Gaiza sedang melahap satu porsi kecil hamburger dengan sebal karena Tyas lebih memilih bermain basket dengan anak cowok ketimbang menemaninya makan di kantin.
Gaiza kemudian meminum es teh yang sudah setengah gelas lalu membayar ke kasir. Sebelum pergi dari kasir, Gaiza memesan satu botol minuman dingin untuk Tyas nanti. Walaupun sebal dan jengkel, Gaiza tak tega melihat temannya digebukin satu sekolah gara-gara ketahuan mencuri air minum milik si kapten basket.
Gaiza segera ke lapangan basket dan menyapukan pandangannya ke segala penjuru. Ah, itu dia Tyas! Rambut panjang berwarna cokelatnya sangat mencolok sehingga gampang untuk menemukannya.
Tyas bermain sedikit aneh, ia hanya melompat ke kanan ke kiri kanan lagi kiri lagi dan seterusnya hingga Hadi, cowok yang sedang berusaha merebut bola dari tangan Tyas pun merasa jengkel dan dengan secara tidak langsung, kapten basket yang satu ini memberikan peluang Tyas untuk memasukkan bola basket ke dalam ring.
Shut!
Bola masuk dengan mulus. Tyas berteriak dan bernyanyi PPAP sambil berjoget gaya Bang Jali. Kemudian, Tyas berlari ke pinggir lapangan untuk menemui Gaiza –meminta minum lebih spesifiknya–.
“Teriakan sama goyangan lo kurang cetar.” kata Gaiza sinis.
“Apa gue harus teriak sambil joget lagi?”
Gaiza menggeleng cepat dan langsung memberikan minuman dingin itu ke Tyas. Tyas menerimanya lalu duduk di bawah pohon beringin dan diikuti Gaiza.
“Temenin gue ke toko buku, Kuy…”
Tyas menyernyitkan dahi lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Gaiza kemudian menempelkan punggung tangannya ke ketiaknya. “Pantes. Panasnya sama.”
“Ish.” Gaiza merengut dan memalingkan wajahnya.
“Lo tumbenan amat ke toko buku. Biasanya aja ngajak gue ke kafe. Hangout bareng Hadi, Birtys, Pordis, Megi.”
“Siapa juga yang mau ke toko buku buat cari materi pelajaran.” jawab Gaiza. “Gue mau bikin kue buat ulang tahun Nyokap.” Gaiza yang semula menyampingi Tyas kini menghadapkan tubuhnya kembali. “Sekali-kali kasih kado buat Nyokap pakai buatan sendiri. Lo bantuin, ya?”
“Katanya buatan sendiri, kalau sama gue artinya buatan Gaiza dan Tyas. Gue gak mau kalau cuma atas nama lo. Ini namanya penipuan orangtua.”
“Serah lu dah.” kata Gaiza setengah frustasi. “Lo mau temenin gue gak?”
Tyas berpikir sejenak, lalu berucap, “Gue tahu resep dan cara buat kue ulang tahun.”
Gaiza memutar bola matanya, “Sejak kapan lo bisa buat kue? Jangankan buat kue, ngerebus air aja pancinya gosong.”
“Jangan sekate-kate lu! Gini-gini gue jago masak sebenarnya. Lo tau sendiri ‘kan salah satu cita-cita gue adalah jadi chef.”
“Gue meragukan kemampuan lo.”
“Masakan gue enak.”
“Pernah buat? Ada yang nyicipin? Gimana katanya? Siapa?”
“Nyokap gue. Katanya masakan gue enak, kurang sedikit air aja.” kata Tyas yang kemudian meneguk minumannya.
“Emang lo masak apa?”
Dengan enteng Tyas menjawab, “Mi instan.”
Gaiza menepuk jidatnya. “Ya Tuhan!”
***
Gaiza menatap Tyas ragu ketika Tyas memecahkan satu butir telur. Bagaimana tidak ragu, Tyas mencoba memasukkan kuning dan putih telur ke mangkok tetapi malah cangkang telurnya juga ikut. Tyas mencoba meyakinkan Gaiza dengan mengatakan bahwa dia sedang grogi kalau dilihatin terus.
“Lo yakin bisa?”
Tyas mengangguk cepat. “Dulu gue sering buat ginian sama Ritna.”
Gaiza diam sejenak, lalu berkata. “Loh, Ritna kan sudah pindah waktu masuk kelas 2 SD.”
Tyas mengangguk lagi. “Memang Ritna pindah.”
Gaiza makin tidak mengerti, “Lah, terus lo kapan buat kue ulang tahun sama Ritna?”
Tyas mencoba memasukkan tepung ke dalam adonan, namun tumpah-tumpah dan parahnya tepung yang sudah tumpah itu dimasukkan lagi ke dalam adonan. “Ya waktu gue TK, lah. Gue sering buat ginian pake tanah basah di depan halaman rumah Ritna.”
Gaiza meneguk air ludahnya dengan susah payah. “Terus lo samain kue ulang tahun yang dari bolu ini dengan kue ulang tahun dari tanah basah?”
“Caranya gak jauh beda.”
Gaiza membereskan bahan-bahan membuat kue. “Mendingan kita ke toko buku dulu, Yas. Lo copot apron sama sarung tangan lo.”
Tyas menahan tangan Gaiza. “Jangan! Kita harus benar-benar buktiin ke nyokap lo kalau kita bisa tanpa bantuan apapun kayak buku atau tutorial dari youtube. Nyokap lo pasti akan bangga melihat anaknya dan anak tetangganya bisa bikin kue ulang tahun. Nyokap lo pasti akan terharu dan beliin lo Iphone 6.”
Gaiza segera mendekatkan dirinya ke Tyas. “Kok lo tahu kalau gue ngebet banget pingin punya Iphone 6.”
“Gue keturunan paranormal. Jadi sewaktu-waktu gue bisa ngehipnotis lo.”
Gaiza menatap Tyas malas. “Gue percaya.”
“Oke… Sekarang ambil mixer-nya!” perintah Tyas.
Gaiza yang tidak mengerti apa-apa tentang cara membuat kue ulang tahun hanya menurut saja walaupun ia tahu pasti nanti ada yang gak beres.
Tyas mencoba me-mix adonannya. Karena tidak pernah menggunakan mixer, baskom yang digunakan sebagai wadah adonan hampir jatuh karena mixer yang dipegang Tyas sering mengenai sisi baskom.
“Lo sebenernya bisa gak sih, Yas?! Kalau jatuh gimana?!”
Tyas masih sibuk dengan mixernya, “Dibilangin gue grogi kalau dilihatin.”
Gaiza mencari ide, lalu dengan akal absurdnya, Gaiza pergi ke kamar dan mengambil kaca mata hitam lalu kembali ke dapur.
Tyas memperhatikan Gaiza yang sekarang menjadi persis tukang pijet langganan ayahnya. “Lo mau jadi tukang pijet?”
“Katanya lo grogi kalau dilihatin. Nih, gue udah pakai kacamata hitam.”
Tyas mengangguk dan kembali me-mix adonan. “Tambahin tepungnya.”
Gaiza mengambil tepung lalu menuangkannya ke dalam baskom, “Segini?”
“Dikit lagi…”
“Udah?”
“Sedikit… lagi.”
“Segini?”
“Eh, gimana sih, Za. Itu tuh kebanyakan! Gimana coba kalau tepungnya kebanyakan!”
“Ya elo-nya dari tadi bilang sedikit, jadinya gue tuangin aja semuanya biar cepat selesai.”
Tyas mengangguk-angguk. “Benar juga.”
Mereka menyelesaikan adonan menjadi kue dengan banyak perdebatan, hingga muncratan air ludah pun menjadi campuran adonan tersendiri.
***
Gaiza memasuki rumahnya dengan hati-hati. Ia memastikan apakah mamanya sedang sibuk atau tidak.
“Nyokap gue lagi nonton TV. Cocok banget buat kasih surprise. Lo pakai topi ulang tahun ini…” Gaiza memasang topi ulang tahun ke kepala Tyas. “Pakai lipstick cemong…” Gaiza memoleskan lipstick milik mamanya Tyas ke wajah dan bibir Tyas. “Terus rambut lo dikucir begini…” Gaiza mengucir dua rambut Tyas dan diletakkan di depan.
“Gue kok berasa orang gila.”
“Biar suprisenya makin WOW!”
“Kenapa gak lo aja?”
“Gak seru… muka lo lebih aneh dari gue.”
Tyas mengangguk walaupun tak mengerti. “Ya udah. Ayo buruan, Za!”
“Oke.”
Mereka berjalan mengendap-endap dari rumah Tyas menuju rumah Gaiza. Hampir beberapa langkah sampai ke pintu depan rumah Gaiza, Gaiza menghentikan langkahnya.
“Kue ini beneran enak?”
“Tenang ajaaa….” Tyas mengacungkan jempol penuh keyakinan. Padahal sepuluh menit yang lalu, Tyas mual-mual setelah mencicipi kue buatannya sendiri.
Ting Tong! Ting Tong!
Terdengar dari arah balik pintu suara orang berjalan.
Gaiza dan Tyas mulai mengaba-aba. “Satuu…. Dua… ti…”
Mama Gaiza membuka pintu. “Ya, siap... AAAAAAAAA HANTUUUUUU!”
Brug!
Mama Gaiza pingsan setelah melihat penampilan Tyas yang mengerikan. Gaiza dan Tyas pun tertawa puas.
“Yes… berhasil!” kata Gaiza senang.
“Iyaa…” Tyas juga ikut senang.
Beberapa detik kemudian, “Yas, tapi kan rencana kita bukan buat Nyokap gue pingsan. Kita kan berencana buat Nyokap terharu.”
“Bener juga.”
Gaiza masuk ke rumah dan meletakkan kue ulang tahunnya lalu membantu Tyas mengangkat Mama Gaiza ke sofa.
“Ma…” Gaiza memukul pelan tangan Mama Gaiza. “Ma…”
Mama Gaiza menerjap pelan lalu terbangun dari pingsannya. Mama Gaiza tak sengaja melihat Tyas kembali yang masih berdandan seperti itu. Lantas Mama Gaiza mendelik dan berteriak lagi.
“Orang gilaaaaaa!” lalu jatuh pingsan kembali.
Tyas menghadapkan tubuhnya ke arah Gaiza, “Za, sebenernya gue mirip hantu apa orang gila, sih?” tanya Tyas mencoba mencari kepastian.
“Gabungan.”
“Oh.” Tyas mengangguk.
“Lo cuci muka di kamar mandi. Nanti, Nyokap pingsan lagi melihat rupamu.”
Tyas mengangguk dan melesat menuju kamar mandi.
Gaiza mencoba membangunkan mamanya lagi. “Ma…. Mama? Ma…”Gaiza sedikit menggoyangkan tubuh Mama Gaiza.
Mama Gaiza menerjap kaget lagi dan duduk sambil melirik ke kanan dan ke kiri. “Hantu jelmaan orang gila itu gak ada di sini kan, Za?”
Gaiza mengangguk juga menggeleng. Membuat Mama Gaiza kembali pening.
“Iya apa enggak?”
“I..iya… eh.. enggak… eh iya apa enggak ya?”
Tyas kembali dari kamar mandi dengan wajah penuh butiran air. “Tante? Udah sadar?”
Mama Gaiza menoleh, “Eh, Tyas, kamu di sini? Kapan? Kok Tante gak tau, ya?”
Tyas menatap Gaiza dan Gaiza menatap Tyas. Kedua gadis itu melayangkan pertanyaan yang sama melalui udara.
Alih-alih pada bingung, Gaiza mengalihkan perhatian mamanya dengan menyodorkan kue ulang tahun. “Mama…. Happy birthday to you… Happy birthday to you… Happy birthday Happy birthday Happy birthday to you…”
Mama Gaiza menatap Gaiza tak percaya dan menggenangkan air mata haru.
Tak mau dicuekin, Tyas langsung menyahut. “Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup… eh, koreknya mana?”
“Itu sebelah vas bunga.” kata Gaiza menunjuk dengan mata.
Tyas segera mengambil korek dan mendekat. Lalu menyalakan lilinya dan kembali bernyanyi. “Potong kuenya… potong kue…”
“Tiup lilin dulu, atuh.”
“Oh iya… Tiup lilinnya, Tiup lilinnya, Tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang juga. Sekarang juga…”
“Kok maksa?” tanya Gaiza sewot.
“Lagunya memang begitu, Sayang.” kata Mama Gaiza agak tertawa.
Mama Gaiza lalu meniup lilinnya dan disambut sorak gembira dari Gaiza dan Tyas.
“Potong kuenya. Potong kuenya. Potong kuenya sekarang juga. Sekarang juga. Sekarang juga.” Tyas kembali bernyayi.
“Kok lo maksa terus sih, Yas?”
“Lagunya memang begitu, Gaiza….”
“Udah berubah, ya?”
Tyas dan Mama Gaiza hanya memutar bola malas.
Mama Gaiza lalu mengambil pisau yang sudah disediakan Gaiza dan Tyas. Mama Gaiza memotong satu persatu bagian kue.
“Potongan pertama untuk anak Mama…” Mama Gaiza dan Gaiza cepika cepiki.
“Potongan kedua untuk suami Mama… yah, tapi Ayah lagi kerja…” ungkap Mama Gaiza galau. “Yaudah deh, potongan kedua untuk Tyas yang udah bantuin buat kue.”
“Terima kasih, Tante.”
“Sama-sama.” Mama Gaiza dan Tyas juga cepika-cepiki. “Dan potongan ketiga untuk Mama sendiri. Waw! Pasti enak.”
Gaiza dan Tyas tersenyum lebar. Sepertinya Tyas lupa akan kejadian beberapa menit lalu.
Mereka pun secara serentak memakan kue ulang tahunnya.
“Happy Eating!”
Ekspresi senang bercampur haru seketika lenyap ketika kue ulang tahun mulai menjelajahi lidah mereka masing-masing.
Semuanya berbarengan memuntahkan kue itu dan meminum minuman gelas yang ada di meja.
“Euh… kenapa rasanya kayak kue basi begini?”
Krucuk krucuk krucuk
“Aduh… perut Mama!” Mama Gaiza segera lari menuju kamar mandi.
“Aduh perut gue…” erang Tyas yang disusul juga dengan erangan dari Gaiza.
Mereka berdua bertatap-tatapan lalu berlomba menuju kamar mandi yang masih tersisa.
Tyas berhasil memasuki kamar mandi terlebih dahulu dan dengan sebal, Gaiza menggedor-gedor pintu kamar mandi.
“Tyas! Gue dulu yang masuk! Ini rumag gu… Aw… perut gue!” Gaiza memperkeras ketukan –gedoran– nya. “Tyas! Keluar!!!”
Mama Gaiza yang berada di kamar mandi sebelah, membuka pintu kamar mandi dan keluar dengan wajah riang. “Mama udah… mas… Perut Mama!”
Gaiza menerobos masuk dan langsung mengunci pintu kamar mandi.
Mama Gaiza menggedor-gedor pintu. “Gaizaaaaa!!! Bukaaaa!! Aw!”
Akhirnya Mama Gaiza pergi ke rumah Tyas dan menumpang buang air besar di sana. Mama Gaiza menyumpahserapahi kelakuan dua ABG labil itu sambil menahan rasa sakit dan mual yang ia alami saat ini.