Menemukan Kembali Kebahagiaan di Tengah Pandemi
Tazanna Neisha Batuwael
Siapakah yang siap dengan sebuah perubahan drastis akibat Virus Corona19? Ya, pandemi akibat virus Corona 19 yang terjadi hampir di semua negara, datang pula ke Indonesia sejak Maret 2020. Tak ada seorang pun yang menyangka dampak dari pandemi panjang ini begitu banyak meninggalkan luka dan trauma. Ada banyak anak-anak kehilangan orang tuanya di masa pandemi. Tak mudah bagi seorang anak yang mengalami kematian orang tua di masa pandemi ini. Tata cara dan prosedur penguburan yang berbeda mengharuskan banyak anak tak dapat mengantar kepergian orang tua sampai ke kuburan. Bagaimana juga kehidupan masa depan anak setelah kepergian orang tua? Dapatkah anak-anak kembali menemukan kebahagiaannya?
Sebagian lagi bergumul dengan sakit akibat virus corona19. Aku adalah seorang anak remaja yang juga bergumul mengalami rasa sakit dan sedih yang mendalam saat ayahku dirawat selama tiga puluh delapan hari di rumah sakit. Ayahku berjuang antara hidup dan mati. Aku menunggu di rumah, kapankah ayahku akan pulang. Untaian doa telah aku panjatkan setiap hari dalam doaku. Entah berapa kali air mata menetes memohon kepada Sang Pencipta untuk sebuah keajaiban satu kali ini saja. Hari-hari itu, aku berpikir keras tentang sebuah kondisi masal yang terjadi di negaraku. Bukan hanya aku sendiri yang menangis dan berduka, ada banyak anak sedang mengalami kehidupan yang menyedihkan. Di manakah engkau, hai kebahagiaan?
Satu perubahan drastis lagi yang menyita kebahagiaan anak-anak di masa pandemi adalah ruang gerak yang terbatas. Diam di dalam rumah selama dua tahun lamanya. Tak ada lagi hiruk pikuk pergi ke sekolah. Gerbang sekolah tertutup rapat, dan pembelajaran dilakukan secara online. Tak ada lagi canda tawa di ruang kelas bersama teman dan guru. Tak ada lagi suara langkah kaki berlarian di lapangan sekolah. Gedung sekolah telah sepi, kosong dan berdebu. Tak dapat bermain bersama teman. Tak dapat melakukan olah raga bersama. Tak ada lagi upacara bendera yang beratapkan langit biru. Semua terasa berubah begitu cepat. Kebahagiaan telah menjauh dari hidup para siswa, termasuk aku. Sempat aku bertanya, kapankah ini akan berakhir?
Sekolah yang dilakukan online dengan persiapan yang juga mendadak, tak mudah dilakukan baik oleh guru maupun oleh siswa. Aku melihat guru-guru senior berjuang dengan kesulitan teknologi yang digunakan untuk mengajar. Aku juga melihat banyak teman-temanku kesulitan memiliki akses jaringan internet maupun kuota belajar. Ah, terasa kacau sekali rasanya. Lebih enak datang ke sekolah, belajar setengah hari mendengar guru mencatat di papan tulis kelas, lalu pulang. Semua yang terjadi sungguh menyusahkan dan aku menemukan diriku jauh dari bahagia.
Di tengah segala keterbatasan, kesulitan, dan kesedihan yang kurasakan, aku melihat ada sosok guruku yang sangat sederhana. Pak Didi namanya. Ia adalah wali kelasku dan juga adalah guru Bahasa Indonesia. Aku senang mendengar suaranya. Selain pintar mengajar, beliau juga pintar mengambil hati anak-anak muridnya. Aku sangat senang jika Pak Didi masuk mengajar secara online. Pak Didi mulai memotivasi aku dan teman-teman untuk ikhlas menerima perubahan ini dan berjuang bersama dalam keterbatasan.
“Anak-anakku, situasi yang dialami negara kita sedang darurat,” kata Pak Didi.
“Anak-anak perlu menjaga kesehatan ya.”
“Paling penting adalah bahagia.”
Aku pun bertanya, “Bagaimana bisa bahagia di dalam rumah tanpa bertemu teman?”
“Bagaimana dapat bahagia melihat orang tuaku sakit, terbaring lama di rumah sakit?”
“Bagaimana aku bahagia jika mendengar satu per satu orang tua temenku meninggal dunia?”
Pak Didi tersenyum. Pak Didi melanjutkan nasihatnya, “Bahagia itu sederhana.”
“Bahagia itu ditemukan dalam setiap perjalanan hidupmu, susah atau senang.”
Aku hampir tak bisa mencerna semua penjelasannya.
Sekolah online punya suka dukanya sendiri. Suka atau tidak, aku harus bisa menerimanya sampai semua itu menjadi sebuah kebiasaan. Aku mulai terbiasa dengan sekolah online. Dan, aku menjadi lebih sering melihat media sosial. Ada banyak hal yang dapat kulihat di media sosial. Entah kenapa, aku mulai tertarik memperhatikan berbagai perlombaan online. Ada banyak lomba online yang kulihat, seperti lomba membuat video, lomba menulis, lomba membaca puisi, lomba menggambar yang dilakukan secara online. Aku mulai iseng mengikuti perlombaan yang aku sukai. Aku mengikuti lomba menulis, membaca puisi dan membuat video. Semua perlombaan ini aku ikuti untuk menambah kesibukan aku selesai sekolah. Maklum, saat sekolah online, jam berlajar menjadi lebih pendek. Tugas pun menjadi lebih sedikit.
Wah, tak kusangka, beberapa perlombaan aku menang. Ini menambah kebahagiaan di kala pandemi ini. Aku menang lomba membaca puisi dan mendapat hadiah sebuah buku. Aku juga menang lomba menulis dan mendapat sertifikat online. Aku menang lomba mengedit video dan mendapat pulsa. Pengalaman ini sungguh menambah kebahagiaan aku saat aku berdiam diri di dalam rumah. Aku kumpulkan beberapa sertifikat kejuaraan, kebanyakan aku memenangkan juara lomba menulis. Tak akan aku lupakan jasa guru-guru aku yang selalu mendukung aku dalam mengikuti berbagai perlombaan. Aku mulai menemukan sebuah kemampuan yang sedang diasah, yakni kemampuan untuk menulis.
Setiap kali aku menang lomba menulis, aku selalu memberi tahu wali kelasku, Pak Didi. Tak kusangka, Pak Didi menawarkan kesempatan untuk dapat menulis sebuah buku. Aku senang, di usiaku yang masih remaja ini mendapat kesempatan menulis buku. Tapi, apa yang akan kutulis? Apa judul yang akan kupilih? Apa tema besar buku yang akan kutulis? Aku terdiam sesaat memikirkan hal ini. Tak lupa aku berdiskusi dengan orang tuaku. Orang tuaku mengatakan apa yang sedang aku alami, jika ditulis akan menjadi lebih hidup. Jujur, aku sedang tidak bahagia di tengah pandemi. Apakah aku harus menuliskan tentang ketidakbahagiaan?
Dalam diskusi panjang dengan orang tuaku dan guruku, akhirnya aku tersadarkan tentang arti kebahagiaan. Telah banyak definisi kebahagiaan yang diukur berdasarkan apa yang dilihat selama ini. Di antara banyak definisi kebahagiaan yang ditawarkan dunia, aku mencoba untuk mendefinisikan ulang apa itu kebahagiaan. Dan akhirnya, aku memilih judul buku aku tentang kebahagiaan. Buku perdana aku akhirnya berjudul: “The Alien’s Journey. Menemukan Kebahagiaan dalam Kesederhanaan Hidup.” Buku ini kutuliskan untuk semua remaja yang sedang berjuang menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya.
Ketika aku mulai menuliskan setiap bab dalam buku ini, aku mengenang kembali masa kecil aku yang begitu sederhana. Menurutku, semua orang bisa bahagia. Semua orang berhak bahagia. Semua orang pasti bahagia. Apabila, ia dapat mensyukuri hal-hal sederhana yang ada di dalam hidupnya. Kita bisa bahagia ketika punya orangtua yang mengasihi dan merawat kita sejak kecil, bahagia ketika memiliki guru yang sabar dan sederhana, bahagia memiliki sahabat yang pengertian, bahagia memiliki pengagum rahasia, dan bahagia ketika bisa mengatasi rasa insecure dan iri hati. Ah, rasanya bahagia itu begitu dekat kembali dengan hidupku saat aku mulai mensyukuri apa yang aku miliki.
Tak pernah kuduga, aku dapat menerbitkan buku perdanaku saat masih SMP kelas 8. Tentu,ini adalah pengalaman paling berkesan. Aku bisa menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya yang kutuangkan dalam buku itu.Aku melihat orang tuaku pun senang. Aku melihat guruku tersenyum. Aku melihat kepala sekolah aku bahagia. Aku senang mendapati kalau aku adalah murid pertama yang mencetak buku di sekolahku.
Pengalaman menulis buku pertama disambut baik oleh beberapa rekan orang tuaku. Dengan relasi mereka, aku mendapat kesempatan untuk menjadi pembicara muda yang mengulas tentang bagaimana pengalaman aku menulis buku pertama. Wah, ini pengalaman yang tak akan terlupakan. Aku gugup, aku deg-deg an, dan berbagai perasaan bercampur aduk. Tapi, aku sungguh berterima kasih kepada Tuhan untuk setiap kesempatan demi kesempatan berkarya di kala pandemi.
Selesai menulis buku perdana, aku melanjutkan untuk menulis buku kedua. Buku kedua aku berjudul “The Alien’s Journey: Menemukan Kebahagiaan dalam Memberi.” Buku kedua ini cukup unik dan berbeda daripada buku perdana aku. Kalau buku perdana adalah pengalaman dalam hidupku, sedangkan buku kedua adalah hasil proses perjalanan wawancara diriku kepada orang lain. Aku mewawancara orang dari berbagai usia, tua maupun muda, berbagai agama, ras, golongan, dan taraf ekonomi tentang pengalaman memberi dan diberi. Aku senang mendengar kisah mereka saat tatapan mata mereka terharu dengan sebuah pemberian. Aku senang ketika mereka menceritakan dengan senyum kebanggaan ketika mampu memberi dengan ketulusan hati. Aku menuangkan dalam buku kedua aku, memberi itu tak perlu menunggu kaya. Memberi itu dapat dilakukan kapan saja. Memberi itu bisa dilakukan dengan banyak cara, mulai dari memberi perhatian, doa, barang, ilmu, uang, tumpangan dan masih banyak lain.
Salah satu dalam bab ini, aku menceritakan kisah seorang anak yang lagi melamun dan beripikir tentang masa depannya apakah bisa kuliah. Dia berprestasi di sekolahnya dan diberi kesempatan masuk dalam universitas negri dengan jalur khusus, yaitu jalur prestasi nilai raport. Tetapi, dirinya menyadari tidak mungkin bisa kuliah. Ayahnya sudah meninggal dunia. Ibunya harus menghidupi 4 anaknya yg masih sekolah.
Dalam lamunannya, dia berdoa, Tuhan masih adakah mukjizat? Dan ternyata Tuhan memberikan mukjizatnya, melalui hadirnya orang-orang yang menolong biaya studi, transport, uang buku sampai ke acara wisuda itu selesai. Saya terharu dengan iman seorang anak muda. Saya juga tergugah bersyukur untuk orang-orang yang Tuhan tempatkan di sisinya untuk menolongnya bisa kuliah sampai selesai. Masa depan seorang anak itu dapat menjadi lebih baik karena pendidikan.
Masih ada 21 bab tentang berbagi yang aku tuangkan dalam buku keduaku. Telah banyak kisah membuktikan bahwa pemberian itu menyembuhkan jiwa, menyentuh hati, meneteskan air mata dan membawa perubahan. Ada banyak cerita didengungkan bahwa pemberian itu sanggup mengubah masa depan seseorang, mengangkatnya dari keterpurukan dan memulihkan kehidupannya ke arah lebih baik. Dalam buku kedua, aku menyimpulkan bahwa memberi itu bentuk mengasihi sesama (giving is loving), memberi itu bentuk kepedulian (giving is caring), memberi itu mengubahkan (giving is changing). Sungguh, dunia ini akan indah jika dipenuhi dengan banyak orang yang suka memberi dengan ketulusan.
Aku mulai berpikir dan memiliki impian untuk hari-hari ke depan. Aku ingin sekali menulis buku ketiga, keempat, kelima dan keenam sebelum aku masuk kuliah. Semoga impian aku dapat tercapai. Aku membayangkan memiliki buku dengan cover warna-warni. Biru, kuning, pink, hijau, ungu, dan hitam. Aku juga membayangkan di berbagai perpustakaan sekolah akan ada buku aku. Aku sangat ingin ada banyak anak-anak menemukan kebahagiaan saat membaca buku. Aku ingin membagikan kebahagiaan kepada banyak anak-anak di seluruh Indonesia. Semoga impianku dapat tercapai.
Selain menulis buku, aku juga suka sekali membuat konten edukasi dan mengedit video. Untuk menyalurkan hobi aku ini, aku membuat konten pelajaran dan edukasi. Beberapa pelajaran seperti Matematika, IPA, IPS, Pkn aku buat konten dan aku upload di youtube channel aku, Neishaast. Awalnya, konten ini aku buat untuk diriku sendiri. Aku suka belajar dengan praktik. Aku adalah tipe pelajar kinestetik. Harus ada gerak dan suara sehingga aku dapat fokus belajar. Saat aku membuat konten pelajaran, aku mengisinya pakai suaraku, aku bergerak di depan kamera dan aku edit sesuai seleraku. Aku senang membuat konten youtube.
Tak disangka, ternyata ada banyak remaja seusiaku yang menyukai konten-konten yang aku buat. Mereka menuliskan komentar dengan beragam dan kebanyakan positif. Aku terharu, saat sebagian dari mereka sungguh mengucapkan terima kasih dan memberi tahu bahwa karena konten aku nilai pelajaran mereka jadi lebih bagus. Ternyata, dengan kegiatan memberi skill, kita dapat menjadi berkat untuk orang lain. Bukankah kita akan mendapatkan kebahagiaan saat kita dapat bermanfaat bagi sesama?
Pandemi mulai berakhir. Aku benar-benar berharap pandemi ini akan berakhir selamanya. Aku mulai kembali masuk ke dunia sekolah. Setelah dua tahun tak menginjak gedung sekolah, aku merasa asing di sekolahku. Tapi, aku senang dapat bertemu guru dan teman-temanku. Mereka juga senang sekali bisa bertemu aku. Oiyah, ada satu hal yang sungguh membahagiakan. Aku melihat buku hasil karyaku terpajang di perspustakaan sekolah. Itu adalah impianku sejak dulu. Menjadi seorang penulis buku. Aku tersenyum dan sangat bersyukur untuk pengalaman ini.
Aku mulai membayangkan, buku aku akan ada di berbagai perpustakaan sekolah, swasta atau negeri. Hanya ingin menyapa kepada seluruh remaja di tanah air, usia muda bisa berkarya dengan kebahagiaan. Aku berharap, akan ada donator baik hati yang dapat membeli buku aku dan membagikannya ke sekolah-sekolah. Itu adalah impianku berikutnya. Bagianku menulis buku, dan aku percaya bahwa mukjizat itu masih akan ada.
Satu hal pelajaran berharga yang aku dapatkan dari pandemi panjang ini. Tak ada yang abadi dalam dunia ini. Perubahan akan selalu datang dengan cara dan waktunya. Perubahan yang terjadi kadang tak sesuai dengan keinginan kita. Tetapi aku belajar, setiap perubahan yang terjadi perlu dimaknai ulang. Jika perubahan itu datang dalam bentuk krisis, maka aku akan selalu mengingat sebuah perkataan Bapak Presiden Jokowi, “Jangan pernah menyia-nyiakan pembelajaran berharga yang datang dari sebuah krisis.”
Di dalam krisis ada pelajaran berharga. Aku kembali menguatkan hatiku. Menjadi remaja yang berkarya dapat dilakukan jika ada kemauan. Kondisi apa pun yang terjadi harus diresponi dengan baik. Aku ingin dapat terus menjadi pribadi yang bahagia dan berkarya bagi negeriku Indonesia.