Chapter 3~Pervert
Keira kira, Logan yang kuat dan tangguh itu tidak akan tumbang hanya karena alkohol, tapi ternyata dia salah besar. Lelaki itu ambruk di botol ketiga wishkeynya.
Beberapa saat setelah puas menggodanya, Logan benar-benar mengajaknya minum hingga mabuk. Lelaki itu bahkan berani bertaruh kalau dirinya kalah ia boleh langsung pulang. Faktanya, dia harus membopong lelaki itu keluar kelab dan mengantarnya. Untung saja sebelum lelaki itu benar-benar mabuk Logan sempat mengatakan tempat tinggalnya, kalau tidak pasti Keira kebingungan mau mengantar lelaki dewasa ini ke mana.
“Oh, come on big baby. Bantu aku menahan berat tubuhmu.” Keira menggerutu sambil kembali meraih lengan Logan yang jatuh di sisi tubuhnya. Keduanya berhenti di undakan tangga pertama ketika Logan hampir ambruk.
Keira tertatih-tatih menaiki anak tangga. Dengan menopang berat tubuh dua kali lipat darinya, Keira kesusahan mengimbangi. Sebenarnya dia bisa saja langsung pulang seperti yang lelaki itu janjikan dalam taruhan mereka, sayangnya, begitu Keira melihat Logan untuk memastikan sebelum dia benar-benar pulang, ia menjadi tidak tega. Sekilas, Logan tampak rapuh sekali pun lelaki itu berusaha kuat menyembunyikannya.
Well, hitung-hitung membalas budi karena telah menyelamatkannya dari kejaran thunder, akhirnya Keira berinisiatif mengantarnya pulang.
“Tidak kuat minum saja sombong,” Keira mencibir sembari membuka pintu kamar. Dan seketika wangi maskulin memenuhi indera penciumannya begitu Keira mulai melangkah masuk. Butuh perjuangan panjang untuk Keira memindahkan Logan ke sisi tempat tidur. Nahasnya, Keira jatuh berbarengan dengan Logan, meniban tubuh kokoh lelaki itu.
Keira mengumpat dalam hati. Sudah besar masih saja merepotkan. Menyebalkan sekali.
Keira hendak menarik diri tapi Logan dengan kuat menariknya hingga kembali jatuh di atas tubuhnya. “Don’t leave....” gumam Logan di samping telinga Keira.
Batu. Sesaat, Keira merasa tubuhnya terpaku begitu dia mendengar nada kesedihan dari ucapan Logan barusan. Keira berniat memprotes tapi kemudian ia urungkan begitu mendengar lagi-lagi suara Logan kembali mengalun lirih.
“Don’t leave....”
Sejenak, meski hanya sesaat Keira seolah merasakan sesuatu yang berat menimpanya. Seperti ada sesuatu yang menikam dadanya begitu lantunan suara lirih Logan masih berupa ucapan yang sama. Seakan dia tidak mau sendiri. Seolah-olah dia takut ditinggalkan.
Masa lalu buruk apa yang membuatnya sampai seperti ini?
Kembali, pekikan Keira memenuhi ruangan begitu Logan menggulingkan dirinya dan menindih tubuh Keira, memeluknya bagai guling. Keira mencoba keluar dari kukungan lengan Logan, tapi rasanya mustahil. Pelukannya kuat dan erat, tapi tidak menyakitinya. Malahan, Keira merasa aman berada dalam pelukan lelaki itu.
“Don’t ever leave....” gumamnya lirih. Nada suaranya tersendat, seolah dia akan menangis.
Ya, Tuhan. Bagaimana ini? Bagaimana caranya dia pergi kalau posisi mereka seperti ini terus?
Tidak menemukan jawaban berarti, Keira menyerah. Ia mendongak—memperhatikan wajah Logan dari samping. Kerutan di kening Logan nampak begitu mengganggu seakan menghalangi upaya tidurnya. Tanpa sadar sebelah tangan Keira sudah berkelana, mengelus lembut kening Logan yang berkerut hingga perlahan mulai menghilang. Sapuan jemari Keira masih menelisir, menjelajahi pahatan sempurna wajah Logan. Jemarinya bergerak lembut di tulang pipi dan mengusapnya lembut. Sepertinya Tuhan tengah bahagia ketika menciptakannya.
Lelaki ini benar-benar godaan.
“Harusnya aku marah kau merepotkanku begitu banyak, tapi.... “ kalimat Keira menggantung di udara, ia mengembuskan napas panjang sambil memejamkan mata.
Sejujurnya kepala Keira juga pusing. Dia juga banyak minum malam ini, kabar baiknya dia lebih kuat dari Logan dalam urusan alkohol. Helaan napas panjang kembali mengembus dan malam itu Keira membiarkan dirinya tertidur dalam pelukan Logan. Saling memeluk dengan kaki membelit satu sama lain.
Logan mendesis pelan begitu cahaya pagi menerangi wajahnya. Kepalanya berdenyut, pusing yang amat kembali menderanya. Dan ketika dia berniat merenggangkan tubuhnya, ia membatu. Tubuhnya terpaku dengan sesuatu yang menindih sebelah lengannya dan begitu ia menyadari dia tidak sendirian di kamar, seulas senyum kecilnya nampak.
Keira di sini, di pelukannya.
Bagaimana bisa mereka tidur bersama? Bahkan, tubuh mereka saling membelit.
Wajah cantik Keira adalah pemandangan indah pertama yang ia lihat begitu matanya terjaga. Selama dia hidup, Logan tidak pernah tidur satu ranjang dengan orang lain. Bahkan meski itu teman tidurnya, Logan tidak pernah tinggal setelah selesai menuntaskan kebutuhan biologisnya.
Ini kali pertama dia terbangun dengan seseorang di sebelahnya.
Untuk sesaat, rasa ingin tahu Logan membengkak. Ia mengangkat satu tangan berniat menyentuh wajah Keira tapi ia urungkan. Logan kembali memejamkan mata begitu merasakan pergerakan Keira. Perempuan itu merapatkan diri ke dadanya, berhenti sebentar sebelum kemudian menjauhkan wajah. Sepertinya, Keira juga baru menyadari yang terjadi semalam.
Sementara Logan berpura-pura kembali tidur, Keira memperhatikan wajah Logan—menatapnya lekat. “Kau berhutang banyak padaku, sialan.” Gumam Keira dengan suara serak khas bangun tidur.
“Sepagi ini dan kau sudah mengumpatiku,” suara Logan menghentikan jari-jari Keira yang menelusur di sekitar rahangnya. Logan menangkap pergelangan tangan Keira lalu membawanya ke bibir—menciumnya sejenak sebelum kembali berkata, “aku akan membayar berapa pun yang kau inginkan.”
Lagi-lagi Keira membatu. Sudah berapa kali tubuhnya bereaksi oleh sentuhan Logan? Jawabnya sudah pasti sering. Sejak semalam tubuhnya selalu bereaksi berlebihan, bahkan cenderung memicu gelenyar aneh yang selama ini belum pernah ia rasakan.
Keira menarik tangannya begitu dia tersadar dan segera bangun. Sialan. Apa yang baru saja ia lakukan? Menyentuh lelaki itu saat dia masih tidur. Sekilas Keira merasa seperti perempuan haus belaian. Well, meski benar tapi Keira tidak ingin mengakuinya.
“Aku tidak ingat mengapa kita di sini.” Logan berkata santai. Sekali pun begitu Keira tetap menangkap maksud lelaki itu. Sarat meminta penjelasan.
Keira mendengus, menoleh ke samping di mana Logan tengah menatapnya terang-terangan. Bisa tidak sih lelaki ini mengerti situasi? Di tatap sedalam itu tentu saja membuatnya gugup. Keira berdeham singkat. “Mana terima kasihmu? Aku membawa tubuhmu yang berat dari kelab sampai di sini.”
Sebelah alis Logan terangkat, menatap Keira tertarik. “Kau melakukannya sendiri?” tanyanya dengan nada tidak percaya.
Keira terlihat tersinggung. Ia mendengus dan balas menatap Logan tajam
“Menurutmu dengan siapa lagi?” ketusnya.
Bibir Logan berkedut. Menahan senyum begitu mendapati wajah merajuk Keira yang kontras dengan wajah khas bangun tidur. Nampak lucu di matanya. “Lalu, kita? Bagaimana kau bisa tidur di sampingku?” tanyanya lagi.
“Kau sama sekali tidak mengingatnya?” Keira mengangkat satu alis, menatap Logan sinis.
Logan mengendikkan bahu. “Aku ingin mengingat tapi sayangnya aku tidak.” Katanya santai.
Dan Keira benar-benar menatap tajam Logan. Iris mata birunya berpendar kesal. “Kau menahanku. Mengukungku semalaman penuh. Dengan berat tubuhmu bagaimana caranya aku bisa pergi?”
Seulas senyum tersungging begitu mendengar penjelasan lengkap Keira. Logan memiringkan kepala, menatap dalam mata biru Keira, menyelaminya. “Jadi, maksudmu semalam kita benar-benar tidur bersama?”
“Ya.” Sahut Keira jengkel.
“Sayang sekali,”
Sebelah alis Keira terangkat. “Apa?”
“Kita tidur bersama tapi tidak melakukan apa-apa.”
Bajingan ini...
“Seharusnya aku tetap sadar dan memastikan kita benar-benar saling mengisi.”
Oh, ya Tuhan ... Di mana letak urat malu laki-laki ini sebenarnya?
“Daripada memikirkan itu harusnya kau malu dengan taruhanmu. Tidak kuat minum dan kau masih sombong, cih.”
“Kau perlu tahu sesuatu,” Logan menjeda sejenak, menatapnya lekat. “Aku lebih bersyukur dengan kekuranganku yang satu itu. Kalau aku lebih kuat minum darimu, tidak akan pernah ada kejadian semalam.”
Nadi Keira berpacu, aliran darahnya serasa melonjak naik dan mengumpul di sekitar wajahnya. Keira yakin wajahnya pasti memerah. Gila. Seharusnya dia kesal dengan perkataan terus terang Logan barusan, tapi kenapa yang terjadi malah sebaliknya? Malahan, Keira seolah menikmati bagaimana lelaki itu menggodanya sepagi ini.
“Dasar perayu ulung!” Keira menyentak Logan dengan bantal di sebelahnya. Kemudian ia beranjak turun untuk memungut tasnya yang jatuh di bawah kaki ranjang. Dan kabar buruknya, semalaman dia tertidur dengan sepasang sepatu yang masih lengkap di kedua kakinya.
Benar-benar sesuatu sekali...
“Kei?” panggil Logan yang Keira sahuti dengan jutek.
“Apa?”
Tidak mendapat sahutan, Keira menoleh ke samping—mengikuti pandangan Logan dan seketika tanpa sadar ia menyentuh lengannya. Bagaimana bisa ia lupa mengobati lengannya yang luka dan malah membuat dirinya sibuk mengurusi Logan yang mabuk?
“Ini?” Logan mengangkat wajah, matanya bersitatap dengan Keira yang masih memeganggi lukanya. “Kau terluka,”
Itu bukanlah pertanyaan. Apalagi ketika Logan meluncur turun dan membuka paksa jaket yang menutupi lukanya. Goresan sepanjang lima senti meter itu cukup dalam, darah segar masih merembes di sana, terlihat jelas sekali pun lukanya tertutup darah yang telah mengering. “Siapa?”
“Aku baik-baik saja,” Katanya berusaha menutup lukanya.
Pandangan Logan sama sekali tidak beralih, menatap Keira penuh tuntutan. “Siapa?” tanyanya sekali lagi.
Keira mendengus jengkel. “Ini hanya luka kecil, Logan. Jangan berle—“
“Siapa...,” Suara Logan terdengar lebih rendah. Marahkah? Tapi kenapa?
Berhenti mengambil asumsi berlebihan Keira, sadarkan dirimu sendiri. Gumamnya dalam hati.
“Kei,”
“Kaca. Aku menerobos jendela semalam.” Aku Keira pada akhirnya. Sungguh, cara Logan bertanya benar-benar melebihi seorang jaksa, auranya benar-benar gelap. “Ini salahku sendiri.” Katanya menegaskan kalau dia terluka bukan karena orang lain. Well, meski sebenarnya thunder ada dalam cerita di balik lukanya ini. Tapi sebaiknya Logan tidak perlu tahu, lagipula dia tidak punya alasan untuk tahu juga.
Keira tidak tahu apa yang membuat Logan semudah ini mengganti raut wajahnya. Lelaki itu membawanya ke sisi ranjang dan memintanya menunggu. Secepat dia pergi, secepat itu pula lelaki itu kembali. Logan membuka kotak obat dan mulai membersihkan luka Keira tanpa mengatakan apa-apa.
Kesunyian berderak di sekitar mereka. Sejenak, keheningan mengambil alih. Keira tidak tahu bagaimana dia harus memulai percakapan, dari mana?
“Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Kau tidak akan mengatakan karena siapa, kan?” Logan mengangkat wajah, menatap Keira lekat-lekat.
Alih-alih menjawab, Keira malah mengalihkan pandangan, menolak menatap Logan seakan sengaja menghindarinya. Bagi Logan diamnya seseorang sudah termasuk sebagian dari jawaban. Dan dengan itu Logan melanjutkan pekerjaannya, mengobati luka Keira yang mulai biru.
Keira sudah berusaha menutupi, tapi, mengapa lelaki ini tetap tahu?
Dilihat dari segi mana pun, Logan Hywell tetap saja membuatnya terpesona. Perlakuan lembut lelaki itu begitu berbanding terbalik dengan nada suaranya yang datar, tanpa emosi. Sekilas Logan nampak seperti pria kasar tapi jauh dari itu, Logan benar-benar sosok pengertian.
“Logan—“
“Aku lapar,” Logan menyela di sela-sela membersihkan kotak obatnya. Lelaki itu tidak berminat mendengarkan omong kosong Keira, Logan bahkan tidak menoleh ke arahnya sama sekali.
“Makan.” Keira meneliti lengannya yang terbalut perban. Tidak disangka Logan bisa melakukannya dengan baik. Perempuan itu melirik Logan sekilas sebelum kemudian beranjak dari ranjang. “Untuk apa kau mengadu padaku?”
“Aku tidak bisa memasak.”
Dan kali ini Keira kembali menatap Logan seakan ingin menelannya hidup-hidup.
Apa karena ini dia mau mengobati lukanya?
“Aku belum makan dari semalam.” Katanya lagi.
Dan Keira benar-benar tidak bisa berbuat banyak. Mereka mabuk semalam, dan perut lelaki itu masih kosong. Keira tidak ingin di sangka meracuni lelaki itu dan dengan dengusan jengkel di wajah, ia menjawab, “mandi dan segera turun.” Setelah mengatakan itu Keira berlalu pergi tanpa perlu mendengar pertanyaan mau pun pernyataan dari Logan lagi.
Sudah cukup. Sekali ini saja. Ya, buatlah ini menjadi yang terkahir, Keira. Gumamnya dalam hati.