"If life goes the way you want it to, it must be just a dream."- Kim Jisoo
Awal Desember tahun 2019, dari sanalah semuanya dimulai. Di detik pertama terdeteksinya sebuah virus yang sebelumnya tak banyak orang pahami. Bermula dari salah satu kota di negeri tirai bambu, tempat pertama kali virus ini terdeteksi.
Aku mendengarnya, aku membacanya, dan aku mengabaikannya. Kupikir itu masalah negara mereka tak akan berpengaruh padaku yang berada di belahan bumi lainnya. Namun, aku salah. Sekarang itu menjadi masalah hampir di seluruh dunia.
Seiring virus itu semakin menyebar, himbauan pun juga sudah beredar. Kebijakan-kebijakan pemerintah juga sudah terlontar. Berharap pandemi segera terbubar. Namun, masih saja ada yang berkoar bahwa virus Corona tak lebih dari sebuah settingan. Mengabaikan protokol kesehatan, membuat pandemi ini semakin lama bertahan.
Puluhan, ratusan, ribuan, bahkan jutaan korban berjatuhan. Membuat dunia tak karuan diselimuti ketakutan dan kekhawatiran. Hingga membuat hampir segala kegiatan dilakukan secara virtual. Demi mencegah adanya kerumunan yang akan memperparah keadaan.
Hal itu juga berakibat tidak baik di bidang pendidikan. Hampir semua sekolah tidak diperbolehkan melakukan pembelajaran tatap muka. Awal mendapat berita ini, tentang sekolah yang diliburkan karena pandemi tentu aku bahagia sangat bahagia malahan, mengira datangnya liburan yang menyenangkan.
Sekali lagi aku salah, semuanya justru semakin sulit dan membuatku lebih kewalahan dari sebelumnya. KBM, tugas, sampai ujian, semua dilakukan secara online. Entah ini hanya aku atau juga yang lainnya. Aku kesulitan dalam memahami setiap hal yang guru sampaikan. Di tambah dengan adanya banyak godaan tak tertahankan, membuatku selalu berakhir kelimpungan.
Ini tentangku, sebagai seorang siswi di sekolah SMA yang menjadi salah satu sekolah favorit di kotaku. Vika, begitulah mereka menyapaku. Dari kelas XII MIPA 4, kelas dengan siswa-siswinya yang mungkin selalu diingat oleh guru-guru bahkan sejak pertama kali debut.
Sudah dua tahun aku sekolah disini, tapi tak banyak kenangan yang kudapatkan. Mereka bilang SMA adalah masa yang paling indah, tapi hingga kini aku belum menemukan keindahan itu. Padahal hanya tinggal beberapa bulan waktuku menetap disini.
Tidak ada lagi Diesnatalis ataupun 17-an, dan yang paling ku tunggu-tunggu adalah menyaksikan para calon adik kelas yang akan menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah. Melihat mereka merasakan apa yang kurasakan dulu, pasti sangat menyenangkan. Sayang sekali, itu hanya sebatas angan.
Seperti biasa, aku mengawali hariku dengan memaksa pergi rasa kantuk. Melakukan beberapa kewajiban dan kebiasaan dilanjut dengan menunggu tugas datang. Aku menunggu sembari memainkan keyboard di ponselku. Bukan berkirim pesan melainkan menuangkan khayalan.
Di sebuah platform kepenulisan aku merasa nyaman, merilekskan pikiran dengan menyambung kata hingga menjadi sebuah karya tulisan. Semakin lama semakin banyak kutemukan kenikmatan, memasuki dunia fantasi yang selalu aku idamkan. Terbuai fantasi liar membuatku lupa akan janji yang selalu kutekankan. "Saat tugas datang, pasti akan langsung kukerjakan." Itulah janji yang sudah satu setengah tahun lalu kuucapkan.
Lagi dan lagi aku melakukan pengingkaran. Mengingkari janji dimana aku sendiri yang mengucapkannya tanpa paksaan. Namun, hari ini deretan kata itu hanya terdengar seperti bualan. Aku menunda pekerjaan demi khayalan.
Tak terasa waktu telah lama berjalan. Satu per satu tugas kini menjadi sebuah tumpukan. Membuatku justru semakin malas memikirkan pelajaran. Seketika sebuah pesan menggetarkan isi kepalaku.
“Boo, besok tugas sejarah di kumpulkan, kan?” Begitulah isi pesan itu, dari sahabatku yang memang sudah paham kebiasaan burukku.
“Iya tah? Bukannya masih ada waktu sepekan?” balasku penuh keresahan sembari menanti jawaban. Berharap aku tidak salah memberikan perkiraan.
“Sepekan? Iya, sepekan itu sudah hangus menjadi semalam. Pasti belum ngerjain sama sekali kamu, kan? Cepetan kerjain!”
Hari telah berganti, tugas lain sudah menanti. Aku terus memaksa diriku untuk bergerak. Bergerak maju dari perasaan negatif. Insecure, malas, marah, kesedihan, dan rasa bersalah selalu menghiasi setiap hari-hariku.
Malam hari adalah waktu yang paling kunanti. Waktu dimana semua terasa sunyi menenangkan. Gelapnya malam menjadi tempatku merenungkan keadaan yang tak kunjung membaik. Sengaja kubuka salah satu akun media sosialku, membaca beberapa quotes yang kurasa sejalan dengan yang sedang kurasakan.
Tak kusangka banyak orang di luar sana yang mengalami hal yang sama denganku, mungkin hampir semua orang pernah mengalaminya. Merasa bosan dengan kehidupan yang monoton, merasa tidak dibutuhkan, dan terlalu takut dengan apa yang akan terjadi di masa depan.
“Vika, cepat tidur. HP terus.” Setiap malam aku mendengar suara ibuku yang tak pernah bosan mengingatkan.
Aku hanya mendesah kesal berlanjut dengan menutup pintu kamarku.
Kumatikan lampu, berusaha keras memejamkan mataku. Namun, aku tetap tidak bisa masuk ke alam tidurku. Ada banyak hal dipikiranku, tujuan hidup, keinginan membahagiakan orang tua tapi malah hanya bermalas-malasan, dan beberapa omongan kiri kanan yang tak menyenangkan.
Di umurku sekarang, aku sadar hidup bukan hanya tentang drama percintaan apalagi panggung pameran. Lebih dari itu, kerja keras dan kuatnya keinginan menjadi dasar tercapainya keberhasilan.
Kupejamkan mataku perlahan. Merapatkan selimut yang memang sejak tadi sudah memelukku memberikan kehangatan.
Kuterima kenyamanan yang perlahan membawaku menuju ketenangan. Kutinggalkan perasaan campur aduk menuju rasa kantuk.
Sekarang aku menyadari bahwa waktu memanglah emas. Sangat berharga disetiap detiknya. Juga, janji tidak dibuat hanya untuk diucapkan apalagi hanya sebagai hiasan.
Janji dibuat dikarenakan adanya rasa takut akan terjadinya sebuah kesalahan. Mengucap janji adalah awal dari sebuah keterikatan, di mana mengingkarinya terkadang bisa sangat menyenangkan.
Siapa yang mengira di tahun terakhir masa SMA-ku ini, aku masih mencari-cari di mana letak masa-masa indah yang selalu orang bicarakan. Aku menyerah mencari, setiap harinya hanya berarti tekanan. Mungkin karena aku terlalu berpegang pada prinsip, bahwa menjalin hubungan dengan lawan jenis akan menurunkan performa nilai sekolahku.
Hingga di titik aku hanya tinggal menunggu terbitnya surat kelulusan, aku tidak lagi peduli dengan asmara dan segala tetek bengeknya. Aku mulai membagi waktu untuk konsisten menulis cerita fiksi di samping mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk universitas.
Aku sudah mengikuti SNMPTN, dan hasilnya cukup mengecewakan. Itu cukup membuatku merasa down, tapi beruntung aku segera sadar. Aku belum cukup layak untuk mendapatkan keberhasilan itu. Aku dari kelas IPA dan ingin linjur ke jurusan yang seharusnya untuk anak IPS. Setidaknya aku harus paham sedikit-sedikit tentang mata pelajaran yang ada di kelas IPS.
SBMPTN sepertinya jalan agar aku yang sebenarnya malas belajar mendapatkan lebih banyak pengetahuan melalui cara paksaan. Karena harus mengikuti UTBK soshum, aku harus mempelajari mata pelajaran yang tidak begitu difokuskan dalam kelasku sebelumnya.
Ilmu terasa begitu indah ketika aku berusaha mempelajarinya dengan ikhlas dan senang. Rasanya apa yang kupelajari jadi bisa cepat meresap. Aku baru mempelajarinya, tapi sosiologi sudah menjadi pelajaran favoritku.
Di samping itu, pasti ada halangan yang kurasakan. Segala omongan orang yang begitu membuatku tertekan tidak sepenuhnya bisa kuabaikan. Fokus pada pengembangan diri, itu yang terpenting. Kalimat itu selalu kutekankan, tapi tentu tindakan tidak berjalan semudah melontarkan ucapan.
Setiap orang memiliki jalannya sendiri dalam meraih kesuksesan. Menurutku, dalam masa terpuruk, setiap orang juga merasa mereka yang paling kesulitan. Aku sendiri merasa begitu, merasa seolah diri sendiri yang paling kebingungan dan melakukan perjuangan besar.
Aku sadar tidak sepantasnya aku berkata lelah, karena orang tuaku pasti jauh lebih lelah. Aku hanya merasa sendirian di tengah banyaknya kebimbangan dan tekanan. Aku merasa ditekan oleh ekspetasi keluarga, walaupun mereka tidak pernah mengutarakannya.
Pikiranku selalu dipenuhi hal negatif yang berlebihan. Aku merasa ingin dihargai walau mungkin hanya secuil aku berjuang. Terkadang aku merasa semua yang kulakukan hanya sia-sia. Aku terlalu takut pada kegagalan. Takut kalau-kalau hasil akan mengkhianati usaha yang kulakukan.
Aku kadang membandingkan kehidupanku dengan hidup beberapa temanku. Betapa mereka bisa sangat beruntung karena bisa berhasil dengan hanya berbuat seperti itu(?) Aku lupa sesuatu, seperti mereka tidak tahu usahaku, aku juga tidak tahu seberapa banyak mereka telah terjatuh.
Aku terdengar sangat egois dan seperti seorang yang kufur nikmat. Aku menyalahkan orang lain atas kesedihanku, bahkan orang tuaku pun tidak luput dari kemarahan dalam hatiku. Aku berulang kali memarahi mereka dalam hati, dan berulang kali pula meminta maaf atas hal itu, tentu saja hanya di dalam hati.
Aku tidak mengucapkan sepatah kata, tapi hatiku selalu dipenuhi amarah. Aku sedang berusaha memeranginya sekarang. Aku ingin berubah menjadi lebih baik, menjadi orang yang lebih memahami keadaan dengan pemikiran yang lebih terbuka.
Pandemi ini benar-benar memberikan banyak pelajaran padaku. Beberapa bulan terus berada di rumah, membuatku sadar menjadi semakin dewasa bukan berarti aku bisa bebas pergi ke mana saja. Namun, usia dewasa berarti memiliki pemikiran yang lebih bijaksana untuk memutuskan jalan hidup mana yang ingin kujalani.
Dari dulu aku sangat tidak suka bersosialisasi, apalagi bicara di depan umum. Beli cilok saja kadang masih gagap. Namun, sekarang, aku sadar kemampuan itu sangat diperlukan. Bukan hanya untuk dunia kerja, bersosialisasi ternyata bisa membantu banyak orang.
Ada kekuatan di balik kelemahan. Aku sadar kelemahanku adalah public speaking. Semua terasa mudah saat dituangkan dalam tulisan, tapi sulit jika lewat lisan. Sekarang aku sedang membangun kekuatan untuk menyamarkan kelemahan itu.
Seorang guru di sekolahku menginspirasiku untuk bisa menjadi seperti beliau. Begitu penyabar dan sangat memahami kami sebagai muridnya. Selama masih ada kesempatan beliau selalu membuka ruang untuk kami yang berkeinginan memahami materi lebih baik dengan mengadakan kelas tambahan, di luar jam pelajaran. Padahal tentu saja beliau yang lebih sibuk.
Kesibukanku beberapa hari belakangan ini hanya fokus menyelesaikan ceritaku yang bertumpuk, tapi belum ketemu ending-nya. Beberapa waktu tersisa aku gunakan untuk belajar sebagai persiapan UTBK. Aku sadar itu terbalik. Harusnya aku fokus pada belajar dan menulis jika sempat, tapi ideku selalu lancar saat ada halangan, sedikit menyebalkan.
Aku masih berusaha menemukan jawaban, mengapa saat aku belum mempublikasikan tulisanku, rasanya mau kubaca ribuan kali pun tulisan itu tetap menakjubkan, serasa seperti sebuah masterpiece. Namun, satu menit saja setelah dipublikasikan, jadi beda lagi rasanya. Bahkan mau membaca awalannya saja jadi geli sendiri.
Disebabkan pandemi ini juga aku jadi suka menulis. Aku tidak mengira bisa menciptakan sebuah karya. Sangat beruntung aku suka menulis. Sehingga aku sedikit paham tentang aturan kepenulisan, seperti penggunaan tanda baca, bentuk kata baku dan tidak baku, serta penempatan huruf kapital. Ternyata semua itu juga diujikan dalam UTBK. Pengetahuanku masih belum sempurna, ditambah aku juga pelupa. Jadi, tidak jarang masih ada banyak yang salah.
Masa peralihan menuju dewasa mungkin bukan puncak kesulitan, tapi itu cukup membuatku kewalahan. Aku kadang ingin menyerah, karena jika dibayangkan, sepertinya aku tidak bisa melanjutkan. Di depan pasti masih banyak tantangan yang lebih besar dari ini. Aku merasa belum siap menghadapinya. Namun, aku memutuskan untuk bertahan dan berjuang. Di samping perasaan tidak bisa melanjutkan, aku percaya akan cerahnya masa depan. Tidak ada hal yang sia-sia. Setiap usaha pasti ada hasilnya. Manusia akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Pastikan niat itu demi kebaikan.
Aku bertanya-tanya, apakah jika tidak ada pandemi ini, semuanya akan berjalan lebih baik? Seorang tetanggaku bilang, anak seusiaku tidak akan bingung memikirkan untuk mencari pekerjaan. Aku jadi punya pertanyaan lain, apakah dia tidak berpikir untuk mencari pekerjaan saat seusiaku? Jujur saja kalimatnya membuatku merasa diremehkan. Oleh karena aku selalu terlihat menikmati hidupku, bukan berarti aku tidak pernah berpikir. Bukan sekadar haha hihi menghamburkan uang lalu asal memilih jalan. Aku juga memikirkan masa depanku, tentang tujuan hidupku.
Hidupku ada di tanganku. Bukan orang lain yang akan menderita jika aku menyerah pada keadaan. Bukan orang lain yang akan menikmati jika aku sukses mengambil langkah. Semua keputusan itu dari aku, oleh aku, dan untuk aku. Aku yang membuat keputusan, Aku yang menjalankan keputusan itu, dan aku juga yang akan merasakan hasil dari keputusan itu. Tidak boleh ada kata menyerah dalam hidup. Meski banyak pihak sudah banyak melempar kerikil.
Selanjutnya aku hanya bisa menyadarkan diri, tidak semua orang berusaha dan akan mengerti. Sebaik-baik teman yang paling pengertian adalah diri sendiri. Maka dari itu, hargai dan cintai diri sendiri. Aku sangat berharga. Sebaik atau seburuk apa pun diriku, aku tetaplah insan yang ada harganya dan pasti ada gunanya. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, termasuk aku dan kamu yang juga bagian dari dunia ini.
Di bawah ini adalah sajak dari hatiku.
Anak dara ini sudahlah penuh noda. Tercemar oleh keruhnya stigma yang merasuk ke dalam sukma. Meredupkan keemasan darma. Sekeras pun aku mencoba, tetap tidak akan bisa mencapai kata paripurna. Terlalu kecil untuk semesta, tidak terlalu besar hingga bisa berdaya guna.
Namun, tidak boleh berhenti merajut asa. Selama raga masih bernyawa, hidup tidak boleh sekadar berserah. Selama bumi masih meroda, pasti akan datang gembira. Pasti akan ada derita yang membuat diri bermuram durja, tapi masih haram berbuat durjana.
"Sometimes I give myself good advice, but I rarely follow it."-Alice (Alice in Wonderland)
Glad to hear that🥳 congratulation 😁
Comment on chapter Chapter 1