Adiksi © Fukuyama12
.
.
Diary 23 Hal yang Patut Digenggam
.
.
“Uhuk!”
Aku menoleh pada kak Fayra yang beberapa kali memukul dadanya setelah tersedak minumannya. Tidak biasanya dia seperti itu, apa mungkin aku terlalu mendadak memberi tahu mereka, ya? Atau jangan-jangan aku salah memilih waktu yang tepat?
Oke, kepanikan tiba-tiba datang menyerangku, membuatku menarik senyum canggung setelah sadar jika tidak ada satu dari ketiga orang di depanku yang menjawab pernyataanku. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi kaus dan dahiku.
“Elzar, itu nggak lucu, lho!” Kak Fayra menatapku tajam setelah mengusap sudut bibirnya yang basah.
“Sayangnya aku memang tidak sedang bercanda.” Aku mencoba menenangkan diri. “Sebenarnya sudah mulai kemarin aku berhenti sekolah. Mau bagaimana lagi, poin pelanggaran langsung penuh saat sekolah tahu jika orang yang ada di video adalah aku. Ayah dan Ibu juga berusaha menghubungi keluarga korban sampai sekarang.”
“Kau serius?” Sepertinya Kak Fayruz masih tidak percaya. Semoga dia tidak berpikir jika ini adalah mimpi belaka, jika memang mimpi, aku juga ingin segera bangun dan menjalani hari-hariku seperti biasa tanpa perlu takut akan polisi yang tiba-tiba datang ke rumah.
“Lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Kak Afkar. Ia terlihat sangat khawatir dengan wajahnya yang memucat, seolah dia sendiri yang sedang mengalaminya. Semoga aku tidak menjadi beban pikirannya nanti. Namun, di sisi lain, aku senang melihat ada orang yang mengkhawatirkanku.
Aku mengangkat bahu. “Aku tidak tahu. Rasanya memang menakutkan jika pihak korban sampai membawa polisi, tapi aku juga tidak mau melarikan diri. Ayah bilang aku harus belajar bertanggung jawab dengan apa yang kuperbuat, meski sekarang beliau sedang berunding dengan keluarga korban.”
Kak Afkar tersenyum di tengah kepanikannya. “Ayahmu baik, ya.” Aku merasakan kehangat dari ucapan itu hingga tanpa sadar aku tersenyum dan mengangguk.
“Baik?” Kak Fayruz membeo dengan salah satu alis terangkat. “Bukankah orang tua biasanya akan melakukan apa saja agar anaknya tidak masuk ke dalam penjara?”
“Iya, tapi itu salah. Makanya aku bilang Ayah Elzar itu baik, tapi orang tua Elzar juga tidak tinggal diam dan pasrah saja, kan? Mereka pergi mencari jalan keluar lain yang lebih baik.” Ucapan Kak Afkar berhasil menghiburku.
“Kau baik-baik saja, Zar?” Wajah ragu-ragu dan khawatir dari Kak Fayra cukup membuatku terkejut, kukira dia akan sepenuhnya mendukungku untuk mendekam dalam penjara.
Aku tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. “Meski aku juga tidak mau masuk penjara, tetapi jika itu adalah hasil akhirnya aku akan menerimanya. Toh, aku juga sudah tidak punya muka dan akan segera mencari sekolah baru.” Selanjutnya, Kak Fayra tidak mengucapkan sepatah katapun, begitu pula dengan yang lainnya.
"Maaf membuat kalian kecewa."
Mereka dengan serempak menoleh ke arahku, terlihat berusaha membantah, tetapi kembali menelan kalimat yang belum sempat diucapkan. Aku tersenyum maklum. Bahkan jika mereka ingin memutuskan tali pertemanan denganku pun tidak masalah. Setelah ini semua berakhir, aku berniat untuk membuka lembaran baru dan menjalin hubungan baru dengan yang lainnya.
"Jika kalian ingin menjauhiku tidak masalah. Lagi pula siapa yang mau berteman dengan seorang narapidana, kan? Terutama kasus seperti ini."
Brak!
Aku tersentak dan dengan cepat mengangkat kepala saat mendengar gebrakan meja yang membuat gelombang kecil pada minumanku dan bunyi dentingan pelan dari piring kaca yang berbenturan dengan kayu meja. Aku menahan naapas saat mentap mata nyalang Kak Fayruz, tangannya menempel pada permukaan meja yang baru saja digebraknya.
"Jangan bercanda!" Aku tidak pernah melihat Kak Fayruz semarah itu. Alisnya mengerut tajam dan ia tidak segan-segan membentakku.
"A–aku tidak sedang bercanda." Aku tidak mengerti mengapa Kak Fayruz bisa terlihat semarah itu. Setelah rumornya menyebar, semua orang menatapku aneh. Rasanya malu sekali, mereka pasti juga tidak ingin dikenal sebagai teman seorang pemerkosa.
"Kau sedang berpikir jika kau tidak pantas untuk berteman dengan kami, kan?" Aku beralih pada Kak Fayra yang ikut menatapku sengit.
Kenapa jadi seperti ini? Sebelumnya dia bahkan terlihat seperti ingin mengutuk seseorang yang telah melecehkannya beberapa saat yang lalu, tetapi tatapan sengit yang kuterima terlihat memiliki makna yang berbeda.
Aku menoleh pada Kak Afkar yang membisu. Meski tidak mengatakan apa pun, tetapi wajahnya menunjukkan raut yang sama dengan Ayah dan Ibu saat tahu aku telah melakukan sesuatu yang bodoh kemarin, sebuah raut wajah kecewa yang tidak tertahankan dan membuat hatiku mencelos saat melihatnya. Perasaan bersalah muncul dan memenuhi diriku.
"Bu–bukan begitu. Aku hanya tidak ingin kalian terkena imbasnya sebelum terlambat. Apa yang akan dikatakan teman-teman kalian jika tahu kalau kalian berteman dengan pelaku dari kasus pemerkosaan?”
"Aku tidak peduli." Jawaban singkat dengan tatapan serius dari Kak Fayruz tidak hanya membuatku terkejut, tetapi juga tersentuh di saat yang sama. "Lagi pula kejadiannya sudah lama, kan?"
Aku mengangguk pelan. "Iya, sebelum aku mengenal kalian. Setelah kejadian itu terjadi, aku segera sadar dan berusaha untuk berhenti, lalu aku bertemu dengan kalian."
"Benar kata Fayruz. Yang penting kamu sudah menyesal dan tidak pernah berpikir untuk melakukan hal itu lagi," ucap Kak Fayra. “Kamu yang mengajak kita untuk berkumpul, ide untuk menyebarkan informasi dari bahaya pornografi dan membantu para pecandu untuk berhenti juga dari kamu, kan?"
"Elzar," panggil Kak Afkar. "Semua orang pasti melakukan kesalahan. Tuhan saja Maha Pemaaf, bukankah hambanya juga harus seperti itu?"
Kak Afkar berhasil menyentuhku, begitu juga dengan tatapan kak Fayra dan Kak Fayruz yang mengatakan jika mereka juga berpikir hal yang sama. Meski Kak Afkar terlihat sangat jauh dan hanya bertemu via daring, tetapi aku bisa merasakan sentuhan hangatnya. Mataku mulai memanas, aku bisa merasakan pandangan yang mengabur karena air yang berkumpul di pelupuk mataku. Beban di dadaku semakin berkurang dan aku bisa sedikit bernafas lega.
Aku menggigit bibir bawahku dan mulai terisak. Memiliki teman-teman yang tetap berada di sampingku saat waktu sulit adalah hal yang patut disyukuri. Aku menyadari jika aku adalah salah satu manusia yang beruntung. Itu artinya tiga orang ini bukan orang biasa, mulai saat ini aku berjanji akan terus menggenggam mereka dan tidak akan melepaskannya.
"Terima kasih semuanya. Aku, aku sangat bersyukur bisa bertemu dengan kalian."
***
Nofap hari ke-72
Perkumpulan kami berakhir tak lama setelah perbincangan itu. Mereka semua berjanji akan membantuku mencari informasi tentang apa yang akan terjadi setelah ini dan belajar dari kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Mereka juga berpesan agar aku tetap menjaga pola makan dan tidak boleh sampai sakit karena terlalu banyak pikiran.
Ayah dan Ibu juga lebih sering berada di rumah sekarang. Televisi yang biasanya tidak pernah dinyalakan akhir-akhir ini menjadi sumber kebisingan setiap saat. Namun, bukannya aku tidak suka, aku sangat suka. Sebagai gantinya, komputer di kamarku tidak pernah kugunakan lagi. Jika ingin bermain game, aku akan menggunakan ponselku dan bermain di ruang keluarga, seperti saat ini.
Ruangan besar ini terasa hampa karena Ayah dan Ibu sedang pergi, Kak Fayruz dan Kak Fayra sedang bersekolah, begitu pula dengan Kak Afkar. Sementara itu, Bu Imas sibuk di dapur dan hanya memberikan suara pompa air listrik yang menyala dan bunyi makanan yang digoreng.
“Bosan,” lirihku sembari menatap lampu gantung yang ada di atasku.
Aku terlalu malas untuk belajar, aku hanya menghabiskan waktu dengan bermain, tidur, dan terkadang mencari informasi untuk materi unggahan yang harus diberikan pada Kak Fayra. Tidak ada hal yang menarik dan hari-hariku cenderung damai. Aku jadi takut jika suasana tenang—hingga aku merasa kebosanan—ini berubah menjadi hal buruk, seperti pepatah langit cerah sebelum badai.
“Elzar.”
Aku menoleh saat mendengar panggilan Ibu yang datang dari ruang tamu dan mendekatiku. Aku bisa melihat pintu masuk yang terbuka dengan ayah yang berusaha melepaskan sepatu kulitnya. Hari ini pun mereka tidak berangkat bekerja, seperti kemarin.
Aku mengernyit saat menyadari raut wajah aneh dari ayah dan ibu yang saling menatap. Mereka duduk di sebelahku, menyentuh bahuku dan menggosoknya pelan.
“Ayah dan Ibu minta maaf, ya. Kami sudah berusaha untuk membujuk mereka, tapi keluarga korban terus menolak.”
“Maksudnya?”
Ibu menghela napas panjangs seakan jawaban dari pertanyaanku sangat berat untuk diucapkan. Sebagai gantinya, Ayah berkata, “Polisi mungkin akan datang karena mereka tidak mau mencabut laporannya.”