Chapter 1~ Who are you?
“Keira Sashenka jawab aku!”
Perempuan yang di panggil Keira itu mengumpat dalam hati sambil memeganggi micro earpiece yang baru saja ia sangkutkan di telinganya. Keira berdecak jengkel mendengar lagi-lagi teriakan Arabella Alison berdenggung di ujung sambungan. “K1 is here.” Jawabnya sembari melempar asal sepatu tingginya.
“Oh, ya Tuhan ... Dengar, ini darurat!”
“Ya, pelan-pelan Babe—“
“Thunder dua lantai darimu, Kei.”
Berbagai umpatan kasar meluncur bebas dari bibir merah Keira begitu mendengar seruan Arabella. Lantas, Keira berusaha mempercepat pergerakannya yang tengah mengganti pakaian. Sepanjang hari ini Keira seakan tengah di kutuk. Tugasnya hampir kacau dan sekarang tikus-tikus itu mengejarnya. Keira bukan takut, hanya saja barang bukti yang berhasil ia dapatkan masih berada di tangannya dan kalau mereka tahu, sudah pasti ini akan merugikannya.
“I found you, Baby.” Seruan Gideon Valmont, pemimpin Thunder itu terdengar begitu pintu kamar terbuka.
Keira mengibas rambut cokelat mudanya keluar dari jaket kulit yang baru saja menempel di tubuhnya. Kemudian, dengan gerakan pelan Keira memutar tumit hingga dengan jelas ia dapat melihat engsel pintu yang kini rusak akibat terjangan paksa orang-orang Gideon.
“Yah, aku ketahuan.” Keira mengangkat kedua tangannya ke atas sesaat tikus-tikus berbadan besar itu serempak menodongkan senjata. Meski begitu, pandangan Keira masih tampak tenang sekali pun jauh di dalam kepala ia tengah memperhitungkan jumlah mereka untuk menyusun rencana. Menyerang, atau di serang. Dalam hal ini, Keira sudah pasti tidak akan memilih keduanya. Terlalu berisiko. Walau bagaimana pun, ia kalah jumlah.
Senyum Keira mengembang begitu satu tangan Gideon terangkat, menginterupsikan untuk menurunkan senjata mereka.
“Sekarang, apa?”
Suara Keira mengalun di antara hawa dingin embusan ac dari atas mereka. Senyum cantiknya tersungging, tampak tenang bahkan meski Gideon mengambil satu langkah maju, menatapnya bengis lengkap dengan mata gelapnya yang berpendar menakutkan. Sayangnya, hal itu sama sekali tidak memengaruhi Keira. Perempuan itu masih tenang-tenang saja. Ia melipat tangan ke dada dan balas menatap Gideon dengan binar santai yang sangat kentara.
Hening. Tidak ada yang bersuara. Keira masih menunggu, menanti dengan tenang pertanyaan-pertanyaan yang kian menumpuk di iris mata Gideon.
“Untuk apa kau melakukan ini?” Lelaki itu menarik napas tajam, sementara tatapannya semakin menggelap. “Tidak seharusnya kau ikut campur dalam duniaku, Theresa.” Katanya dengan suara rendah. Seolah-olah menakutinya, dan sekali lagi ... Keira sama sekali tidak merasa terintimidasi.
Well, lagipula dia bukan Theresa. Perempuan lemah nan manja yang lelaki itu temui hampir satu minggu ini. Demi semua kelancaran, Keira merubah penampilannya—mulai dari warna rambut hingga lensa matanya. Semua ini ia lakukan demi kecintaan pada dunia pekerjaannya.
Keira mengangkat dagunya tinggi. “Aku hanya penasaran.”
“Dunia bawah bukanlah tempatmu.” Gideon merunduk, menatap mata cokelat Keira lekat-lekat. “Dengan siapa kau bekerja?”
Keira mengendikkan bahu. “Tebaklah,”
“Jangan main-main denganku, Theresa!” teriakan Gideon menggema di sepajang dinding. Memantul kuat, dan terdengar lebih menakutkan.
Lagi dan lagi Keira tidak terpengaruh sama sekali. Ia malah menyeringai lebar menyadari pancingannya berhasil. “Sayang sekali, aku tidak punya jawaban untuk pertanyaanmu.” Katanya dengan nada suara yang ditarik-tarik.
“Persetan denganmu!” Gideon berteriak marah. Mata gelapnya menyala penuh amarah. “Kau mendekatiku untuk semua ini?”
Senyuman Keira melebar sempurna. “Kau baru saja mengatakan jawabannya, tampan.” Jawabnya sambil mengedipkan sebelah mata—menggodanya.
“Sialan! Seharusnya aku tahu sedari awal.”
“Itu karena kau bodoh.”
“Jangan berani menghinaku!” teriakan-teriakan Gideon terus menggelegar. Nada suaranya terdengar marah. Alih-alih menciutkan nyali Keira, perempuan itu malah menyeringai, mengejeknya terang-terangan. “Itu karena aku mencintaimu, Sialan!”
“Aku tidak butuh cintamu,”
“Theresa!”
“Aku belum selesai,” Keira menyentuh kerah kemeja Gideon dengan ujung telunjuknya. Tersenyum sinis begitu mereka bersitatap. “Dengar, apa yang kau rasakan ... Itu bukan cinta. Kau hanya terobsesi membawaku ke ranjangmu.” Bisiknya.
Gideon menampik, tidak terima dengan tuduhan Keira. “Itu tidak benar.”
“Itulah kenyataannya.”
“Persetan!” Gideon meraih pergelangan tangan Keira, menahannya tetap di sana. Sementara desisan napas di antara gigi-giginya terdengar tidak sabar. “Kembalikan, dan aku tidak akan menyakitimu.” Katanya sambil mengulurkan satu tangan yang lain, meminta sebuah chip yang saat ini berada dalam genggaman Keira.
“Barangnya sudah tidak lagi bersamaku.”
“Aku tahu kau masih menyimpannya! Sialan! Jangan menyulitkanku, jalang!”
“Jalang, heh?” Keira tertawa rendah, terdengar begitu mengejek di telinga Gideon. “Well, bagaimana, ya ... Aku senang melakukan itu.” Keira menepuk-nepuk pundak Gideon pelan. “Menyulitkanmu akan menjadi hobiku sekarang.”
Tepat setelah mengatakan itu Keira menendang rusuk kaki Gideon, mengambil alih pistol dalam saku jasnya lalu mengunci leher lelaki itu dan meletakkan ujung pistol tepat di pelipisnya. Dalam detik yang sama orang-orang Gideon serempak menarik pelatuk dan mengarahkan ke arah Keira, well mungkin lebih tepatnya mereka berdua mengingat kini Gideon berada dalam kungkungan Keira.
Keira tersenyum culas sesaat Gideon berusaha keluar dari kunciannya. Lalu, pandangannya beralih pada jejeran pria yang kini tengah menodongkan belasan pistol. Keira tidak takut, tapi dia perlu melakukan sedikit aksi untuk melancarkan rencana pelarian dirinya. “Kalau kau tidak mau kujadikan tameng, katakan pada tikus-tikusmu untuk menaruh senjata mereka.” Katanya sambil menahan pelatuk. Sekali Keira melepaskan jarinya, bisa di pastikan kepala Gideon akan berlubang.
“Turuti perkataannya.” Ujar Gideon memberi interupsi.
“Tapi, Bos....” Salah satu pria di sana maju selangkah yang kemudian Keira hentikan. “Bos!”
“Turuti saja sialan!” Gideon berteriak kesal begitu Keira makin mengendurkan tarikan pistolnya.
“Anjing pintar,” Keira melemparkan senyum mengejek begitu pria-pria bersetelan hitam itu melakukan perintahnya. Tampak menikmati sedikit permainannya sambil melangkah mundur mendekati jendela. “Ingat ini baik-baik Gideon, meski aku wanita, kau tidak seharusnya meremehkanku. Well, setidaknya setelah ini kau jadi tahu sedikit dari banyaknya kemampuan yang ku bisa. Bye-bye....”
Dan pecahan kaca yang memenuhi ruangan mengakhiri oborolan mereka. Keira mendorong Gideon untuk segera meloncat, menerobos sisa-sisa pecahan yang tersisa.
Keira meringis ngilu ketika ia berhasil mendarat sempurna ke tanah. Sobekan jaket di lengannya sudah menjawab rasa sakit itu, dan bisa di pastikan darahnya akan meninggalkan jejak. Tahu mereka akan kembali memburunya, Keira bergegas lari tanpa memedulikan lukanya. Suara tembakan bertubi menggiringi laju kecepatan lari Keira dan dia berhasil menghindar. Setidaknya untuk saat ini.
Sial! Keira mengumpat begitu menyadari kunci mobilnya hilang, sementara ia tidak punya banyak waktu lagi. Secepatnya dia perlu segera pergi dari sini. Keira kembali berlari ke arah lain, menyusuri mobil-mobil yang berderet di lapangan parkir, sesekali ia juga berhenti untuk memastikan keadaan dan terus mengendap-endap hingga berhasil keluar dari basement.
“Ara! Arahkan jalanku.” Keira berseru keras tanpa menurunkan kecepatan laju kakinya.
Kalau boleh jujur, Keira sebenarnya lelah. Sepanjang malam ini dia berkutat habis dengan keamanan server Thunder dan sekarang dia harus menghindar dari kejaran mereka. Semua ini benar-benar membuat sendi-sendinya menjerit lelah.
“Di mana kuncimu?”
“Hilang.” Suara tembakan kembali menginterupsi langkah kaki Keira. Ia berseru kembali. “Sialan! Jalanku!!” umpatnya tergesa.
Di lain tempat, Arabella tampak serius berkutat dengan komputer-komputer Keira. Jari-jarinya berselancar luwes di atas keyboard dan begitu mendapat data wilayah di sana, ia menjawab. “70 meter belok kanan. Aku akan meminta bantuan.”
Keira tidak menjawab. Ia terus melaju secepat yang dia bisa, berusaha keras mengatur pernapasan sambil terus merutuk. Lalu ia berbelok dan memotong jalan di sekitar bangunan tua halaman belakang tanpa mengurangi kecepatan larinya. Semua senjata ada di mobil dan kuncinya hilang. Dia juga tidak mungkin menyerang hanya dengan satu senjata.
Yeah, harus berapa kesialan lagi untuk menutup hari ini?
Melihat sebuah mobil yang terparkir di kejauhan Keira lantas mendekat, pelipisnya berkedut penuh kekesalan mendapati seorang pria tengah merokok dan duduk santai di kap mobil. Well, beraninya dia masih bersantai di saat dirinya harus berlari dengan napas tersenggal seperti ini. Baiklah, lupakan itu untuk saat ini karena yang terpenting sekarang adalah menghindar dari kejaran tikus-tikus di belakangnya lebih dulu.
Begitu Keira sampai di samping pria itu, dia lantas menarik rokok yang tersalip di antara bibir lalu membuangnya asal. Sontak, apa yang Keira lakukan membuat pria tinggi itu menatapnya tidak habis pikir.
“Kunci mobil!” Keira mengulurkan tangan, menyentak kesadaran pria itu dengan napasnya yang pendek-pendek.
Si pria tinggi dengan rambut cokelat tua itu mengangkat satu alisnya, menatap Keira heran.
Sialan! Keira hampir tidak mengingat sudah berapa kali dia mengumpat hari ini. Dan pria kiriman Arabella benar-benar menguji tingkat kesabarannya yang hampir habis. “Kunci mobil sialan! Apa kau tuli?!” suara teriakan Keira menggema di iringi gema tembakan yang sudah dekat. Secepat itu juga pria tampan yang tidak Keira tahu namanya itu segera beranjak.
“Masuklah,” katanya.
Alih-alih mendengarkan, Keira malah merampas paksa kunci dari genggaman lelaki itu. “Aku saja.” Sahutnya bergegas masuk masuk ke kursi kemudi.
Untungnya, Keira tidak harus meneriaki lelaki itu lagi untuk masuk seolah dia baru menyadari keadaan mereka saat ini.
Menyebalkan!
“Siapa mereka?” tanya lelaki itu.
“Menurutmu?” Keira menjawab sinis, sementara kakinya terus menginjak pedal gas tanpa mengalihkan perhatiannya dari kaca spion di mana mobil-mobil Thunder berhasil mengejarnya. “Apa kau anggota baru?”
“Sepertinya kau perlu melihatku dengan baik, K1.”
Decakan Keira seolah mengatakan kalau dia tidak peduli. Alih-alih menanggapinya, Keira mencibir. “Daripada banyak bicara lebih baik kau melakukan sesuatu.” Gerutunya dengan nada kesal yang sangat kentara.
“K1 ... Where are you?” suara Arabella terdengar panik dari ujung sana.
Keira mengernyit sambil membenarkan letak Micro earpiecenya. “Di mobil. Kenapa?”
“Mobil mana yang kau naiki?! Tim Delta baru saja sampai dan dia tidak melihatmu.”
Keira sontak terbengong. Dia tidak salah dengar, kan? “Apa katamu?” tanyanya memastikan.
“Tim delta mencarimu. Sial! Mobil apa yang kau naiki?”
Dan ya, dia tidak salah dengar. Tapi, bagaimana bisa?
“Tesla warna biru.” Jawabnya skeptis.
“Wait a minute....”
Kalau tim Delta baru sampai lalu lelaki di sebelahnya ini siapa? Sesaat, konsentrasi Keira terpecah belah. Selain lelah fisik, kini otaknya kembali ikut beroperasi lebih lanjut lagi.
Sebelah alis Keira terangkat mendapati lelaki di sampingnya itu tengah mengoperasikan Ipad, dan dari layar yang terlihat sepertinya dia tengah meretas mobil.
Tunggu ... dia juga hacker? Dan bagian terpenting dari itu siapa sebenarnya lelaki ini? Bagaimana dia bisa tahu kalau nama hackernya K1?
“Siapa kau?”
Pertanyaan Keira sontak mengalihkan perhatian lelaki asing itu. Meski mereka berada dalam pencahayaan yang temaram, Keira dapat dengan jelas menangkap sudut bibir lelaki itu menyeringai—seolah mengatakan kalau Keira adalah wanita bodoh yang baru saja mengajaknya bicara. “Siapa kau? Jawab aku sialan!” sentaknya tidak sabaran.
“Kenapa kau ingin tahu?”
“Jawab saja.”
Senyum lelaki itu masih di sana. Jari-jari terlatihnya begitu ahli mengoperasikan Ipad hingga beberapa saat kemudian Keira tahu kalau lelaki misterius ini berhasil meretas mobil hingga beberapa di antaranya mulai mati di tengah jalan. “Done.” Gumamnya. Lalu, ia menyandar ke belakang sambil memperhatikan Keira dengan posisi menyamping. “Seharusnya kau bertanya sebelum kau memalak mobilku, Girl.”
“I don’t fucking care.”
Seulas senyum kecil menghias wajahnya. “Sama. Aku juga tidak peduli.”
Pervert!
Lantas, beberapa saat kemudian Keira menginjak pedal rem hingga mobil melakukan crossing di jalanan sepi pesisir pantai. Perbuatannya ini tidak hanya mengejutkan lelaki di sampingnya tapi juga dirinya sendiri. Decitan kasar ban yang bergesekan dengan jalanan menggema disepanjang telinga hingga berdengung.
“Kalau kau ingin mati jangan mengajak orang.” Komentar laki-laki itu dengan nada santai, seolah dia tidak terkejut sama sekali. Sebelum kemudian dia mengikuti Keira keluar dari mobil.
Persetan dengan lelaki asing itu. Keira mencebik, berjalan menjauh sambil berbicara pada Arabella lewat micro earpiecenya untuk segera mengirim orang untuk menjemputnya. Satu kesialan lagi. Dia bertemu dengan orang asing bahkan menodong mobilnya. Oh, astaga...
Selesai mengumpati dirinya sendiri, Keira memutar tumit hingga dapat dengan jelas melihat siapa laki-laki yang dia bawa. Tinggi. Laki-laki itu sangat tinggi dan besar. Otot-otot tubuhnya tampak begitu kuat menyatu dengan kulit cokelat keemasannya. Begitu pun dengan rambut cokelat tua yang kontras dengan warna matanya yang senada. Benar-benar tampan sempurna. Dan hanya butuh dua kali kedipan mata untuk Keira mengidentifikasi lelaki di depannya.
“Well, cukup menyenangkan disupiri olehmu.” Katanya sambil menyeringai.
Keira menatap lelaki itu dengan bibir terbuka. Bahkan, tanpa sadar ia menggumam. “Levi?”
“Ah, akhirnya kau mengenaliku.” Lelaki yang di panggil Levi itu mengulas senyuman sambil geleng-geleng kepala. “Sayangnya itu bukan nama asliku, K1. Itu hanya nama hackerku.”
Sejujurnya Keira tidak peduli.
“Well, aku cukup tersinggung kau tidak mengenali siapa aku.”
Dan Keira tidak akan bisa benar-benar menghindari pertanyaan lelaki itu. “Aku hanya lupa.” Katanya tidak sepenuhnya berbohong.
“Texas, California, pengadilan” Lelaki itu mengulas senyum sekali pun tatapannya tampak keheranan. “Ini kali ke empat kita bertemu dan kau masih tidak mengingat siapa aku. Wah, sungguh sebuah penghinaan.”
Ingatan Keira sontak berkelana jauh di masa-masa yang lelaki itu sebutkan. Keira mengingatnya tapi dia benar-benar tidak mengingat namanya. Hanya nama Levi yang dia ingat. Itu pun karena mereka pernah saling membobol server satu sama lain hingga Keira mengingat bahwa laki-laki ini bukanlah lawannya. Levi atau siapa pun namanya itu bukanlah seorang yang mudah ia kalahkan dalam meretas. Dia versi laki-laki dari dirinya dan tentu saja dia lebih pro.
Mengabaikan itu, Keira bertanya lain—mencoba mengalihkan. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Kau yang membawaku kemari, remember?”
Shit! Selain ahli meretas, tampaknya lelaki ini juga pandai bicara. “Maksudku untuk apa kau di sana tadi? Tempat itu jauh dari jalan raya.” Ralatnya disertai pertanyaan.
“Itu pertanyaanku untukmu.” Jawabnya sambil tersenyum.
Benarkan, Dia memang pintar bicara. Well, sepertinya sudah lebih dari cukup ia mengumpat sepanjang malam. “Mari lupakan malam ini.” Katanya menawarkan.
Sayangnya, gelengan kepala lelaki itu kembali membuat Keira mau tidak mau mengumpat lagi. Sebenarnya apa yang lelaki ini inginkan darinya?
“Aku bukan pria yang mudah melupakan wanita cantik.”
Lelaki ini benar-benar...
Keira bersedekap dada. Memberi sorot malas. “Berapa?”
Sebelah alis laki-laki itu terangkat. Menatapnya seolah bertanya.
“Uang yang kau mau. Aku bisa memberimu dua kali lipat sebagai kompensasi.” Katanya kembali memberi penawaran.
Lagi-lagi senyuman lelaki itu seakan menjawab penawarannya. Mengatakan kalau apa yang dia coba tawarkan sia-sia. “Kau tahu aku tidak membutuhkannya.”
“Sekali pun begitu aku akan tetap membayarmu.”
Sebelah tangan lelaki itu masuk ke saku celana, balas menatap Keira tanpa sedikit pun merasa tersinggung. “Uang tidak selalu bisa menyelesaikan sesuatu,” katanya pelan.
Sambil mengulur waktu, Keira berharap jemputannya segera datang dan dia bisa menghindar jauh dari lelaki ini. Sungguh, berdebat dengannya hanya membuat Keira merasa bodoh. Dan jangan lupakan kalau dia orang yang cukup berbahaya. “Lalu apa maumu?”
“Let’s see....”