keseharian dengan tertib dan berusaha disiplin, rutunitas ibadahpun tidak pernah aku berniat untuk meyampingkannya daripada rutinitas lain. Dibalik kecerdasan yang sedang aku perjuangkan, akupun tak segan untuk mempelajari al-qur’an. Yah, aku ingat betul, papa tak pernah lupa megajariku bahwa pedoman hidup ini adalah al-qur’an. Seperti itulah sosok papa yang Allah anugrahkan untuk melengkapi hidup yang aku jalani.
Papa adalah lelaki terhebat yang aku miliki, tidak pernah ia menolak jika aku memintanya membelikanku ini dan itu. Ia hanya memintaku bersabar untuk beberapa hari saja lalu meberikan surprise barang yang aku minta. Selalu aku tanamkan rasa ingin membuatnya bangga kepadaku karena prestasiku. Meskipun begitu papa tidak pernah mencekamku untuk berprestasi, aku tahu papa sangat menginginkan aku meraih prestasi tetapi karena rasa sayangnya kepadaku ia hanya selalu berkata lembut dan menasehatiku penuh kasih sayangnya.
Ada satu hal yang ingin aku persembahkan untuk papa, aku sangat ingin menjadi seorang hafidzah namun itu adalah impianku yang tertunda hingga saat ini. Aku ingin melanjutkan sekolahku di pesantren saja, tapi papa menginginkanku sekolah di Menengah atas pilihannya. Aku pun turut pada keinginannya sekali lagi aku ingin ia terus bahagia aku tidak ingin ia merasa kehilangan aku, karena aku membantahnya.
Meskipun sedikit mendongkol, tapi pada akhirnya aku bisa berbaur dalam lingkungan SMA hingga akhirnya aku sangat menyukai rutinitas sekolahku. Bersekolah di pagi hari, lalu sore hari ikut bakti social di pekarangan sekolah dan masih banyak lagi. Alhamdulillah pada penerimaan raport untuk pertama kalinya di bangku SMAku aku meraih juara kelas lagi. Hingga pada semester tigaku aku jatuh sakit, mungkin sekitar satu semester lamanya. Yaah, prestasiku anjlok aku tidak lagi menjadi juara kelas.
Aku sering mendapat cibiran, entahlah saat itu aku baru mengerti apa arti “orang-orang yang berprestasi”. Aku sedih sekali, aku tidak bisa menjadi diriku yang sangat dibanggakan papa. Aku marah, aku tidak bisa menerima semua kekalahanku. Aku meronta dan menjerit dalam nurani hatiku. Bahkan aku tak suka sekolahku aku sangat frustasi dengan semua itu.
Qadarullah, semua terjadi asbab Allah. Aku mengawali langkahku, mengejar ketertinggalanku. Kembali sosok lelaki terhebatku selalu ada disampingku menopang kesedihanku dan menjadi penyejuk hatiku. Pada akhirnya kembali aku terpilih masuk di kelas unggulan di masa kelas 3 SMAku. Ini sedikit memberi kelegahan bagiku, dalam satu kelas itu dihimpun yang terbaik diantara yang terbaik.
Bersaing secara sehat dan Alhamdulillah di akhir masa aku terpilih menempati angka 10 umum. Masya Allah, betapa rasa ini sangat bahagia aku tersenyum bangga ketika itu. Walaupun itu hanya 10 umum tapi setidaknya aku berpeluang mengikuti program beasiswa Bidikmisi. Oh yaa, urutan ke 20 di kelasku ternyata memiliki nilai tertinggi jika dibandingkan dengan dua kelas IPA lainnya.
Menyelesaikan bangku SMAku dan menyelesaikan kursus computer dan bahasa inggris yang aku ikuti. Lalu sibuk mempersiapkan kuliahku. Aku bisa bertahan hingga saat ini itu karena papa, ia tak pernah lelah menghadapiku yang terkadang terlalu manja dan egois ini. Segala puji bagi Allah yang menganugrahkanku seorang papa yang sangat menyayangiku. Aku bangga memilikimu pa.. aku sangat bahagia bisa menjadi anakmu, semoga kelak aku berhasil menghadiahkan jubbah kemuliaan untukmu di Jannahnya yang tertinggi.
Suasa dan impian hatiku adalah seperti ini. Sungguh kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika kita kembali berkumpul bersama di jannahNya. “Dan tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan “ah” dan janganlah engkau membentak kedua-duanya dan ucapkanlah kepada kedua-duanya perkataan yang baik.”
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “”wahai tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Qs. Al-Isra’ : 23-24)
*SEKIAN*