Adiksi (2021) by Fukuyama112
.
Diary 7
Teman Seperjuangan
(Nofap Hari Ke-11)
.
Nyatanya, meski aku berusaha mengingat siapa pemuda yang kini duduk di sampingku, aku tetap tidak bisa mengenalnya. Pemuda yang baru datang itu memiliki mata sipit dengan ujung matanya tertarik ke atas, kulitnya putih seperti keturunan cina yang biasa kulihat, rambutnya pun hitam lurus, dengan poni belah tengah yang menjuntai ke samping, mungkin jika sudah sepanjang itu, guru di sekolahnya bisa dengan senang hati menjadi tukang potong rambut dadakan.
"Kamu pasti bingung, ya?" Kak Afkar menatapku prihatin. "Maaf, aku mengajaknya tanpa izinmu, kupikir semakin banyak teman akan jadi lebih nyaman, yah meski tidak perlu terlalu banyak juga."
Pemuda bermata sipit itu menoleh, lalu tersenyum sembari menunjuk ke arahku. "Kamu pasti Elzar, kan? Kak Afkar sudah cerita tentangmu. Namaku Fayruz, kelas dua SMA."
Kak Fayruz menjulurkan tangannya dengan senyum ramah. Hanya saja aku tidak segera membalas jabatan itu, mataku menatap lurus pada Fayruz dan tangannya yang mengambang di udara.
"Ah, salam kenal!" Aku yang tersadar dari lamunan mengangguk. Ternyata kami hanya berbeda satu tahun saja. "Aku Elzar, kelas satu SMA."
"Enaknya kalian masih muda." Kak Afkar yang menopang dagu, menatapku dan Kak Fayruz yang masih SMA dengan pandangan iri. Hanya dia satu-satunya yang sudah berkuliah. "Semakin cepat kalian bertobat maka semakin baik, aku saja baru berhenti setelah lulus SMA."
Aku memandang pemuda di sampingku dengan mata berbinar. "Ah, apa Kak Fayruz juga fapstronout juga?" Aku sendiri tidak tahu jika akan ada orang lain yang diundang, aku pikir hanya akan ada Kak Afkar saja.
"Iya, aku baru berhenti sebulan yang lalu. Sama sepertimu, aku juga ingin punya teman. Lalu, Kak Afkar menawarkanku untuk datang," cerita Kak Fayruz dengan senyumannya yang tulus. "Anggap saja kita sudah lama saling mengenal, seperti sahabat lama. Bagaimana? Kau bisa menghubungiku kapan pun kau mau, kita bisa saling bermain bersama dan hangout ke mana saja!"
Aku terdiam, terpana dengan rencana yang ditawarkan Kak Fayruz, lalu mengangguk dengan cepat. Aku tidak menyangka jika anak yang baru saja bergabung itu lebih ramah daripada orang-orang yang sudah kukenal lama. Tidak pernah ada orang yang menawariku seperti itu. Kebanyakan dari mereka akan menatap aneh dan tidak nyaman saat berbicara denganku bahkan sejak pertemuan pertama. Sama seperti pelayan perempuan tadi yang bahkan terlihat ingin segera kembali ke tempatnya.
Atau mungkin itu hanya perasaan negatifku saja.
"Panggil aku kapan saja kalau Kak Fayruz butuh bantuan!" seruku bersemangat. Aku tidak bisa menyembunyikan senyum senangku. Mungkin ini perasaan yang sama dengan anak baru yang menemukan temannya.
"Hei, bagaimana denganku?" Kak Afkar yang sedari tadi melihat interaksi kami mengernyit heran. Aku seperti melupakan keberadaannya, padahal Kak Afkar aadalah orang yang mempertemukanku dan Kak Fayruz.
"K--kak Afkar juga harus datang! Kita butuh orang yang ahli sepertimu!" Aku panik dan gugup, aku tidak bermaksud untuk melukai hati Kak Afkar.
Kak Fayruz yang sepertinya sudah mengenal lama Kak Afkar juga menambahkan, "Benar, maksudku bukan hanya untuk Elzar, tapi Kak Afkar juga!"
Kak Afkar anehnya tertawa mendengar kami yang sibuk mencari alasan. Ia sepertinya hanya bercanda dan memilih untuk mengeluarkan ponsel, sembari berkata, "Bagus! Ayo saling tukar nomer telepon, lalu buat grup bertiga. Kalau ada waktu, kita bisa main bareng."
***
Pertemuan berakhir dengan sangat menyenangkan hingga kami menghabiskan tiga jam lamanya hanya untuk mengobrol. Kebanyakan waktu habis dengan topik obrolan sederhana mengenai kegiatan sehari-hari atau hobi kami. Ini rekor baru untukku, jangankan nongkrong selama itu, keluar rumah untuk bermain saja aku tidak pernah. Jika saja bukan karena Kak Fayruz yang ingat tugasnya, mungkin kami akan mengobrol lebih lama. Aku memakai helm cokelat dan mengendarai motor matik putih menuju rumah.
Hanya saja ada hal yang mengganjal di hatiku. Sedari tadi, mataku tak bisa lepas dari pemuda berbaju belang yang berada beberapa meter di depan. Sudah beberapa menit aku dan pemuda di depanku-yang tak lain dan tak bukan adalah Kak Fayruz-berada dalam jalur yang sama.
Saat Kak Fayruz berbelok, aku akan ikut berbelok pada tikungan yang sama. Kami juga berhenti di lampu merah yang sama, melewati toko buku besar, bahkan patung yang berada di tengah pertigaan. Hingga tatapan aku berhenti pada gardu pintu masuk perumahan.
Satpam-satpam yang ada di sana menyapa Kak Fayruz dengan ramah sebelum membuka palang otomatis yang hanya bisa dilewati oleh anggota perumahan, atau minimal mengenal mereka yang tinggal di sana. Aku menjalankan motor, berhenti sejenak dan ikut menyapa satpam yang berjaga.
"Siang, Mas Elzar! Udah selesai jalan-jalannya?" sapa salah satu satpam yang memiliki kumis paling tebal di sana.
"Iya, selamat siang juga, Pak!" Aku tersenyum kaku dan mengangguk-dengan sedikit grogi-sebagai balasan dan segera mengalihkan pandangan ke arah Kak Fayruz yang sudah jauh di depanku.
Aku melajukan motor, tetapi sampai rumahku terlihat di depan mata, Kak Fayruz juga belum menghilang dari pandanganku. Pemuda berbaju belang itu berhenti di depan sebuah rumah tingkat dua yang dipenuhi dengan cat berwarna putih gading dengan keramik hitam, sebuah rumah yang tidak asing karena memang itu adalah rumah yang berdiri tepat di seberang rumahku. Di tamannya, terdapat bunga matahari yang biasa disiram oleh seorang gadis yang wajahnya samar-samar ada dalam ingatan aku. Entahlah, aku tidak pernah benar-benar mengingat wajah orang, yang kuketahui hanya gadis itu suka sekali mengikat rambutnya tinggi-tinggi.
Tiin!
Aku menekan klakson sebelum benar-benar menghentikan motor. Aku tidak ingin Kak Fayruz masuk ke dalam rumah itu sebelum aku menanyakan apa yang ada dalam pikiranku, bisa-bisa aku jadi tidak dapat tidur dengan tenang. Aku berhenti di dekat Kak Fayruz yang menoleh ke arahku dengan helm yang masih terpasang.
"Elzar?" Nampaknya Kak Fayruz pun sama terkejutnya denganku yang berkali-kali menatap Kak Fayruz dan rumah yang ada di depan bergantian.
"Ru--rumahmu di sini?" Aku menunjuk rumah putih itu. Kak Fayruz mengangguk dengan bingung. "Ppft-Hahaha! Beneran, nih?!" Aku tertawa sampai memegang perut yang mulai terasa sakit. "Jadi kamu anaknya Pak Salman?"
"Kamu tahu ayahku?" Kak Fayruz masih terlihat bingung, ia bahkan tidak ikut tertawa meski aku sudah tidak bisa menahan tawaku lagi.
Aku menarik napas panjang untuk menenangkan diri dan semakin membuat Kak Fayruz kebingungan. Aku menunjuk sebuah rumah berwarna cokelat yang ada di depan rumah Fayruz. "Kau tahu? Itu rumahku, lho!"
Kak Fayruz mulai paham, mulut dan matanya sama-sama melebar, sampai ia akhirnya sadar dan menutup mulutnya, mencegah lalat yang mungkin saja bisa masuk ke sana. "Beneran? Rumahmu! Berarti kita tetangga, dong!!"
Kami tertawa keras, beberapa tetangga yang berada di depan teras mereka menoleh untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Pantas saja aku merasa tidak asing dengan wajah Kak Fayruz, meski kami memang tidak pernah saling mengenal satu sama lain, tetapi pasti ada saat di mana aku tidak sengaja melihatnya.
"Sudah berapa lama tinggal di sini?" tanya Kak Fayruz. Kupikir ia juga tidak asing dengan wajahku. Aku jarang keluar rumah untuk berinteraksi dengan orang tetangga, membuat kami tidak mengenal satu sama lain.
"Sejak kecil, aku besar di sini. Bagaimana dengan Kak Fayruz?"
"Aku baru pindah saat kelas 2 SD. Tapi itu artinya kita seharusnya sudah lama saling kenal! Wah, kalau tinggal di perumahan elit memang jarang bisa kenal satu sama lain." Kak Fayruz menggeleng beberapa kali.
"Iya, sih. Kudengar orang di kampung saling dekat dengan tetangganya." Aku mengingat perkataan Bu Imas yang berasal dari kampung di luar kota yang suka bercerita mengenai kampung halamannya.
"Yah, pokoknya ini sebuah keuntungan. Kalau ada apa-apa bisa langsung datang dengan cepat!" seru Kak Fayruz bersemangat.
Aku berbinar. "Iya! Main saja ke rumahku kalau lagi senggang! Orangtuaku jarang ada di rumah, aku juga tidak punya saudara, jadi rumahku sepi."
"Aku punya satu kakak perempuan, ibuku juga selalu ada di rumah. Akan kuusahakan main ke rumahmu, ibuku sering marah karena aku tidak pernah main keluar dengan temanku."
Aku tersenyum lebar. Akhirnya, teman keduaku!
.
.
Bersambung