Aku iri pada setiap tokoh yang dibuat ada dalam dunia fantasi. Meskipun tak semua mendapat akhir bahagia, namun setiap cerita tak pernah membiarkan para tokohnya berjuang sendirian.
~
Montmartre, Paris 21 april 2021
Pagi yang indah di tempat yang indah. Aku berjalan dengan hati yang berdebar-debar, menyusuri jalan yang mengantarkanku ke Café des Deux Moulins, yang terletak di kawasan Montmartre. Setiap kakiku mengukir langkah satu demi satu, hatiku sibuk bertanya-tanya apa yang akan kekasihku lakukan pertama kali saat kami bertemu nanti. Hah...aku tidak bisa berhenti membayangkan betapa romantisnya kami nanti. Sebab pertemuan yang akan terjadi setelah sekian lama menanti.
Saat Café tujuanku sudah mulai terlihat,aku tidak bisa mengendalikan pikiranku yang mulai melantur kemana-mana. Akankah dia memelukku, menciumku, atau langsung mengajakku pulang ke Indonesia? Aku pun belum tahu. Sebab Kharel Nicolas Marvelo adalah pria berdarah campuran Indonesia-Perancis, yang sulit ditebak.
Klining!
Seperti biasa, setiap kali memasuki pintu Café ini suara lonceng akan selalu menggema di ruangan itu. Seperti satu tahun lalu, di sudut ruangan sesosok pria bertubuh tegap tengah menyeruput secangkir kopi yang masih mengepulkan asapnya. Aku penasaran bagaimana wajahnya sekarang, aku ingin melihat raut wajah yang penuh kerinduan itu. Namun, aku tahu bahwa aku harus menahannya. Sebab aku tidak boleh gegabah dan salah mengambil langkah sehingga pertemuan kami tidak memiliki makna.
“Bonjour” Ucapku sembari memeluk pria itu dari belakang. Pria itu tidak merespon, sehingga membuatku melepaskan pelukan sepihak itu, sembari memundurkan langkah menjauh dari tubuh pria itu.
Apa aku salah orang? Pantas saja tubuhnya terasa asing.
“Duduk” Ucap pria itu tanpa menoleh kebelakang.
Aku yang merasa bersalah hanya bisa menuruti pria itu dengan berjalan ke kursi yang ada di hadapannya. Setidaknya jika aku memang salah orang, aku tetap harus meminta maaf padanya kan.
“Kharel” Ucapku tak percaya, karena pria itu memanglah kekasihku.
Lalu mengapa dia tidak meresponku?.
Kharel menatapku, dengan tatapan yang memberi getaran dihatiku. Bukan karena terpesona, melainkan karena terluka sebab tak ada raut kerinduan yang terpancar dari wajah Kharel.
“Bagaimana kuliahmu?.”
Aku tersenyum kaku, baru kali ini aku merasa secanggung ini “Baik.”
“Baguslah. Kelulusanmu kapan?.”
“2 minggu lagi.”
Apa ini? Aku berbicara dengan kekasihku tetapi seperti tengah melakukan interview saat melamar pekerjaan.
“Tidak penasaran dengan kabarku?” Sindirku.
“Apa perlu aku tanya? Bukankah dengan melihatmu datang kesini berarti kau baik-baik saja.”
Aku menaruh ponselku di meja, dengan sedikit membanting agar terdengar suara yang bisa mewakili kekesalanku “Bukan fisikku, tapi hatiku.”
“Kau bahkan tidak tahu kalau aku sangat merindukanmu.” Sambungku.
Kharel mengalihkan pandangannya dari mataku menjadi ke arah lain.
“Bukankah aku sudah datang kesini.”
Tanpa perijinan dariku, air mataku lolos begitu saja. Bukan seperti ini pertemuan yang aku harapkan. Pertemuan ini terlalu dingin dan penuh emosi.
“Yang datang kesini Kharel Nicolas Marvelo, bukan Kharel milikku. Apa kau sadar kalau kau datang dengan wajah kaku, aura dingin, dan bahkan kau tidak lagi memakai parfum yang aku berikan. Kau berbeda, Kau telah berubah”
Ucapanku berhasil membuat Kharel menatapku lagi, kebekuan matanya seakan mencair. Matanya berubah sendu, mungkin karena akhirnya dia menyadari air mata yang masih belum mengering dari pipiku. Sampai saat seorang wanita datang dan memeluknya dari belakang.
“Sayang” Ucapnya manja.
Aku berdiri, yang membuat kursiku terjungkal kebelakang “Apa maksudnya semua ini?.”
Mendengar aku yang menuntut penjelasan, mata Kharel berubah menjadi dingin kembali. Aura dingin pun mulai keluar dari tubuhnya, dia seperti...tidak lagi dapat kugapai.
Kharel tersenyum miring “Tadinya aku pikir akan cepat selesai, tapi kau terlalu mengulur waktuku. Langsung saja...”
“Ini” Ucapnya sembari menyerahkan undangan pertunangan antara dia dan Arbina, wanita yang tengah bergelayut manja di lengan priaku, ah tidak lagi. Biar kuulangi, Arbina adalah wanita yang tengah bergelayut manja di lengan Kharel.
“Is this real?.” Lirihku. Aku berharap mereka tengah mengerjaiku untuk memberiku kejutan.
“Terserah” Kharel menggandeng tangan Arbina, hendak mengajaknya keluar. Namun, aku menahan lengan Kharel yang terbebas dari Arbina.
“Mengapa kau berbuat seperti ini? Bukankah kita berdua sudah berjanji akan mencintai selamanya?.”
Kharel menoleh kearahku, melepaskan genggaman tanganku seolah aku ini menjijikan baginya.
“Kau terlalu munafik. Seiring berjalannya waktu semua bisa berubah, termasuk juga cintaku.”
“Mulai saat ini kita tidak ada hubungan apapun. Karena sekarang aku mencintai wanita lain, dan wanita itu adalah Arbina Latasya.” Ucapnya sebelum kembali melangkahkan kaki keluar dari Cafe itu. Saat melihat langkah Kharel dan Arbina yang sejajar, tubuhku kehilangan kekuatannya. Aku terjatuh ke lantai, sehingga membuat keributan karena suara cangkir yang ikut terjatuh bersamaan dengan tubuhku.
Mendengar kebisingan itu Kharel menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arahku.
“Semoga kabar ini tidak membuat ujianmu berantakan. Setidaknya akan lebih baik kalau salah satu impianmu bisa kau wujudkan.”
Setelah mengucapkan hal itu Kharel pergi dengan Arbina. Sementara aku sibuk menata hatiku yang sempat berantakan. Aku mengusap air mataku dengan kasar, aku mulai bersemangat kembali. Aku yakin masih ada harapan untukku. Kharel masih perduli pada ujianku, itu berarti dia masih memiliki perasaan untukku meski hanya sedikit. Kharel juga tadi masih ingat dengan mimpiku, itu berarti aku masih berada dalam pikirannya.