Keesokan harinya kegiatan anak-anak mapala yang akan mengikuti pendakian diisi dengan latihan fisik ringan agar nantinya tubuh mereka tidak akan kaget saat mendaki. Mereka hanya melakukan latihan biasa seperti lari pagi atau subuh, sit-up atau push-up seperti biasa. Dan mereka juga sudah menyiapkan peralatan pribadi atau untuk tim yang akan dibawa saat pendakian, seperti tenda, peralatan masak dan sebagainya.
Pai juga mulai sibuk menyiapkan fisiknya karena dia yang paling lemah mengingat dia sendiri perempuan di angkatannya. Jangan dikira karena dia perempuan satu-satunya, dia bisa bermanja dan mendapatkan perlakuan khusus dari teman-teman seangkatannya atau dari senior. Malah dia yang paling sering di gembleng keras dengan alasan agar mentalnya bisa sekuat laki-laki.
Pernah pertama kali ikut mapala, mereka diharuskan sebulan mengikuti pelatihan. Dua minggu pelatihan kelas, yaitu mendapatkan materi yang bisa mereka terapkan di lapangan tentang bagaimana caranya bertahan hidup dan apa saja yang boleh atau tidak boleh mereka lakukan. Dan dua minggu selanjutnya pelatihan lapangan. Selama satu minggu pertama di lapangan (gunung) itu mereka tidak sekalipun diberi makanan dan semua barang bawaan disita oleh para senior. Barang yang diberikan hanyalah baju ganti, jaket, ponco, setengah lilin, setengah korek api kayu, sebalok garam, minyak komando dan sebuah parang saja. Dengan barang-barang ini mereka harus bertahan hidup hingga seminggu.
Tanpa tenda, mereka akhirnya membuat bivak alam yang atapnya diberi ponco agar saat hujan bivak tidak terlalu bocor. Tanpa sleeping bag, mereka hanya berbalutkan jaket untuk menghangatkan diri saat malam tiba. Dengan setengah lilin, mereka harus membuat api unggun di depan bivak setiap malam selama seminggu itu. Dengan setengah korek api kayu, mereka harus bisa membuat api menyala dan ingatkan saat malam hari atau sedang hujan, korek api itu tidak boleh sampai kebasahan atau malam tidak akan ada api yang menyala. Sebalok garam mempunyai dua manfaat, yaitu ditaburkan di sekeliling bivak agar binatang menjalar seperti ular dan sejenisnya tidak masuk kedalam bivak, dan manfaat satu lagi yaitu agar memberikan bumbu saat mendapatkan bahan makanan. Minyak komando, minyak ini sebenarnya adalah minyak sayur yang sudah dicampur dengan bawang merah yang diiris. Manfaatnya banyak yaitu sebagai bahan masakan, bisa juga untuk obat balur anti nyamuk, atau bisa juga sebagai minyak pijat saat tubuh sakit setelah seharian di ‘siksa’ oleh para senior.
Bayangkan saja, setiap pagi jam setengah 4 akan ada ‘bulldozer’ yang akan mengganggu ketenangan tidur sekaligus menghancurkan bivak yang sudah dibuat sebelumnya. Setelah itu para member akan disuruh berendam di sungai atau mata air terdekat. Heck, mata air itu dingin apalagi jika subuh buta. Setelah itu mereka harus ‘olahraga’ pagi, apa olahraganya? Setiap orang pasti akan merasakan bagaimana rasanya 100 kali push-ups, 50 kali squat-jumps, ataupun 30 kali sit-ups. Itu sarapan mereka sehari-hari, jadi totalkan saja selama dua minggu di lapangan berapa kali mereka harus olahraga?
Jangan pikir Pai tidak menangis karena semua siksaan itu, dia sempat menangis. Melihat dari member yang awalnya 17 orang, dan sebagian besar dari mereka meminta pulang karena tidak kuat, dia juga berpikir ingin pulang. Tetapi perkataan ayahnya yang selalu bilang, ‘Apapun yang kamu ambil, selesaikan sampai beres. Jangan menghindar seperti pengecut. Kamu dibesarkan dengan nama matahari yang baru terbit, apapun yang terjadi hari itu, mau hujan atau badai, fajar selalu akan terbit. Lakukan seperti itu.’ ya, itu yang membuat Pai tidak mengundurkan diri dan akhirnya yang lolos di minggu kedua dari 17 orang itu tersisa 4 orang termasuk Pai, perempuan satu-satunya di angkatan baru itu.
Dari beberapa tahun pembelajarannya itu, Pai selalu mempersiapkan mental dan tubuhnya seminggu sebelum mendaki gunung. Apalagi mengingat dia juga seorang perokok aktif, mengharuskannya untuk berpuasa dulu dari batang berasap itu selama 3 hari sebelum pendakian.
Dengan dirinya yang mengetahui tolak ukur tenaga dan batas kekuatannya itulah Pai selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak pernah mau menyusahkan dan membebani kawan setimnya dengan cara terus berlatih fisik.
Seperti hari ini juga, dia tidak menyia-nyiakan waktu saat kampus mulai sepi dengan perkuliahan, dia akan langsung memulai latihannya sendiri dengan melakukan pemanasan seperti push-up dan sit-up, setelah selesai, dia akan mulai menggerakkan kakinya untuk naik-turun tangga yang dihitung cukup berat karena harus bolak-balik 5 lantai dalam waktu 1 jam terus menerus seperti itu. Terhitung hampir seminggu seperti itu setiap harinya. Karena dia tahu bahwa belajar untuk mengatur pernapasan saat dia harus melewati trek yang sekarang akan dia lewati itu tantangan terbesarnya.
Setelah selesai rutinitas itu, dia akan segera menuju ke ruang sekre (kesekretariatan) mapala.
“Pai, maneh udah latihannya?” tanya salah satu seniornya
“Ho’oh kang, treknya rada ekstrim katanya jadi kudu ekstra ini mah.” jawab Pai sambil minum air putih yang diberikan oleh senior tadi.
“Iya, tadi akang udah denger dari Igoy. Pai, maneh disana harus lebih ekstra hati-hati ya. Soalnya di sana gak kayak gunung yang biasa kita datengin, dan akang gak ada disana buat netralisir daerah eta.” kata kang Budi, seniornya itu.
Netralisir? Pasti akan ada yang bertanya perihal ini.
Kang Budi adalah salah satu orang yang bisa ‘melihat’ sesuatu yang orang lain tidak bisa melihat atau merasakannya. Dan kenapa dia bilang begitu pada Pai? Ah, Pai juga salah satu orang yang bisa ‘melihat’ atau merasakan hal-hal tersebut. Tetapi para anggota mapala apalagi teman-teman seangkatannya dan kang Budi ini lebih mengkhawatirkannya jika berada di lapangan. Bukan apa-apa, Pai itu lebih bisa dibilang memiliki kemampuan vessel, yang artinya dia bisa membuat banyak makhluk tertarik untuk mendekatinya dan berniat untuk merasuki raganya. Hanya saja memang kejadian ini jarang terjadi karena Pai juga mempunyai beberapa sosok yang menjaganya. Tetapi itu tidak bisa tidak mungkin jika Pai sendiri yang mengijinkan mereka untuk merasuki raganya.
“Iya kang, aku juga udah diingetin sama Sisil buat gak terlalu sering ngebuka ‘itu’. Aku juga udah bilang ke anak-anak supaya ngingetin aku kalau aku tanpa sadar ngelakuin itu.” jawab Pai
“Akang udah bilang kok sama Igoy buat nanti ngejagain kalian. Sering-sering kasih kabar aja kalau udah sampai pintu hutan.” kata kang Budi sambil mengusap kepala Pai. “Maneh lagi gak ‘dapet’ kan?” sambungnya lagi.
Mungkin pertanyaan ini terdengar tidak nyaman dan sedikit mengganggu jika ada seseorang apalagi itu laki-laki bertanya apakah kau sedang ‘dapat’ atau menstruasi. Tetapi tidak dengan Pai, apalagi jika pertanyaan itu keluar saat mereka akan melakukan pendakian. Karena kondisi tubuh seperti itu anggota pendakian juga harus tau agar lebih menjaga dan mengingatkan agar tidak sembarangan bertindak.
Dalam kasus Pai sih sebenarnya lebih berjaga-jaga, karena disaat menstruasi itulah titik paling lemahnya dan itu akan merugikan karena tubuhnya akan lebih mudah diserang dibandingkan saat dia ‘bersih’.
“Kayaknya sih bakal dapat pas pendakian kang, semoga aja gak apa-apa.” jawab Pai kalem
“Yaudah, nanti kita briefing lagi aja soal lainnya. Yang penting maneh gak aneh-aneh aja pulangnya.” kata kang Budi lagi. Dia sudah sering mewanti-wanti Pai jika seperti ini, bukan apa-apa, Pai selalu membawa ‘oleh-oleh’ yang kadang membuatnya kesusahan sendiri, mulai dari gadis Belanda di daerah Gunung Puntang saat Ospek Fakultas atau prajurit tanpa kepala saat pulang dari desa Cibunar.
Pai hanya membalas dengan cengirannya dan pamit pergi untuk mandi di salah satu kamar mandi di lorong dekat sekte.