"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un..."
Sebanyak tiga kali lantunan dari ayat Al-qur'an itu bergema dari ujung-ujung desa. Potongan ayat yang bila diperdengarkan sukses membuat hati bergetar, ayat yang memiliki arti bahwa 'sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.' Bacaan tarji itu sudah seperti jadwal minum obat, bisa kembali didengar setelah dua-tiga jam kemudian.
"Telah berpulang ke rahmatullah, Bapak Catu--Suami dari Bibi Wen..."
Sempat jeda selama beberapa detik, sekitar saya terasa berhenti bergerak. Saat itu saya tengah bersama dua sahabat saya di warung seblak. Kami saling pandang demi memastikan bahwa nama yang baru saja melintas di telinga itu benar orang yang kami kenal.
"Corona sudah masuk desa kita, Mbak?"
Saya mengangguk. Di sebelah kiri, Siska namanya, dia menunjukkan sebuah artikel melalui ponselnya kepada Amel--yang tadi bertanya. "Sudah hal lumrah, Mel. Katanya di sini, yang paling rentan terpapar itu para lansia. Duh, aku takut, Mel... Mana Kakek lagi sakit lagi."
"Jangan kayak gitu, aku jadi ikutan merinding."
"Ayo pulang," ajak saya. Sungguh, tidak bagus terus membahas topik tentang wabah virus yang tengah merajalela itu.
Tidak ada seorang pun yang menginginkan virus itu hadir. Tetapi mau bagaimana lagi, sudah barang tentu semuanya ditentukan oleh Yang Maha Esa. Covid-19 sebutannya, berhasil membuat gempar seluruh dunia. Kehidupan berjalan dengan sangat berbeda. Tidak ada lagi pertemuan langsung, jabatan tangan, semuanya berubah menjadi virtual. Keluar rumah menjadi ketakutan, dan masker adalah senjata untuk bertahan.
Lalu, apa lagi?
Sekolah menjadi dirumahkan. Maksud saya, sekolah dilakukan di rumah. Para pekerja pun banyak yang dirumahkan, bahkan banyak yang berakhir dengan tanpa pesangon. Miris sekali, perekonomian semakin menurun.
Banyak argumen yang tidak mendukung anjuran ketat pemerintah. Terutama warga kecil, di desa saya misalnya. Para tulang punggung keluarga tetap bekerja seperti biasanya. Mereka kebal dengan serangan virus, bertahan demi menghidupi keluarga. "Kalau tetap di rumah, kita juga bisa mati. Bukan karena virus itu, tetapi karena kelaparan," begitu ujar mereka.
Kedua orangtua saya juga sama. Mereka menyimpan rasa takut mereka dalam-dalam, tetap berusaha sekuat tenaga menjalani kehidupan biasa seolah virus memang tidak pernah ada.
"Kenapa Ibu tidak pulang saja?" saya bertanya saat itu, saat Ibu menelepon dari seberang pulau yang jauh di sana bahwa beliau sedang sakit.
"Kalau Ibu pulang sekarang kita mau makan apa? Belum lagi biaya kuliahmu, Nak. Kamu kan tahu sendiri toh, kalau cuma ayahmu yang bekerja kita masih tetap kekurangan."
Hati saya teriris, sakit sekali. Setiap Ibu bilang begitu saya akan merasa sangat bersalah. Tentu saja apa yang beliau lakukan semuanya demi saya, demi masa depan saya.
"Jangan khawatir, Ibu baik-baik saja. Ibu cuma flu, flu biasa, bukan corona atau apalah itu namanya. Ibu tahu kamu takut, tapi jangan khawatir, Nak. Yang penting kamu tetap berdoa, untuk kita semua. Nak, Ibu cuma orang biasa, tidak pintar, hanya punya tenaga. Jadi, inilah yang bisa Ibu lakukan buat kamu. Tidak, Ibu tidak kesal, justru ini adalah kewajiban Ibu. Menyekolahkan kamu hingga bisa menjadi orang besar, tidak hidup seperti Ibu."
Meski begitu, andai saja tempat kami tidak berjauhan, saya ingin sekali memeluknya. Lalu dengan perlahan saya ingin mengucapkan banyak kalimat syukur. Saya tidak benci keadaan ini, saya juga tidak benci dengan adanya virus ini, saya hanya benci diri saya sendiri.
"Bu...," panggil saya lirih. "Kalau Ibu nanti sudah capek, bilang aja. Ibu boleh bilang kapan aja, aku nggak apa-apa kalau harus berhenti kuliah."
"Kok doanya begitu? Jangan ya, Nak. Ibu aja semangat, kamu juga harus semangat."
Semua ini seperti jebakan yang kita semua tidak tahu di mana letak jalan keluarnya. Si virus itu datang jauh-jauh ke negara kita, dan terjebak di dalamnya. Dia tidak tahu jalan pulang, maka terus berkembangbiak seenaknya.
Semakin hari, semakin banyak yang meninggal. Sehari setelah kabar ada warga meninggal di seberang desa, kakek dari saudara saya meninggal. Tergopoh-gopoh saya dan teman-teman diminta membacakan Surat Yasin. Sedih rasanya, kami membaca surat yasin dengan menyaksikan anak Kakek Karsam menangis tersedu-sedu.
Lalu hanya sekitar dua hari, Neneknya Rena meninggal dunia. Kami kembali mendatangi rumah yang tengah berduka untuk membacakan Surat Yasin dengan suara tangis yang hilir-mudik ke telinga kami. Sungguh menyedihkan, apalagi ketika kami harus melihat Rena menangis saat itu.
"Sudah tiga orang yang kita bacakan Yasin, ya." Siska menghela napas seraya meluruskan kaki sesaat setelah kami selesai menghadiri hari kedua pembacaan doa di rumah neneknya Rena.
Saya menoleh, ikut mengangguk. "Sudah tiga kali juga kita melihat orang menangis."
"Kenapa corona belum juga berakhir ya, takut...," lirih Amel.
Rena dan Nita hanya merenung dengan wajah sendu mereka. Percakapan berakhir karena kami harus pulang ke rumah masing-masing. Malam itu, saya berjalan melewati orang-orang yang duduk di warung Nenek saya. Mereka tengah membicarakan mantan istri dari Kakek Karsam yang tengah sakit.
"Jadi rumahnya sudah kosong lama, Bang?"
"Sudah jalan tiga minggu ini. Semenjak sakit bareng suaminya, Nek Muah dibawa anaknya tinggal di RT sebelah."
"Corona, bukan?"
"Benar, corona. Kabarnya beliau sakit karena tertular suaminya yang terpapar saat pulang dari sawah. Tetapi selain corona, penyakit bawaan beliau juga sedang parah katanya."
"Aduh, jangan sampai nanti susul-menyusul." Ayahku menyeletuk saat itu, ikut ke dalam obrolan dua tetangga kami.
"Husst.. Jangan begitu kamu, As."
Tidak ada yang menduga, hal yang beberapa hari lalu dibicarakan itu pun terjadi. Suara dari masjid di RT sebelah berkumandang menyebut nama Nek Muah. Beliau akhirnya berpulang juga setelah sakit hampir sebulan lebih.
Ayah yang mendapati ucapannya menjadi kenyataan pun tertegun dibuatnya. Ternyata sudah jalan takdir berakhir dengan demikian. Kabar duka terus-menerus hadir. Orang-orang terdekat satu-persatu pulang kepada-Nya.
Beberapa hari kemudian kakek Siska dan Amel pun menyusul berpulang. Kami, sekali lagi, datang demi membacakan Surat Yasin ke rumah Siska. Kembali kami menyaksikan bagaimana orang-orang akhirnya meninggalkan dunia.
Langit kembali menggelap, hujan turun membasahi desa saya. Semesta seolah ikut bersedih atas banyaknya manusia yang tumbang karena wabah virus ini. Entah pengajaran apa yang dapat diambil dari kejadian ini. Bukankah hanya ada kesedihan, kesedihan, dan kesedihan?
Orang-orang meninggal dunia karena virus. Lalu, bagaimana dengan yang ditinggalkan di dunia? Anak, istri, suami, ibu, bapak. Sungguhlah mereka pasti merasa kehilangan.
"Bukankah yang ditinggalkan pasti sulit untuk membiasakan diri tanpa orang-orang yang meninggalkannya?" tanya saya saat kehilangan topik obrolan dengan teman-teman, lalu secuil ingatan tentang kematian melintas di kepala.
"Itu pasti, coba kita tengok Mbak Titin yang ditinggalkan Kakek Karsam dan Nek Muah dalam waktu yang berdekatan. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jadi beliau. Meskipun dikelilingi tiga orang anak, beliau pasti merasa sedih tanpa orangtua, bukan?" begitu kata Siska menjelaskan.
Rena setuju akan itu. "Sungguh kejam virus ini. Kepada siapa kita lantas menyalahkan semua ini?"
"Siapa lagi? Tentu saja si corona," sahut Nita kesal.
"Yah... Dia merenggut segalanya. Manusia, jarak, waktu, dan materi." Amel berargumen setelahnya.
"Tetapi bukankah semua itu sudah menjadi takdir?" tanya saya.
"Iya, Mbak. Makanya, sekesal apapun kita pada si cororong, takdir selalu meredam amarah kita," ujar Nita.
"Tapi yo tidak apa-apa nyalahin cororong, wong dia aja ke sini tanpa permisi." Amel menambahi dengan kekehan di akhir.
Tentang orang-orang yang meninggalkan dan ditinggalkan, ya?
Dan,
Juga tentang manusia, jarak, waktu dan materi.
Semua itu adalah cobaan. Memang berat, berat sekali, tapi tetap harus dijalani. Karena semua yang telah digariskan akan menyimpan hikmah, maka seharusnya wabah virus ini juga tentu membawa hikmah. Walaupun hikmah itu sulit kita sadari, namun dia sejatinya dapat kita temukan juga akhirnya.
Seperti misalnya, saat melihat banyaknya orang-orang yang tumbang. Itu adalah sebagai bukti nyata bahwa setiap manusia pasti akan mati, dan tidak ada yang dibawa kecuali hanya perbuatan semasa hidup di dunia. Orang yang ditinggalkan harusnya menjadikan itu sebagai pelajaran untuk semakin rajin berbuat baik kepada Tuhan dan sesama manusia.
Benar bahwasanya wabah virus telah merenggut banyak nyawa, menjauhkan yang dekat, dan mengubah banyak aktivitas yang biasa menjadi tabu. Tetapi untuk tahu bahwa itu semua membawa berkah, maka kita harus menelaahnya dengan seksama.
Saya sadari itu ketika sudah mulai mengerti tentang hakikat perpisahan. Manusia itu terlahir sendirian. Suatu hari siapapun yang bernyawa akan mati. Kita sudah tahu itu, tetapi yang namanya perpisahan memanglah sesuatu yang tak akan bisa dipisahkan dengan kesedihan. Lewat tangisan dan ucapan perpisahan yang saya saksikan, saya paham pelajaran apa yang bisa dipetik. Jawabannya adalah 'berbuat baiklah kepada Tuhan dan sesama manusia karena hidup itu sangat singkat,' saking singkatnya kita bahkan tidak tahu kapan giliran kita akan dipanggil untuk pulang.
Saya juga menyadari satu hal lain. Di atas sudah saya sebutkan bahwa adanya wabah virus yang mematikan ini juga mengubah banyak aktivitas yang sebenarnya biasa saja menjadi tabu untuk dilakukan. Contoh kecilnya yaitu berjabat tangan. Dulu itu biasa dilakukan, bahkan menjadi salah satu upaya dalam menjaga kesopanan dalam berinteraksi.
Suatu hari ketika saya datang ke kampus dan tidak sengaja berpapasan dengan salah satu dosen, saya yang lupa bahwa virus masih menyebar dengan ringan menyodorkan telapak tangan untuk bersalaman. Lalu, dosen tersebut langsung mengangkat tangan dan mengayunkannya sebagai tanda penolakan.
"Tidak perlu berjabat tangan, patuhi protokol kesehatan ya. Sekarang kita cuma perlu menyapa saja," begitu katanya.
"Oh iya, baik Bu..."
Kebiasaan lainnya yang juga menjadi tabu dilakukan yaitu sebuah pertemuan. Semua itu berubah dengan adanya jarak sebagai antisipasi menyebarnya virus. Tidak perlu keluar rumah jika itu tidaklah penting. Padahal dulu tindakan ini sifatnya biasa saja. Mau keluar atau tidak, ya, itu kan urusan pribadi. Tidak perlu ada larangan dan ditakut-takuti oleh wabah mematikan.
Imbasnya sungguh menyulitkan orang-orang yang merantau jauh. Pada hari raya yang biasanya diberikan khusus cuti bersama tiba-tiba ditiadakan. Banyak kerinduan yang hanya bisa disalurkan lewat ponsel karena tak bisa dipertemukan oleh kenyataan.
Kalian tahu? Menurut saya hal itu sama sakitnya dengan perpisahan yang terjadi karena kematian. Manusia tetap merasa kesepian, sendiri, dipisahkan oleh orang-orang yang dicintai. Tidak sedikit yang merasakan kesulitan itu, harus berperang dengan perasaan untuk memendam kerinduan sedalam mungkin. Karena jika harus dilanggar akibatnya justru bisa berujung dengan kematian. Sudah banyak terjadi nyawa yang direnggut oleh wabah virus jika berani memaksakan perasaan.
Manusia punya akal, berpikir memakai logika. Daripada nanti dipisahkan selamanya oleh kematian, lebih baik menahan rasa rindu. Disimpan baik-baik, berdoa untuk keselamatan masing-masing, dan bersama-sama nanti menghitung celengan kerinduan saat waktunya telah tiba.
Oh ya, selanjutnya mari kita tengok ke dampak sistem pendidikan. Ya, semuanya berubah menjadi daring. Kalau bahasa kerennya yaitu online. Tidak ada pembelajaran di kelas secara tatap muka. Sejak adanya wabah Covid-19, semua metode pembelajaran berpindah menjadi daring. Hal ini memberikan pukulan besar bagi para pelajar yang tidak terbiasa dengan teknologi, bahkan tak sedikit juga yang tidak dapat menunjang fasilitas modern untuk belajar. Dampaknya sungguh mengkhawatirkan sekali, banyak yang putus sekolah dan memilih menikah. Usia masih belum cukup tetapi dibiarkan menikah karena alasan yang tidak masuk akal.
"Tahu nggak? Temenku banyak yang menikah nih," Nita memulai percakapan di malam yang sunyi sekitar habis isya waktu itu.
"Beneran? Belum juga lulus sekolah padahal," timpal saya.
"Tidak tahu, katanya percuma juga kalau lanjut sekolah. Nggak jelas, sekolah kok di rumah."
Rena menaruh kedua tangan di depan dada. "Asli tiap hari tugas masuk terus, numpuk tahu, tapi boro-boro aku kerjain. Satupun tak ada yang kukerjakan karena soalnya nggak jelas, nggak sesuai penjelasan, nggak paham."
"HP-ku udah kentang, nggak bisa download banyak aplikasi. Sama kayak Rena, jangankan mengerjakan, asal isi absen di grup chatting saja sudah bersyukur." Siska menyahut dengan bersungut-sungut.
Saya bagian yang menertawakan obrolan mereka. Semua yang dikatakan itu benar, dampak perubahan sistem pembelajaran sangat besar bagi pelajar. Seperti harus beradaptasi dari nol lagi dengan pembelajaran jarak jauh. Saya juga merasakannya, sebagai pelajar yang terkena imbas wabah virus, belajar online lebih butuh banyak motivasi untuk melawan rasa malas.
"Kalau begini terus, rasanya mengerikan sekali."
"Jangan begitu, Mel. Ayo berdoa saja supaya cororong cepat pergi," bujuk Nita dengan pelan.
Saya juga ikut mengangguk setuju. Meski butuh waktu yang lama, yang namanya wabah pasti akan pergi juga. Ini semua adalah cobaan, maka suatu saat pasti akan berakhir jua.
Kejadian yang saya paparkan di atas memang tidak mengenakkan. Namun, semua itu berkesan setelah dilalui dengan upaya yang besar. Meskipun dampak yang ditinggalkan Covid-19 masih terasa, ada baiknya kita jadikan semua itu sebagai pelajaran hidup yang sangat berarti.
Setiap yang meninggalkan pesan maupun kesan, meski baik ataupun buruk, hal itu adalah kejadian yang berkesan.
Inilah ruas-ruas kisah yang bisa saya bagi, semoga apapun yang telah terjadi akibat Covid-19 akan segera dipulihkan oleh waktu.
.
.
.
.
.
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca kisah ini :)
Semoga berkenan memberikan vote, terima kasih :) :) :)