Anyar, 29 Februari 2016.
Bagiku, menjadi murid baru diantara siswa lama adalah hal yang paling mengerikan di dunia ini. Sebuah peristiwa dimana merasa asing karena minimnya pengetahuan tentang segalanya. Aku ingin marah, protes, dan melakukan banyak hal buruk lainnya untuk menunjukkan rasa tidak terimaku pada keputusan Yudha Sanjaya, yang tidak lain adalah orang yang mengaku telah berkontribusi dalam proses pembuatanku dulu.
Aku datang ke sekolah saat matahari belum terbit, bahkan gerbang sekolah juga masih digembok. Bukannya karena terlalu rajin atau ingin menyaingi pak satpam, hanya saja ini adalah caraku dalam melakukan demo mogok bertemu dengan Yudha. Ah, aku lupa bilang kalau aku malas memanggil dia dengan sebutan Ayahku. Aku kesal padanya bukan tanpa alasan, 4 bulan lagi adalah ujian yang akan menentukan apakah aku akan naik ke kelas dua SMA atau tidak, tapi dengan seenaknya Yudha memindahkanku ke tempat asing ini.
Waktu terus berjalan, jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 6 tepat. Jika tidak salah hitung, maka sudah lewat satu jam sejak aku menginjakkan kakiku di depan sekolah ini. Dan dengan bodohnya aku masih saja setia duduk di bawah pohon rindang dekat pos satpam. Entah karena penghuninya berisi orang-orang pemalas atau memang tidak ada satupun yang rajin, tapi sampai detik ini pun belum aku temukan tanda-tanda kehidupan selain diriku disekitar sini. Aku saja sampai berhasil mengedit 5 video yang benar-benar apik. Sampai teman-temanku yang berada di sekolah lamaku mengira jika aku benar-benar sudah memiliki seorang kekasih, padahal kenyataannya laki-laki itu adalah idolaku sendiri. Haha, salahkan tanganku ini yang begitu berbakat dalam mengambil siasat.
Huh!
Suara helaan nafas berat membuatku mengalihkan fokus dari ponselku menjadi kearahnya. Lirikan yang menusuk dari mata dengan iris hijau miliknya itu berhasil menghentikan segala aktifitas kehaluanku. Bahkan waktu pun terasa membeku karenanya. Aura dingin seakan menguar dari tubuhnya. Aku suka, dia memiliki kharismanya tersendiri. Dia berjalan kearahku tanpa ragu. Ikut duduk sembari bersandar pada pohon di sampingku. Dia menatapku dengan tatapan seolah bertanya 'kenapa?', aku yang akhirnya bisa terbebas dari kebekuan waktu pun hanya bisa mengalihkan pandangan kearah lain. Ketahuilah, bahwa aku sedang berusaha sekuat mungkin untuk tidak terpesona pada ketampanan serta keelokan tubuhnya.
“Maaf” Ucapku, cukup gugup sehingga membuat suaraku sedikit bergetar.
Tak ada tanggapan, tapi aku merasakan pergerakan disampingku. Dan benar saja! saat aku menoleh kearahnya, wajahnya sudah sangat dekat dengan wajahku. Hanya saja patut disayangkan karena tatapannya bukan tertuju kearahku, melainkan...
Oh tidak!
Dia terkekeh saat aku dengan terburu-buru menjauhkan ponselku dari pandangannya. Aku malu dan ingin menyembunyikan wajahku dimanapun aku bisa, akan tetapi lesung pipi dan gummy smile miliknya itu membuatku enggan berpaling dari laki-laki yang satu ini.
“Pinter juga ngeditnya, artis rasa pacar ya.” Sindirnya, yang membuatku tak bisa berkutik lagi.
Dia memindai seluruh aku, dari kepala sampai berakhir pada sepatuku.
“Kalau gue realisasikan kehaluan lo gimana?”
Ini tidak bohong, jantungku berdebar kencang dan perutku juga mulas dibuatnya. Makna dari pertanyaan itu masih terkesan ambigu, tapi dengan seenaknya tubuhku merespon dengan percaya diri yang cukup tinggi.
Aku menautkan kedua alisku, karena rasa terkejut yang bercampur dengan prasangka yang iya iya “Maksudnya gimana?”
“Lo edit video orang korea itu biar ngga dikatain jomblo kan?”
“Kok tahu?” Tanyaku, antusias.
Aduh, responku terlalu jujur karena spontanitas. Sampai rasanya aku ingin menampar mulut sendiri yang mengalir bebas sampai jauh ini. Kan malu-maluin, mana dia ganteng lagi.
“Adek gue juga gitu”
Aku bingung harus menanggapinya bagaimana, jadi aku lebih memilih diam. Lagipula dia tidak terkesan sedang menuntut sebuah respon dariku. Justru dia terlihat gelisah, berulangkali melihat ke arloji yang bermerk itu sembari melihat kesana kemari.
“BTW udah cukuplah ya basa-basinya. Jadi gimana? Lo mau nggak jadi pacar gue?”
Serius? Dia gelisah karena mau menanyakan hal itu?
“Gimana bisa, kan kita baru kenal” Ucapku, pura-pura enggan. Padahal mau banget!
Dia menghembuskan nafas perlahan, yang menguarkan aroma permen mint yang manis tapi maskulin “Kita ini sama-sama saling membutuhkan, jadi anggep aja lagi simbiosis mutualisme. Lo butuh pacar buat di pamerin, sedangkan gue butuh pacar sebagai bentuk perlindungan diri”
Aku berfikir sejenak. Tawaran ini tentu saja sangat menguntungkan bagiku yang wajahnya biasa-biasa saja ini, tapi kok sakit yah denger alasan dia yang terlalu jujur itu. Mana dia mengucapkannya tanpa berfikir dulu lagi.
“Ya Tuhan, tolong cari dimana harga diri saya berada?” Gumamku.
Usai puas bergumam, aku berdehem sejenak guna mencegah agar tidak terjadi pecah suara “Oke, tapi ini masih dalam tahap percobaan yah”
Dia tidak menjawab, dia justru memilih untuk pergi meninggalkanku karena gerbang sekolah akhirnya dibuka. Aku mengejarnya, menyamakan langkahku dengan langkahnya. Bukan untuk menempel padanya, melainkan untuk menanyakan keseriusan ucapan yang dia sampaikan kepadaku tadi.
Tapi lama-kelamaan aku merasa lelah untuk menyamakan langkahnya yang sangat cepat itu, jadi aku memutuskan untuk menghentikan pengejaran ini dengan cara menghentikan langkahku. Ternyata dia orang yang cukup peka, karena dia bersedia menghentikan langkahnya dan mulai menatapku.
“Gue Billie Ignacius Archie. Panggil aja Billie, Bill, Archie atau apapun sesuka lo.”
“Kalau sayang termasuk kedalam'apapun' yang kamu maksud nggak?” Celetukku.
“Nggak. Geli gue dengernya. Nama lo siapa?”
“Afsya Ka-” Belum sempat aku menyelesaikan namaku, tapi dia sudah menutup mulutku dengan telapak tangannya. Iya, telapak tangan. Bukannya jari telunjuk. Sangat terlihat kan kalau dia benar-benar ingin membungkam mulutku rapat-rapat.
“Nggak perlu nama yang lainnya, cukup nama perwakilan buat jawab pertanyaan siapa pacar gue aja”
“Oh. BTW boleh minta satu hal nggak?”
Dia tidak menjawab, hanya mengangkat sebelah alisnya yang kutafsirkan bahwa dia sedang bertanya 'apa?'
“Jadiannya boleh besok nggak? Biar tanggal 1 maret aja gitu, kan kalau sekarang nanti anniversary nya susah. Masa harus nunggu 4 tahun lagi.”
Dia terdiam sejenak. Matanya sibuk melihat kesana kemari, dia juga menggulum bibirnya ke dalam. Dia terlihat seperti tengah mempertimbangkan sesuatu. Baguslah, akhirnya dia berfikir juga sebelum berbicara.
“Kalau begitu bagus dong, jadi nggak bikin gue ribet dengan peringatan ini dan itu. Lagian emang lo berencana punya hubungan yang lama sama gue?”
Kan! memang tidak ada satupun hal bagus yang keluar dari mulutnya itu. Aku kira dia berfikir cukup lama untuk menyusun kata-kata agar lebih enak di dengar, namun ternyata sedang merangkai kata yang lebih kejam lagi. Aku tarik lagi kata-kataku, kedepannya aku tidak akan membiarkan dia berfikir walau hanya sejenak.
“Kok gitu? Jangan-jangan kamu playboy yang pacarin seluruh siswi di sekolah yah.”
Dia menatapku tajam “Ngga gitu. Gue cuma nggak tahu aja sampe kapan lo bakal bertahan sama gue.”
Dapet pacar se-tampan ini yakali di sia-siain. Banyak faedahnya gini, rugi kalau diputusin.
“Dengerin baik-baik, karena gue cuma ngomong ini satu kali”
Mendengarnya mengucapkan kalimat peringatan itu membuatku lebih mendekatkan diri kepadanya.
“Ini tentang peraturan hubungan kita. Pertama, gue nggak mau dikekang dan diribetin. Kedua, gue nggak mau ada interaksi sama sekali saat di luar jam sekolah. Ketiga, jangan berharap sama gue” Ucapnya sembari meninggalkanku yang masih terdiam mencermati setiap peraturan yang dia tekankan itu.
“Terus dari segi mananya kamu realisasiin kehaluan saya?!” Protesku, yang sama sekali tidak menganggu langkahnya untuk sekedar berhenti dan merespon.
Ya, seperti itulah pertemuan pertamaku dengan Billie, laki-laki tampan yang memberikan hubungan tanpa menawarkan maknanya. Si pemberi racun tanpa penawar.
****
Tring!!
Bel sekolah berbunyi 1 kali, yang katanya menandakan pelajaran pertama akan segera dimulai. Sejauh ini perkembanganku terbilang cukup pesat. Baru beberapa jam di sekolah sudah berhasil mendapatkan seorang teman sebangku dan juga seorang kekasih.
“Kamu pasti belum punya temen lain selain saya disini yah?” Tanya Desita Parmita. Aku bingung, tidak tahu harus memanggilnya apa. Jadi aku sebut saja keseluruhan namanya.
“Sebenernya begitu ngelangkahin kaki ke sekolah ini saya langsung dapet pacar.”
“Hah? Yang bener?”
Aku tersenyum canggung “Iya. Entah keberuntungan atau justru kesialan di hari pertama sekolah. Emm,,,Desita Parmita sendiri udah punya pacar?”
“Panggil aja Mita biar lebih akrab”
Kan, untung saja aku tidak asal memenggal namanya.
“Iya. Kamu udah punya pacar?” Tanyaku lagi. Bukan bermaksud tidak sopan, hanya saja aku ingin melihat sudah adakah rasa percaya yang dia tanamkan padaku.
“Udah dong, dia senior kelas 2. Namanya Reja, nanti kapan-kapan saya kenalin deh.” Ujarnya dengan bangga.
Aku mengangguk, menyetujui.
“Kalau pacar kamu namanya siapa?” Sepertinya Mita sama sepertiku, tengah mencoba memanen kepercayaan yang telah dia tanam padaku tanpa ragu.
“Billie”
“Billie siapa?”
“Billie Ignacius Archie”
Mita terkejut bukan main, matanya membola dan bicaranya juga menjadi tergagap “Ma-ma-maksudnya dia?” Tanya Mita sembari menunjuk kearah belakang tubuhku. Aku menoleh ke belakang, berharap bukan dia orangnya. Namun sayangnya harapanku pupus ketika melihat iris hijau itu lagi. Billie benar-benar berdiri disana dengan kedua tangan bersidekap di depan dada. Angkuh. Kata itulah yang terlintas dalam fikiranku saat melihat postur tubuhnya.
Mampus!
Dia tidak seketika hilang ingatan kan? Dia tadi bukan berniat mengerjaiku untuk mempermalukanku kan? Seseorang, tolong aku.
=========================================
Vote dan Comment di persilahkan, Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Salam sayang,
KimChiCya