Adiksi © Fukuyama12
.
.
Diary 17 Woman's Self Defense
Nofap hari ke-60
.
.
Kak Fayra terdiam, lalu menghela panjang. Tidak ada senyuman lagi dalam bibirnya, pancaran kebencian terlihat sangat jelas dari dalam matanya. Aku jadi merasa menyesal telah bertanya seperti itu tanpa pikir panjang.
“Kenapa kau masih bertanya? Tentu saja rasanya sangat menyeramkan, aku tidak bisa mengeluarkan suaraku! Rasanya seperti ingin menangis, tetap orang itu hanya tersenyum menjijikkan menikmati tubuhku! Aku tidak mengerti pola pikir orang seperti itu. Menjijikkan. Sama sekali tidak berpendidikan! Seminggu ini aku akan sibuk mengunggah postingan tentang pelecehan seksual sebagai balas dendam!”
Diam-diam. Aku menelan ludah, merasa seakan-akan Kak Fayra sedang menunjukkan seluruh kata-kata kebencian itu kepadaku. Tatapan mata Kak Fayra yang nyalang seakan menusuk tepat di hati. Tidak hanya sakit di dada, tetapi juga perasaan ketakutan dan rasa bersalah menyelimuti diriku.
Meski aku tidak dapat mengingat seperti apa wajah gadis berkuncir yang kutemui malam itu, tetapi perasaan Kak Fayra pasti tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan oleh gadis asing itu, atau mungkin lebih parah sehingga menyebabkan trauma. Memikirkannya saja sudah membuatku sakit kepala.
Kak Fayra menggerutu, "Aku benar-benar tidak ingin orang lain merasakan hal seperti ini."
Aku bisa melihat matanya yang mencerminkan rasa takut dan benci di saat yang sama.
Ia menambahkan, "Kupikir aku juga masih beruntung, karena banyak orang merasakan hal yang lebih parah dari ini dan tidak bisa melaporkannya. Seperti kasus anak perempuan yang diperkosa anggota keluarga, atau pacarnya sendiri dan mengancam akan menyebarkan video jika mereka mengadukannya."
"Kasus seperti itu memang banyak. Aku sering menemukan orang yang curhat seperti itu di sosial media." Kak Fayruz menggeleng beberapa kali dan menghela napas panjang. "Rasanya sudah seperti sinetron saja."
"Seharusnya si perempuan memang tidak menyerahkan mahkota-nya, kan? Biasanya pacar akan mengiming-imingi dengan bujukan atas nama cinta dan tanggung jawab jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Padahal jika memang bernar terjadi, pasti mereka akan pergi menghilang entah ke mana!" Aku mengernyit dalam saat berkata seperti itu. Meski tidak pernah mendengarnya langsung, cerita semacam itu memang sudah banyak terjadi. "Pada akhirnya yang menjadi rugi adalah pihak perempuan. Benar, kan?"
Kak Fayra mengangguk mantap, lebih dari yang lainnya. “Benar, sangat benar! Menyebalkan, masih saja ada orang bodoh yang mau terhanyut karena cinta, mulut laki-laki itu hanya manis diawal saja. Aku hanya percaya pada laki-laki yang berkomitmen saja.”
“Itu terdengar menyakitkan, meski memang benar,” komentar Kak Fayruz sembari memegang dadanya. Ucapan kakaknya terlalu menusuk dan seakan ditujukan untuk semua laki-laki.
“Ah, kalau misal hal itu terjadi, apa yang harus dilakukan? Bukankah yang jadi masalah adalah kondisi psikis korbannya?” tanyaku, sebenarnya pertanyaaan ini aku tujukan pada Kak Afkar yang memang lebih banyak tahu tentang masalah seperti itu.
Dan benar saja, Kak Afkar yang menjawab pertanyaanku. “Iya, tetapi memang ada baiknya untuk segera melapor. Mungkin akan menakutkan karena rasa malu jika videonya akan tersebar, tetapi pelaku juga akan mendapatkan hukuman yang cukup setimpal.”
"Jadi yang terpenting adalah berani untuk speak up, kan?" ucap Kak Fayruz. "Jika tidak berani melapor ke pihak berwajib, bisa bicara ke orang yang dipercayai dulu, setelah itu baru bisa konsultasi bagaimana langkah selanjutnya."
Mulut Kak Fayra terbuka lebar, ia bahkan menepuk tangannya beberapa kali. "Wah, jarang sekali kamu sepintar ini! Apa karena capcai yang kubuat tadi pagi, ya?"
"Maksudmu capcai super asin itu? Yang benar saja!" Mata Kak Fayruz terbuka dengan lebar, menatap tidak percaya pada kakaknya setelah meledek masakan yang dibuat Kak Fayra.
Muka gadis itu memerah antara menahan kesal dan malu. Ia bangkit dan menerjang Kak Fayruz, mengangkat bantal yang dibawanya tinggi-tinggi dan memukulkannya pada bahu pemuda itu.
"Argh! Maaf, maaf! Maafkan aku! Iya, makananmu paling enak sedunia! Yang paling bisa bikin pintar!" Kak Fayruz melindungi kepalanya dengan kedua tangan, berteriak kesakitan saat bantal empuk itu bertabrakan dengan bahunya.
"Diam!"
Sayangnya kemarahan Kak Fayra semakin membesar, sedangkan aku dan Kak Afkar yang duduk di atas sofa hanya bisa tersenyum pasrah tanpa niatan membantu. Bagaimana pun juga, pemandangan dua saudara yang bertengkar di depan kami sudah menjadi hal yang lumrah.
Kak Fayra berhenti dengan napas yang memburu setelah kehilangan setengah tenaganya. Kak Fayruz menghela napas lega saat Kak Fayra bangkit dari atas badannya. Setelah dipukul seperti itu, Kak Fayruz juga harus menahan beban berat badan kakaknya yang lumayan itu. Mungkin lain kali Kak Fayruz harus berhati-hati sebelum berbicara, terutama jika menyangkut masakan hasil karya Kak Fayra.
"Ah, aku baru ingat!" seruan dari Kak Fayruz membuat seluruh pasang mata menoleh padanya.
"Aku dengar ada akun media sosial yang siap membantu perempuan-perempuan yang kesusahan. Sebentar!" Kak Fayruz mulai mencari ponselnya, mengetikkan sesuatu, hingga tak sampai satu menit, ia menunjukkan sebuah akun dengan nama @komnasperempuan di Instagram.
"Apa itu akun itu melaporkan kekerasan terhadap perempuan?" tanya Kak Afkar. Ini pertama kalinya aku melihatnya bertanya karena tidak tahu.
"Iya! Aku juga baru tahu beberapa hari yang lalu dan lupa tidak mengatakannya pada kalian. Di sini tertera apa saja yang bisa dilakukan untuk membawa kasus kekerasan menuju hukum. Mungkin ini bisa membantu," jelas Kak Fayruz
"Wah, keren!" tukas Kak Afkar. "Kita bisa bagikan itu kepada orang-orang nanti. Oh, iya! Aku punya sesuatu untuk Fayra."
Kak Afkar mengeluarkan sebuah gantungan yang terlihat sangat ramai. Kak Fayra menerimanya, tatapan mata itu tidak bisa lepas dari barang yang baru saja diberikan kepadanya.
Kak Afkar melanjutkan, "Jangan bersedih dan menyalahkan diri sendiri. Terkadang memang ada saat di mana kita sudah mengeluarkan suara, jadi mungkin barang-barang ini bisa membantumu. Ah, aku tidak tahu kamu suka warna apa, tapi aku sering lihat barang-barangmu berwarna biru, jadi kubelikan yang warna biru."
"Te–terima kasih, Kak Afkar. Aku jadi tidak enak sendiri. Oh iya, aku memang suka warna biru, kok!" Senyum lebar tercipta di wajah Kak Fayra, suasana hatinya yang kesal itu berubah drastis setelah melihat barang yang disodorkan kepadanya. "Aku pernah lihat ini beberapa kali di media sosial, tapi belum sempat memesannya. Pokoknya terima kasih banyak! Kak Afkar yang terbaik!"
Alisku mengernyit tajam, begitu pula dengan Kak Fayruz, bukan merasa heran dengan Kak Fayra yang tidak pernah tersenyum selebar itu, tetapi pada benda yang dipegangnya. Bagi mereka itu hanya terlihat seperti pensil dan gantungan kunci biasa, meski terlihat sangat girly seolah-olah memang dikhususkan untuk perempuan.
"Memangnya itu apa?" Tidak tahan dengan rasa penasarannya, Kak Fayruz bertanya.
"Ini?" Fayra mengangkat gantungan kuncinya. "Ini namanya self defense keychain memang dibuat untuk mencegah kejahatan. Kalian lihat gantungan yang ini? Namanya personal alarm." Kak Fayra menunjuk sebuah gantungan berbentuk oval dengan tali kecil yang terikat di sana. "Jika ditarik, maka akan mengeluarkan bunyi." Kak Fayra menarik tali itu, sebuah suara yang cukup berisik terdengar saat tali itu terlepas, lalu berhenti saat Kak Fayra kembali memasangnya. "Bunyi ini sebagai tanda peringatan jika terjadi sesuatu, seperti penculikan atau yang lainnya. Kalian pasti pernah lihat anak kecil yang menggantung ini di tas mereka, kan?"
"Ooh, seperti yang di film-film itu!" Mataku melebar dan berbinar, tidak menyangka jika aku akan melihat langsung personal alarm yang biasanya ada di layar televisi.
"Kalau yang seperti pensil ini apa?" Kak Fayruz menunjuk sebuah benda seperti stik terbuat dari plastik dan berwarna biru terang, tetapi memiliki ujung yang runcing.
Kak Fayra mencengkeram benda itu dengan bagian yang tajam berada di bawah. "Namanya kubotan atau pemecah kaca. Meski terlihat agak aneh dan mencurigakan, tetapi benda ini bisa digunakan untuk memecahkan kaca seperti namanya, lho! Selain untuk memecahkan kaca mobil atau kaca rumah, bisa juga untuk menyerang karena ujungnya yang tajam. Aku ingin menunjukkannya, tapi kita tidak punya kaca bekas."
"Woah, keren!" Mata Kak Fayruz sama berbinarnya seperti mataku. "Kalau yang ini?" Kak Fayruz menunjuk botol semprot kecil. "Biar kutebak, ini pasti pepper spray, kan?"
"Yap! Semprotan merica pasti sudah umum digunakan." Kak Fayra beralih pada benda yang lain. "Kalian pasti juga sudah tahu kalau ini peluit. Aku tidak perlu menjelaskannya, kan?"
Aku menunjuk sebuah benda yang mirip dengan bolpoin berwarna hitam dan menebak, "Ini pasti bukan bolpoin biasa."
Kak Fayra mengangguk mantap. "Benar! Ada senternya di sini, juga bisa digunakan untuk hal lain." Kak Fayra menarik tangan Kak Fayruz dan menggosoknya, sebelum menempelkan ujung bolpoin itu di kulit Kak Fayruz. Dia menempelkannya sangat cepat, mungkin hanya sedetik saja.
"Argh!" Namun, Kak Fayruz tersentak dan menggosok punggung tangannya. Dia terlihat sangat kesakitan, sementara Kak Fayra tertawa kecil. "Itu pasti stun gun! Kau kejam sekali!"
Kak Fayra tak berhenti tertawa melihat Kak Fayruz yang kesakitan. "Hehe, maafkan aku. Tapi Fayruz benar, ini memang stun gun." Kak Fayra mengangkat self defense keychain barunya dengan wajah yang bahagia. "Ini harta karun setiap perempuan. Terima kasih banyak, Kak Afkar, lain kali akan kuberikan sesuatu sebagai imbalannya."
"Karena harganya memang tidak murah, jadi akan kutunggu." Kak Afkar tersenyum lebar. "Sebenarnya ada self defense yang juga dilengkapi dengan pisau tersembunyi, tetapi sepertinya terlalu berbahaya, jadi tidak banyak yang menjualnya. Bahkan di beberapa negara, self defense keychain ini termasuk ilegal."
Aku mendengarkan apa yang diucapkan oleh Afkar dengan saksama. Meski hari ini juga berlalu dengan menyenangkan karena bisa berbincang dengan teman-teman, tetapi ada hal yang memberatkan hatiku. Senyum Kak Fayra yang lebar itu menyembunyikan fakta jika gadis itu baru saja mengalami hal yang mengerikan. Aku bahkan ingat wajah Kak Fayruz saat bercerita tentang kejadian itu terlihat sangat gelap dan dipenuhi dengan kekesalan. Lagi pula siapa yang tidak marah jika saudara perempuan dilecehkan?
Rahangku mengeras, meski aku tidak punya saudara perempuan, tetapi aku punya seorang wanita yang melahirkanku. Jika ibuku diperlakukan seperti itu, aku pasti juga akan marah. Hanya saja, aku seperti tertampar oleh amarah yang muncul di hatiku ini, karena aku juga seorang pelaku—meski belum sampai terjadi tindakan yang lebih parah.
Gadis berkucir itu, dia pasti juga punya seorang ayah. Jika ayahnya tahu, aku tidak bisa membayangkan betapa marahnya pria itu. Mungkin aku akan dihajar habis-habisan jika bertemu mereka. Membayangkannya saja sudah membuatku merinding dan jantungku berdebar.
Aku menarik napas panjang, memang sudah bagus aku memilih untuk berhenti sekarang. Ditambah, aku bersyukur karena bertemu dengan orang-orang yang membantu diriku untuk lepas dari candu.
.
.
.
To be continued
.
.
Author's note:
Hola! Yang kepo sama @KomnasPerempuan, langsung cuss aja ke akun instagramnya. Biasanya mereka juga mengadakan seminar-seminar menarik, lho!
Jangan lupa beri dukungan π
Jika bermanfaat, silakan bagikan π
See you next diary!