Diaryku
Pandemi Tak Memberi Jarak Bukan Berarti kita Berhenti Bergerak
By: Ayu Aryaningsih
Hi, sahabat!
Kali ini aku memulai bangkit kembali setelah sekian lama dibuat beku oleh pandemi. Pandemi menyempitkan ruang hidup dan membuat senggang jarak kita. Sudah lama sekali, ternyata, hampir tiga tahun. Kita terbelenggu oleh keadaan, terkurung di dalam lingkungan kita sendiri. Banyak yang mati, tak hanya manusia. Kehidupan sosial, ekonomi, pendidikan dan sektor lainnya juga ikut mati. Akibat adanya pandemi ini, kita semua merasa risau apakah besok masih bisa untuk menyambung kehidupan atau tidak, karena mata pencaharianpun menjadi sukar dalam masa ini. Banyak kisah, banyak cerita yang muncul karena pandemi ini, semuanya tercampur. Pengalaman pahit, manis, baik, buruk, suka maupun duka. Dan salah satu cara kita menuangkan keluh kesah kita adalah dengan menuangkan cerita.
Untuk memulai semuanya, aku akan memperkenalkan diriku dengan ringkas dan memulai untuk berbagi pengalamanku dimasa pandemi ini. Aku Ayu Arya dengan nama lengkap Ni Putu Ayu Aryaningsih. Iya, aku berasal dari Bali. Saat ini aku seorang mahasiswa angkatan Covid jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Pendidikan Ganesha, semester dua yang masih terpaku di depan layar untuk mengepu pendidikan. Ya, daring yang lumayan membuat sinting. Aku berusia 19 saat ini, hanya 19, tanpa covid. aku rasa cukup tentangku, sekarang lanjut ke dalam ceritaku.
Diawal pandemi ini aku masih duduk di bangku SMA kelas dua, sebelum pandemi aku merupakan anak yang aktif, suka hal baru, berkegiatan kesana kemari, berinteraksi dengan banyak orang dengan mudah dan ya seperti yang kalian ketahui aku anak yang bisa disebut ekstrovert. Hingga tiba suatu pandemi yang sempat menghentikan gerakku. Sempat diam terpaku, tapi tak lama kemudian bangkit lagi. Kembali terpaku dan sekarang mencoba bangkit lagi dengan mengikuti kegiatan yang serba online. Membosankan bukan?. Dalam tulisan ini aku ingin berbagi pengalaman mengesankan yang lumayan menyebalkan dalam usaha bangkitku di masa pandemi. Pada satu hari saat itu, seorang guruku yaitu Ibu Rosini memberikan sebuah informasi bahwa DPC Bali mengadakan sebuah lomba Musikalisasi Puisi dengan membawakan salah satu puisi dari Bung Karno. Aku masih ingat lirik dan nadanya, sangat melekat di kepala. Bagaimana tidak, aku dan teman-temanku yang berjumlah lima orang membesarkan nyali untuk ikut dobrak dalam lomba ini. Bukan dobrak sembarang dobrak, kami lomba tanpa pembina. Menciptakan nada sendiri, mencari instrument sendiri, dan segala hal pun kami lakukan sendiri. Kami sempat bergumam bersama, tapi tanpa orang lain tahu bahwa kami sedikit kesal dengan sekolah pada saat itu yang minim memfasilitasi kami. Tapi, aku tahu itu bukan hal yang disengaja, sedang maraknya pandemi membuat siapapun menjadi renggang dan membuat susah dalam segala bidang. Kami berlatih setiap hari, banyak pertentangan, banyak perbedaan pendapat, tapi kami belajar menyelesaikannya dengan baik dan tenang, badai pasti berlalu. Setiap hari ada saja hal yang tidak cocok, mungkin karena kami menghabiskan sangat banyak waktu untuk bersama dalam latihan itu, kiranya 12 jam. Sempat berfikir untuk berhenti karena kita tidak menemukan instrument yang tepat untuk nada kami, tapi hati selalu berkata “ayo majuuuu”. Semua tetap berlanjut, kami hanya punya waktu satu minggu untuk benar-benar menyelesaikan semuanya. Kadang sangat jenuh,tapi kami selingi dengan benyanyi-nyanyi sedih sambil menunggu pesanan Go-food kami. Latihan demi latihan, seorang temanku si Genta namanya, dia pandai menciptakan nada indah dan ia menemukan titik terang untuk karya kita. Ngebut sengebut-ngebutnya kita berlari mengejar waktu yang semakin hari semakin dekat. Semakin latihan, semakin mantap. Aku sampai merinding saat itu setiap latihan karena merasakan sesuatu yang amat indah. Semua lelah terbayarkan dengan senyum teman- temanku yang merasa kita sudah berada di ujung dan memegang sebuah bintang, walaupun sinarnya masih setengah lilin. Musikalisasinya sudah mantap, dan yang kurang adalah masalah besar bagi wanita yaitu pakaian. Kami bingung saat itu harus mengenakan apa agar selaras dan mampu berpadu dengan temanya. Sebuah lampu keluar dari kepalaku,ting. Aku menjelaskan tentang ideku yaitu konsep indonesia harus kita satu padukan dengan ciri khas nasional saat ini. Mengenakan kebaya putih dilempang dengan selendang putih lalu ditambah dengan balutan kain batik menjadi pilihan yang pas saat itu. Karena sedikit bercerita tentang keadaan Indonesia yang menyinggung gedung-gedungnya, kami memutuskan untuk mengambil vidieo ditengah sawah. Semuanya sudah matang, rencana terlihat sangat indah. Kami mulai pergi ke studio musik untuk berdiskusi tentang hasil yang kita punya. Dan tibalah hari itu. Kita memutuskan untuk pergi ke hamparan sawah yang sangat luas di Abiansemal. Terik saat itu, cukup menggoyahkan hati. Kita mulai dengan bermodalkan vidieografer andalan di kelas kami yaitu Sentanu yang rela kami bayar hanya 50 ribu saat itu. Panas, keringat, lelah menjadi satu untuk mendapatkan sebuah hasil. Setelah lama berjemuran, kami selesai jam 12 siang,tepat. Kembali kerumah salah satu teman kami dan merasa semuanya sudah berakhir untuk kegaduhan pikiran ini. Pulang kerumah masing-masing, rasanya sangat sepi. Hari demi hari rasanya semakin hampa karena ternyata latihan membuat hubungan kita menjadi begitu dekat dan merasakan persaudaraan yang erat. Disitulah aku baru sadar, kita sangat mandiri saat itu, kita anak-anak yang berani, kita anak-anak yang kuat batin dan mental. Bukan berlebihan memuji diri, tapi itu yang aku rasakan dalam sebuah proses yang panjang dan memakan begitu banyak waktu dan tenaga. Oh iya, lanjut untuk vidieonya, kami memerlukan waktu 3 hari untuk proses pengeditan dan setelah jadi langsung kita berikan ke pihak panitia menggunakan sebuah flashdisk kecil yang kami harapkan tidak eror jika diputar. Beberapa hari setelah karya dikumpulkan, semua vidieo dari peserta di posting dalam platform Instagram. Kami pun sangat terkejut karena sangat banyak peserta yang mengikuti ajang tersebut. Bukan hanya banyak, tapi mereka sangat luar biasa, sangat jauh dari kami. Kami berlima yang awalnya sangat optimis untuk menang, tiba-tiba merasa gagal sebelum perang. Bagaimana tidak, mereka berbalut pakaian indah, iringan yang mereka gunakan sangat indah dan unik, apalagi yang datang dari sekolah seni, mereka menampilkan puisi dengan gambelan gender begitu banyak serta diiringi dengan kidung. Merasa rapuh, dan sudah tidak berharap dengan semuanya. Ditambah, ada seseorang yang berkomentar bahwa vidieo kami tidak sesuai kriteria dengan imbuhan seorang guru kami berkata bahwa karya kami biasa saja dan terlalu sederhana. Dengan itu, membuat kami semakin redup dengan harapan kemenangan yang sudah lama kami dambakan. Tiba waktu pengumuman dan benar saja kami tidak mendapatkannya. Panitia menyodorkan kami sebuah piagam penghargaan dan sebuah amplop yang berisikan uang tunai dan mengatakan bahwa vidieo kami bagus bahkan sangat bagus, tetapi sayangnya tidak sesuai dengan kriteria yang dijelaskan di dalam Technical Meeting. Suatu kejutan yang benar-benar membuat kami sangat terkejut saat itu. Mengingat yang mengikuti Technical Meeting adalah Ibu Guru kami, dan beliu mengatakan semua kriteria sama dengan yang tercantum di dalam juknis perlombaan. Usut demi usut, ternyata hal yang tercantum dalam juknis tersebut mengalami perkembangan pada saat diadakannya Techincal Meeting. Kami salah dalam bidang audio, dan itu sangat fatal akibatnya. Setelah keluar ruangan panitia, kami tertawa terbahak-bahak di parkiran. Dan sangat bersyukur karena tidak menaruh harapan yang besar pada akhir cerita dalam perlombaan ini. Tertawa cukup lama saat itu, membahas semua hal dan kekonyolan kami yang bisa-bisanya tidak menghiraukan hal penting dalam langkah menuju harapan kami. Pagi itu, kami diobati dengan adanya sebuah amplop yang kami genggam. Amplop itu berisi uang sebesar 500 ribu sebagai uang pembinaan dan itu sangat pas untuk dibagi. Tapi muncul pikiran di kepala kami untuk menanyakan bagaimana status uang ini pada guru kami. Setelah berbincang lumayan lama, kami diberikan sebuah apresiasi berupa dana itu sepenuhnya menjadi milik kami sebagai hasil dari kerja keras selama ini. Di dapatlah bagian 100 ribu per-orang. Cukup menggembirakan hati. Itu satu pengalamanku yang berkesan saat masa pandemi.
Satu lagi, sebenarnya aku memiliki cukup banyak hal yang ingin ku ceritakan disini, tapi aku akan bercerita yang benar-benar mengesankan bagi ku. Masa pandemi ini selalu mengajarkanku tentang kegagalan, ini sangat mengesankan bagi ku. Aku yang bisanya mencoba sesuatu dan selalu memuaskan, tapi di masa ini semua terlihat gagal. Aku selalu berusaha mencoba, tapi yang ku temui hanya gagal. Dimulai dari masa SMA ku yang terbuang sia-sia karena pandemi. satu setengah tahun masa SMA ku terbuang, dan segala kegiatan yang bisa dilaksanakan menjadi tidak, bahkan untuk sekedar hari kelulusan pun tidak, sangat kesal. Setelah lulus dari bangku SMA aku memilih tujuan baru ku, kembali lagi, masa pandemi membuatku plin plan dengan pilihanku sebelumnya. Aku memang bercita-cita menjadi seorang pendidik, tetapi entah kenapa semenjak pandemi pikiranku berubah untuk mengikuti teman-temanku. Akhirnya, aku memilih jurusan yang sebelumnya aku tak pernah bayangkan untuk aku tempuh, jurusan Manajemen Bisnis di Universitas Udayana memalui SNMPTN. Lama menunggu waktu, dan ternyata aku gagal. Akhirnya aku tersadar, mungkin itu jalan tuhan karena jurusan yang ku pilih bukan tujuanku yang sebenarnya. Beralih ke SBMPTN, dan aku gagal juga. Bukan gagal, tapi aku tidak mengikutinya karena satu hari sebelum test berlangsung, aku jatuh sakit. Batuk, pilek, badan panas. Ayahku berfikir, kalau aku swab saat ini pasti aku langsung dinyatakan positive Covid dan akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan gerakku dalam SBMPTN. Untuk tetap dapat masuk ke dalam dunia perkuliahan, akhirnya aku memilih jalur Mandiri di Universitas Pendidikan Ganesha, yang merupakan universitas impianku sejak aku duduk di bangku SD. Akhirnya aku diterima, senangnya hatiku saat itu. Banyak rintangan, banyak hambatan, akhirnya tetap sampai di tujuan. Menjadi seorang mahasiswa, dulu ku rasa sangat menyenangkan. Tapi ternyata tidak sama sekali. Banyak ekspetasi yang semakin kita pikul ketika kita sudah beranjak dewasa yang membuat kita semakin takut untuk mengadapinya tapi mau tidak mau harus tetap kita jalani. Satu tahun menjadi mahasiswa di masa pandemi merupakan suatu tantangan yang besar bagiku, semuanya serba online, sangat sulit. Terlebih lagi, kita harus mengerjakan tugas secara berkelompok. Lama vakum, dan akhirnya muncul banyak kegiatan-kegiatan di kampus. Pastinya ada perekrutan panitia dan kompetisi- kompetisi seru lainnya. Aku mendaftarkan diri menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Untuk kegiatan pertama, aku ditolak. Kegiatan kedua, aku ditolak juga. Bosan mendaftar karena selalu ditolak, akhirnya aku mengikuti ajang Regem Regina yang merupakan putra putri dari jurusan bahasa asing. Sekedar memberi tahu, aku memang memiliki mimpi untuk menjadi seorang duta, maka dari itu aku mengikuti kegiatan- kegiatan seperti pemilihan putra-putri ini. Tahap awal aku lolos dan masuk ke dalam 10 besar. Tapi sayangnya, pada tahap selanjutnya, aku gagal. Tidak puas, aku mendaftarkan diri lagi untuk mengikuti Putra Putri Fakultas Bahasa dan Seni. Langkah demi langkah, dan akhirnya aku lolos 10 besar, namun pada tahap terakhir, aku gagal. Entah sudah berapa banyak kegagalan yang aku dapatkan pada masa pandemi ini. Kegagalan yang kecil sampai kegagalan yang besar, tetapi aku akan terus mencoba dan tetap berusaha untuk meraih mimpiku dan mengembalikan binarku. Untuk sekarang, karena sering mengalami penolakan, aku tidak takut dengan kegagalan karena kegagalan membuatku lebih termotivasi untuk terus maju dan mendobrak zona nyamanku.
Itulah pengalamanku yang menurutku sangat berkesan di masa pandemi. karena, aku hanya menemukan kegagalan. Sebelumnya, aku tidak pernah merasa gagal. Aku selalu mencapai dan dapat meraih apapun yang aku inginkan. Namun semenjak pandemi, lingkupku menjadi semakin sempit dan aku menjadi sulit untuk berkembang lagi. Banyak pelajaran yang bisa aku petik di masa ini, menuai hasil itu memerlukan waktu yang cukup lama. Gagal itu perlu. Dulu, aku merasa gagal merupakan suatu hal yang sangat buruk dan menyebalkan. Tapi sekarang, bagiku kegagalan merupakan ruang untuk kita mencoba, kesempatan untuk kita belajar lebih dan lebih lagi, ajang peluasan pikiran dalam mawas diri. Masa pandemi memang sulit, didalamnya memang banyak terdapat tantangan yang bahkan membuat kita merasa tidak kuat dan tidak pantas untuk menghadapinya sehingga kita merasa jatuh sebelum mencoba karena keadaan. Tapi, perlu kita ketahui semua hal tersebut kembali ke diri kita sendiri, suatu hal yang buruk tak selamanya buruk jika kita tahu cara memanfaatkannya. Pandemi, tamparan yang cukup besar untuk manusia agar selalu tabah dalam mengahadapi hal-hal yang bermunculan di dalam kehidupan kita. Pandemi, menyadarkan kita, bahwa semuanya tidak selalu indah. Sesuatu yang kita anggak negatif bisa saja menyimpan begitu banyak dampak posiftif di dalamnya juga. Tapi mungkin, memang agak sulit untuk kita terka datangnya. Sekian ceritaku, terimakasih telah membaca hingga akhir. Semoga tulisanku dapat memotivasi dan menginspirasi kalian jika mengalami kegagalan di masa pandemi untuk tidak berhenti berusaha dan jangan pernah putus asa. Apapun dan bagaimanapun keadaannya tetap coba dan yakin bisa.
Inilah tulisanku, yang diberikan kesempatan untuk bercerita dalam sebuah diary kecil yang aku temui dalam info lomba di Instagram. Terimakasih banyak atas wadahnya, karena wadah-wadah seperti ini sangat penting di masa pandemi. sebagai suatu tempat untuk bercerita, berbagi pengalaman, atau sekedar menuangkan keluh kesah yang dialami di masa pandemi ini. Karena sudah pasti, kita mengalami kejenuhan dalam mengahadpi masa-masa sulit ini dalam menempuh dan melawan masa pandemi ini untuk sekedar dapat menyambung hidup di masa yang serba harus diam ini.