Adiksi (2021) by Fukuyama12
.
Diary 6: Senang Bertemu Denganmu
Senang Bertemu Denganmu
(Nofap Hari Ke-11)
.
.
"Tunggu, apa aku salah tempat, ya?" gumamku pada diri sendiri.
Aku berulang kali menatap layar ponsel, memastikan jika aku tidak salah tempat. Tidak lucu jika aku tiba-tiba duduk dan ternyata dia bukan orang yang kucari.
Jelas saja jika kafe Golden House Cake tertulis di pesan di ponselku berdampingan dengan kalimat 'Meja nomor 25, ya!' yang ditulis oleh teman yang akan ia temui. Namun, nama Golden House Cake juga tertulis di palang di dekat pintu masuk, juga nama yang sama tertulis dengan besar di dekat meja kasir.
Intinya aku tidak salah tempat.
Pria berambut ikal itu mendongak dan mata kami bertemu. Aku jadi menahan napas saat melihat mata cokelat terang itu. Dia terlihat seperti orang asing, jika bukan karena hidungnya yang tidak terlalu mancung dan tidak juga pesek, kulitnya tidak terlalu putih, tetapi tidak terlalu coklat dan masih terbilang cukup bersih jika dibandingkan dengan kulit pria pada umumnya.
Laki-laki yang sepertinya masih di awal dua puluhan itu bangkit dengan cepat sebelum aku beranjak dari tempatku, berdiri tegak dan diam seperti orang bodoh. Senyum lebar yang memperlihatkan sebaris gigi putih itu terlihat bersamaan dengan keluarnya suara dengan cukup keras, "Apa kau Elzar?"
Mataku melebar tatkala mendengar namaku disebutkan. Berarti aku memang tidak salah, orang yang akan kutemui sudah datang menunggu, dan itu juga menandakan jika doa yang kurapalkan tadi tidak terkabulkan. Kakiku tanpa sadar maju beberapa langkah dengan kaku, seperti robot, dan senyum yang tak kalah tegang di wajah, tanganku terangkat dan memberikan salam kepada laki-laki yang lebih tua dariku beberapa tahun itu.
"I--iya, saya Ghazi Dayyan Elzarrar, Elzar. Nama akun saya ... Pendekar0603," jawabku, entah mengapa rasa malu menyerang saat menyebutkan nama akunku sendiri, terdengar sangat kekanak-kanakan meski itu sebenarnya adalah arti dari nama Ghazi milikku yang ditambah dengan tanggal lahirku.
"Ah, ternyata benar! Aku Afkar, salah satu admin dari grup noFap yang ada di kota ini!"
Senyum lebar yang membuat mata pemuda bernama Afkar itu menyipit, membuat aku yang notabenenya seorang laki-laki sampai terpukau melihatnya. Aura yang keluar dari Kak Afkar sangat-sangat terang, meski aku yakin jika itu hanyalah pandanganku saja.
Orang suci!
Setidaknya itu adalah pandanganku pada senyuman lebar itu. Genggaman tangan kami terlepas dan aku duduk pada kursi yang ada di depan Kak Afkar.
Suasana tiba-tiba berubah, baik aku maupun Kak Afkar, kami sama-sama tidak bersuara dan hanya saling menatap. Aku jadi semakin bingung dan hanya menatap dengan memberikan senyum canggung yang tak kunjung hilang, sementara Kak Afkar tetap tersenyum lebar.
"Pft!" Kak Afkar menutupi mulutnya saat tidak mampu menahan tawa, lalu berakhir dengan tertawa kecil dan memukul pundak aku pelan. "Kau lucu, ya! Jangan kaku begitu! Ayo, pesan sesuatu dan berbicara ringan saja!"
Aku tidak bisa menyembunyikan kesenanganku dan mengangguk berkali-kali. Aku membuka mulut, lalu menutupnya beberapa kali, persis seperti ikan yang keluar dari akuarium. Aku benar-benar gugup bertemu dengan orang asing, tanganku yang basah tidak bisa diam dan memilih untuk menggosokkannya pada celana jins yang kupakai. "Ma--maaf sudah membuat Kak Afkar menunggu lama! Aku benar-benar minta maaf."
Kak Afkar masih memasang senyumannya. "Tidak masalah. Daripada mengucapkan kata maaf, sebaiknya kau ucapkan terima kasih karena aku sudah menyempatkan waktu untuk bertemu."
Aku tersentak, punggungku tidak bisa menikmati empuknya bantal cokelat di belakang. "Te--terima kasih karena sudah menyempatkan waktumu!"
Kak Afkar tertawa lebih keras dari sebelumnya. "Kau benar-benar lucu, ya! Anak penurut! Sudahlah, lagipula aku sedang kosong akhir-akhir ini." Ia mengambil daftar menu yang ada di atas meja dan menyodorkannya padaku. "Pesanlah sesuatu, aku yang akan traktir."
Aku dengan cepat menolak dan membuka mulut. Aku yang mengajak bertemu, maka aku juga yang seharusnya membayar. "Jangan, Kak! Biar aku saja!"
Namun, Kak Afkar tidak mendengarnya dan memilih untuk memanggil pelayan. Ia membuka daftar menu yang sama dan memesan bubble tea rasa ketela ungu dengan topping krim keju dan parutan coklat. Tatapan mata itu beralih padaku dan bertanya, "Kau mau piza burger? Ayo pesan satu dan makan bersama."
Aku yang masih belum terbiasa dengan orang asing mengangguk setuju, lagipula perutku juga minta untuk diisi. Aku sudah melewatkan sup ayam dan tempe penyet super pedas yang disiapkan oleh Bu Imas, ART di rumah.
"Kau mau pesan minuman apa?" Pandangan Kak Afkar beralih padaku yang terus menatapnya tanpa henti. Aku jadi terperanjat dan terburu-buru kembali membaca menu di tangan.
Mataku dengan cepat menganalisa seluruh daftar minuman yang ada dan memilih satu menu yang berada paling bawah. "Aku, aku pesan caramel machiato saja." Aku tak ingin membuat orang menunggu lama hanya karena aku yang terlalu bingung memilih pesanan. Toh, semua minuman juga sama saja.
Pelayan itu pergi dan meninggalkan kami setelah mengulang pesanan kami. Kak Afkar terus saja tersenyum karena tahu jika aku tidak berhenti memperhatikannya, meski aku terkadang akan menunduk atau mengalihkan pandangan ke tempat lain.
"Senang bertemu denganmu. Jarang sekali ada yang meminta untuk bertemu seperti ini, atau bahkan sepertinya tidak pernah ada."
Mendengar hal itu, aku tersenyum malu. "Iya, aku sama sekali tidak punya teman untuk bercerita, jika hanya lewat media sosial rasanya kurang ampuh."
Kak Afkar mengangguk paham. Ia menyipitkan mata dan bertanya,"Jadi, bagaimana? Ini sudah hari yang ke berapa?"
Aku mengalihkan pandangannya. "Itu ... sebenarnya sudah hampir dua minggu."
"Tapi?" Kak Afkar dengan santai bertanya, seakan-akan ia sudah menyiapkan daftar pertanyaan dalam otaknya.
"Aku gagal beberapa kali," jawabku dengan pipi yang memerah. Rasanya memalukan saat mengungkapkan aib sendiri, sama memalukannya dengan memakai celana berlubang di depan orang-orang.
Yang membuatku merasa lega adalah senyum Kak Afkar yang tidak berubah menjadi tawa cemooh. Pemuda bermata sayu itu tersenyum maklum. "Oh, tidak apa-apa. Memang susah awalnya, tapi jangan terlalu menganggapnya ringan, ya? Apa mungkin alasanmu ingin bertemu karena ingin meminta bantuan?"
Orang yang sudah profesional memang berbeda. Aku mengangguk dan mengusap belakang leherku yang terasa dingin. "Iya, aku ingin punya teman yang bisa kuhubungi jika dalam keadaan darurat, atau pergi nongkrong bersama dan membicarakan hal-hal yang sama."
Seorang pelayan datang, membuat pembicaraan kami terpotong sementara, dia meletakkan dua minuman pesanan kami. Satu piring besar berukuran sekitar tiga puluh senti yang di atasnya berisi sebuah burger berukuran cukup besar yang roti bagian atasnya terlihat seperti sebuah piza dengan pepperoni merah menggiurkan, udang yang sudah dikupas melingkar seperti huruf C, dan taburan keju yang sudah setengah meleleh. Warna kemerahan yang mendominasi makanan itu membuat produksi air liurku meningkat saat melihatnya.
Pelayan berpakaian cokelat dengan sedikit hiasan berupa bordiran berwarna kuning keemasan tidak kunjung pergi. Dari sakunya, keluar sebuah pemotong piza berbentuk seperti roda.
"Tolong bagi menjadi enam," ucap Kak Afkar yang terlihat sudah biasa memesan menu itu.
Pelayan itu mengangguk dan memotong sesuai pesanan Kak Afkar. Mataku semakin berbinar saat melihat isian yang ada dalam burger piza itu, rasanya tidak aneh jika melihatnya disebut seperti itu. Bagian dalamnya berisi tumpukan daging dan keju yang meleleh, juga sayuran berwarna hijau yang mulai layu karena panas.
"Terima kasih." Kak Afkar tersenyum pada pelayan yang sudah menyelesaikan tugasnya. Ia beralih padaku yang tidak mengalihkan tatapannya pada menu yang ia pesan. Ia mencondongkan badannya padaku dan berbisik, "Ini salah satu menu andalan mereka yang paling kusukai di samping roti melon. Aku berani bersumpah jika ini enak sekali, apalagi jika kita memakannya bersama. Yah, walau harganya memang sedikit mahal."
Sebenarnya hanya dengan melihat, aku sudah tahu jika harga makanan itu akan sedikit lebih mahal dibandingkan yang lainnya. "Ah, apa mungkin sebaiknya jika aku saja yang membayarnya?"
Kak Afkar meminum pesanannya yang baru datang. "Jangan! Pertemuan selanjutnya akan kuizinkan kamu yang bayar, deh." Kak Afkar mengalihkan percakapan, "Kau itu tidak punya teman, ya?" tanyanya singkat, tetapi terasa menusuk tepat di hati aku. Melihatku yang tidak membantahnya, Kak Afkar kembali berkata, "Tipikal-tipikal pecandu memang seperti itu. Aku dulu juga begitu, kok."
"Benarkah?!" Mataku melebar tidak percaya, sementara Kak Afkar mengangguk-angguk. Aku tidak menyangka hal itu. Bagiku, Kak Afkar terlihat seperti anak gaul yang punya banyak teman meski ia seorang pecandu. Lihat saja di samping tas berbuku banyaknya, ada tas gitar berwarna hijau tua yang dibawanya, membuatku berpikir jika Kak Afkar adalah mahasiswa yang terkenal dan pintar. "Ah, apa aku boleh bertanya?"
Kak Afkar berhenti memakan burger pizanya dan memilih untuk mendengarkan pertanyaan yang akan kuajukan padanya. "Tentu saja, bukankah itu alasan mengapa kita bertemu?"
"Ah, iya." Aku menggaruk pipi yang tidak gatal. "Mulai berapa lama kak Afkar berhenti melakukan itu?"
"Sudah satu tahun lebih. Aku sendiri juga lama tidak menghitungnya, aplikasinya sudah lama tidak kuunduh sejak ganti ponsel."
"Apa dulu Kak Afkar benar-benar tidak punya banyak teman?"
Kak Afkar mengernyit, terlihat mencoba-coba untuk mengingat masa lalunya. "Tidak juga, sih. Aku punya beberapa teman dekat, tapi mereka tidak tahu kalau aku pecandu. Rasanya memalukan saat teman dekatmu tahu hal itu." Satu tarikan senyum paksa terlihat di wajah itu. Entah mengapa aku merasa tenang saat tahu jika Kak Afkar punya perasaan seperti itu.
"Ah, aku tidak punya teman, jadi tidak tahu rasanya," ungkapku dan menunduk dalam.
"Ah, begitu. Cobalah untuk mendekati mereka dengan perlahan, atau cari teman lain yang sehobi denganmu. Ngomong-ngomong soal teman. Aku jadi ingat satu orang."
Aku mengangkat wajah, menatap Kak Afkar yang menatap jauh ke belakangku, membuatku sedikit keheranan. Berbeda dengan bagian belakang Kak Afkar yang menampilkan tembok bercat cokelat, di belakangku terdapat meja-meja dan pintu masuk tempat orang-orang berlalu-lalang. Kak Afkar mengangkat jarinya, menunjuk sesuatu yang ada di belakangku.
"Speak of the devil, anaknya sudah datang."
Aku menoleh, mataku tertuju pada seorang pemuda berkaus dengan motif garis horizontal putih dan hitam, matanya sipit dan berkulit sedikit kemerahan, ada handsfree yang tersemat di telinganya. Ia menoleh ke sana kemari seperti yang kulakukan saat pertama kali memasuki kafe.
Pemuda asing yang memiliki langkah ringan dan cepat itu membalikkan badannya, mengangkat tangan bersamaan dengan Kak Afkar yang ikut melambai kepadanya. Wajahnya yang tak asing itu, membuatku berpikir dua kali untuk mengingatnya.
.
.
To be continued