Nasti tidak berhenti mengutak-atik ponsel di tangan kanannya. Sedari tadi perempuan berusia dua puluh enam tahun itu mencoba melakukan panggilan ke nomor adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMA.
Perempuan dengan rambut sepanjang bahu agak bergelombang itu menarik ponsel dari sebelah telinganya. Mencoba menelpon sekali lagi tapi tidak kunjung diangkat.
"Apa Malaka ketiduran, ya?" Wajah Nasti terangkat naik, menyapukan pandangannya ke dinding di depannya mencari jam. "Tapi masih sore kayak gini nggak mungkin Malaka tidur. Biasanya bantu-bantu Ibu lagi masak."
Jenaka keluar dari dapur sembari membuka ikatan tali apron di leher dan pinggangnya. Ia kemudian menepuk bahu Nasti begitu meletakkan apronnya ke atas meja makan.
"Ngomel sendiri kayak orang gila lo, Nas!" ejek Jenaka duduk di sebelah Nasti. "Lagi mikirin apaan, sih? Dari tadi lo sibuk telepon siapa?" tanya Jenaka sesekali melirik ke layar ponsel temannya.
Jenaka menemukan nama Malaka di layar, Nasti masih mencoba menelpon adik kesayangannya itu. Tapi, hampir lima belas kali melakukan panggilan—tetap saja tidak diangkat.
"Kenapa sama Malaka?" Jenaka tahu Nasti sangat menyayangi adiknya itu. Setiap hari Nasti selalu bercerita tentang Malaka. Bagaimana Nasti menginginkan sang adik memiliki pendidikan yang tinggi, tidak seperti dirinya yang berhenti kuliah di tengah jalan karena terbentur biaya.
"Ini ... dari tadi gue coba telepon Malaka tapi nggak diangkat. Nggak biasanya dia kayak gini." Nasti memijat belakang lehernya. "Entah kenapa perasaan gue nggak enak aja."
Jenaka menuang air ke dalam gelasnya. "Oh, kirain apaan ... mungkin Malaka masih di sekolah. Namanya anak sekolahan, Nas. Tahu sendiri sibuknya kayak gimana. Nanti kalau udah luang waktunya, pasti angkat telepon lo, deh!"
"Iya, sih ..." Nasti mengangguk setuju. "Cuma perasaan gue nggak bisa tenang aja sebelum dengar suara Malaka."
Dimar menyusul kedua teman perempuannya di meja makan. Sama seperti hari-hari kemarin, Jenaka dan Nasti datang ke rumahnya, mengganggu konsentrasi Dimar saat sedang menulis. Alhasil Dimar tidak bisa melanjutkan pekerjaannya, malah menongkrong bersama kedua perempuan itu hingga larut malam tiba.
Sama seperti Jenaka, Dimar pun heran melihat Nasti yang khawatir. "Kenapa muka lo, Nas? Belum makan udah mules."
"Sembarangan," amuk Nasti.
Jenaka membantu menjelaskan pada Dimar. "Malaka nggak bisa dihubungin dari tadi. Nasti telepon mulu tapi nggak diangkat."
"Kenapa nggak lo telepon Ibu sama Bapak aja?" saran Dimar menarik satu potong pizza yang baru ia buat.
"Ah, ya! Kenapa gue baru kepikiran, ya?" celetuk Nasti.
"Dih," dengus Jenaka. "Makanya lo jangan keburu panik! Buruan telepon Ibu sama Bapak lo."
Nasti manggut-manggut. Sebelah tangan Nasti meraih ponsel di atas meja makan.
Sebelum Ibu jari Nasti menyentuh layar ponsel, benda persegi itu tahu-tahu berdering, menunjukkan nomor kontak Malaka yang muncul di layar ponsel miliknya.
"Malaka telepon!" seru Nasti hampir melempar ponselnya.
"Buruan lo angkat," sahut Jenaka. "Loudspeaker," tambahnya.
Nasti mengangguk. Ia mengangkat panggilan dari adik perempuannya itu. "Halo, Malaka! Kamu ke mana aja, sih? Dari tadi Kakak telepon nggak diangkat! Kamu baik-baik aja, kan? Malaka?!"
"Pelan-pelan kenapa sih Nas nanyanya," tegur Dimar sambil menggeleng.
Tidak ada suara.
Nasti tambah panik. "Malaka, kamu dengar Kakak ngomong, nggak? Malaka—"
"I-iya," cicit Malaka.
Suara perempuan berusia tujuh belas tahun tersebut sangat lirih. Nasti sampai mendekatkan sebelah telinganya ke layar, padahal mode speaker telah diaktifkan.
Karena suara Malaka terlampau kecil, Nasti menaikan volumenya sampai penuh.
"Malaka, jangan bikin Kakak—"
"Aku ... baik-baik aja, Kak," bisik Malaka.
"Kamu kenapa? Kamu nangis?" tanya Nasti curiga. "Kamu sakit?" desak Nasti tidak sabaran.
"Nggak ..." Lalu suara Malaka hilang kembali.
"Kakak udah bilang kalau lagi sakit atau apa, jujur sama Kakak."
"Aku ... cuma kangen sama Kak Nasti. Kakak kapan pulang?"
Detik itu tangis Malaka terdengar di ruang makan. Dimar yang tadinya makan, langsung menengok ke ponsel Nasti.
"Lah, kok, nangis ..." Nasti sempat bingung kenapa Malaka malah menangis. "Kamu ada masalah, La?"
"Nggak, kok," jawab Malaka serak. "Aku tunggu Kak Nasti pulang secepatnya. Aku ... cuma butuh Kak Nasti aja ..."
"Iya, iya. Kakak bakalan pulang, kok. Tapi belum bisa dalam waktu dekat ini, La. Nanti Kakak kabarin kalau pulang ke kampung, ya?"
"Iya, Kak." Malaka menambahkan, "Kakak di mana? Aku nggak ganggu Kakak, kan?"
"Oh, ini. Lagi di rumah Dimar." Dari bawah meja makan, Nasti sengaja menendang kaki Dimar.
"Apa, sih?" Dimar melengos.
Obrolan Nasti dan Malaka berlangsung cukup lama sesekali Nasti makan bersama kedua temannya. Sekitar setengah jam kemudian, sambutan telepon pun diakhiri karena Malaka harus mandi dan membantu ibunya menyiapkan makanan untuk keluarga mereka.
"Malu-malu amat lo, Mar." Nasti menjawil lengan Dimar sembari terkekeh. "Masa sama anak SMA aja, lo jadi salah tingkah begini!" goda Nasti lagi.
Jenaka menatap kedua temannya. Diam-diam perempuan itu menarik napas panjang tanpa kentara.
Bisa-bisa Nasti memasang tampang seceria itu, padahal hatinya terluka menyadari kalau pria di depannya menaruh hati pada Malaka, adik kandung Nasti.
Lagi-lagi Jenaka cuma bisa diam dan memendam. Nasti telah berpesan agar Jenaka tidak buka mulut mengenai perasaannya kepada Dimar.
Sementara itu di tempat lain, Malaka duduk di lantai kamar mandi yang basah. Tubuh Malaka kesakitan, area kewanitaannya terasa perih.
Malaka mencoba menggosok tubuhnya dengan sekuat tenaga, berharap jejak-jejak menjijikan itu hilang.
Malaka menangis dalam diam. Ia tidak berani mengadukannya kepada siapa pun termasuk pada Nasti, kakaknya. Kalau hari ini ia mengalami hari paling buruk.
Malaka ... dilecehkan oleh tiga orang teman sekolahnya.