“Deskripsikan Marcellinus dalam satu kata.”
“Tower.”
“Deskripsikan Marcellinus dalam satu kalimat.”
“Cinta yang tak terlupakan.”
*
“Siapa Marcellinus?”
Kau menatap lawan bicaramu dengan dahi mengernyit. Entah mengapa, sepertinya kau kembali teringat dengan percakapanmu dengan seseorang tentang seseorang yang bernama Marcellinus.
“Cinta yang tak terlupakan,” sahutmu datar—entah mengapa persis sama dengan jawabanmu beberapa tahun lalu.
Ah, sepertinya kini kau mulai bertanya-tanya bagaimana kabar Marcellinus sekarang.
“Sepertinya dia sangat spesial bagimu,” ujar lawan bicaramu. “Kau menggunakan nama itu di setiap tokoh utama naskahmu, seakan-akan tidak ada nama lain di bumi ini.”
Kau mendengus sebagai jawaban, salah satu sudut bibirmu terangkat sedikit.
“Orang seperti apa dia?”
“Marcellinus?” gumammu. “Dia laki-laki yang baik,” katamu dengan nada yang lebih terdengar seperti berbicara dengan dirimu sendiri.
“Ah, klise.” Lawan bicaramu mengibaskan sebelah tangan, tampak tidak puas dengan jawabanmu. “Apa dia tampan?”
“Dia hanya seperti tower.”
“Lalu?”
“Matanya selalu bersinar-sinar hangat. Ah, dia juga penjaga yang baik.”
Lawan bicaramu mengangguk-angguk. “Lalu, di mana dia sekarang?”
“Entahlah,” katamu sambil mengangkat bahu. “Aku tak pernah mendengar apa pun tentangnya sejak lima tahun lalu.”
“Apa yang membuat kalian berpisah?”
Kau menghela napas pelan, sepertinya sedang mencoba memikirkan jawaban yang tepat.
“Entahlah,” katamu akhirnya. “Mungkin aku tidak pantas untuknya.”