Suasana malam itu tidak biasanya terasa lebih mencekam seperti malam-malam sebelumnya. Suara angin yang terdengar bergemuruh disertai oleh dedaunan yang terombang-ambing olehnya. Tetapi malam itu tidak terdengar sama sekali suara dari kehidupan malam, tidak ada suara jangkrik ataupun hewan malam lainnya. Sunyi. Sepi. Seolah-olah membuat indera perasa harus lebih waspada lagi. Jalanan mulai terlihat lenggang, mungkin karena sudah lewat dari tengah malam sehingga orang-orang lebih memilih untuk tinggal di pembaringan mereka yang lebih nyaman dan hangat. Tetapi tidak dengan seorang perempuan yang terlihat santainya masih menikmati suasana malam dengan berjalan kaki melewati jalan gelap menuju pulang.
Alunan lagu bergenre rock menggelegarkan pendengarannya dan udara dingin malam menusuk tubuh kecilnya. Rasanya tidak kuat untuk berlama-lama di luar dan ingin segera membalutkan tubuh mungilnya itu ke dalam selimut hangatnya.
Setelah beberapa lama, akhirnya ia sampai di tempat tinggalnya. Sebuah kontrakan yang tidak terlalu besar tetapi cukup untuk menampung 5 orang lainnya, yang juga merupakan teman dekatnya di kampus. Perempuan itu perlahan membuka gerbang, mengingat sudah terlalu malam dan dia tidak ingin mengganggu para tetangganya dengan suara gaduh. Dengan perlahan dia mengendap-endap untuk masuk ke dalam rumah.
“Dari mana maneh, Pai?”
Tiba-tiba lampu menyala terang saat ia masuk dan suara seseorang yang ia kenal jelas sudah menantikan kepulangannya. Kalau begitu, buat apa dia mengendap-endap toh ketahuan seperti ini?
“Eh, Sisil. Belum tidur?” tanya Pai, gadis dengan keahlian ninja yang gagal.
“Gak usah balik nanya deh, maneh dari mana? Jam segini baru pulang.” Tanya Sisil, teman sekontrakannya. Jangan salah, walaupun mereka adalah teman sebaya, tetapi Sisil dinobatkan sebagai ibu asuh dari teman-teman sekontrakannya ini karena sifat cerewet dan keibuannya. Walaupun terkadang dia harus pusing memikirkan kelakuan teman-temannya yang bisa dikatakan lebih liar dari anak TK jika sudah berkumpul bersama.
"Abis dari kampus. Tadi pada rapat dulu sih buat persiapan kegiatan mapala." Pai menjawab dengan santai sambil duduk di sofa yang berhadapan dengan kamarnya. Kontrakan mereka hanya diisi oleh sofa tanpa televisi di bagian ruang tamu, dapur kecil yang 24 jam selalu saja ada yang sibuk memasak karena tengah malam dilanda kelaparan dan juga sebuah garasi walaupun hanya untuk tiga sepeda motor saja dan kadang dipakai untuk spot olahraga bersama saat hari minggu tiba.
"Maneh mau naik lagi? Kemana?" tanya Sisil.
Gadis yang sering dipanggil Pai oleh teman-temannya ini, sudah lama tinggal dan menetap di kota Bandung demi menyelesaikan studi kuliahnya di salah satu kampus swasta di kota Bandung. Gadis tomboy ini aktif banget di keorganisasian kampusnya, termasuk mapala atau pecinta. Kadang sebulan sekali dia akan muncak jika jadwal kerja paruh waktunya sedang libur. Tetapi dibalik itu semua, sebenarnya dia itu anaknya ceroboh dan pelupa. Pernah sekali dia muncak gunung bareng temen-temennya di daerah Bandung Barat, dan dengan bodohnya dia melupakan baju penghangat yang awalnya dia letakkan diatas ransel. Manusia mana yang melupakan barang yang jelas-jelas ada diatas ransel yang dia bawa?? Akhirnya dengan menyesal dia harus berteman dengan dinginnya udara malam di puncak gunung.
“Harusnya maneh tuh fokus aja sama tugas kuliah bukannya malah pergi-pergi gini, Pai” kata Sisil menasehati Pai.
“Ah pusing tauk berkutat di depan laptop mulu, harus refreshing ini mah.”
Ya bisa dibilang Pai itu sudah memasuki tahun keempatnya dan sudah banyak mata kuliah yang terbengkalai hanya karena kegiatannya mendaki gunung ini. Bahkan pernah sekali dosennya menyindir saat dia memasuki kelas perkuliahan, ‘oh kamu masuk mata kuliah saya? Bukannya kamu aja jadwal kuliah pecinta alam ya?’ ya bisa dikatakan semua dosen mengenal sosok gadis nyeleneh ini. Bukan karena rajin masuk kuliah, tetapi lebih rajin meminta izin untuk meninggalkan mata kuliah dengan alasan ingin mendaki gunung.
“Iya deh, terserah maneh aja. Asal pulang dengan selamat tanpa ada luka sedikitpun ya. Urang udah capek ngurusin maneh kalau pulang selalu aja luka.” Pai selalu saja, selalu, akan pulang dengan oleh-oleh luka di tubuhnya saat pulang dari pendakian, entah itu hanya sekedar kaki yang terkilir atau keseleo atau bahkan sampai dislocated ankle. Dan Sisil sebenarnya sudah menyerah menasehati Pai untuk lebih berhati-hati, tetapi ya anaknya keras kepala sih jadi ya sudah. “Kapan berangkatnya?” sambung Sisil lagi.
“Minggu depan, hari Kamis udah berangkat. Nanti anak-anak mapala dari Jakarta juga ikut nyusul sekalian silaturahmi, hari Jumat atau Sabtu baru naik bareng mereka.” Setiap Pai melakukan pendakian dia memang selalu memberitahu teman-teman di kontrakan maupun sesama anggota mapala. Seperti memberitahu posisinya berada maupun akan mengambil jalur pendakian mana. Karena itu sangat penting, seperti yang sudah diajarkan oleh seniornya kalau anggota yang melakukan pendakian, mereka harus memberitahukan kepada keluarga atau orang-orang terdekat agar bisa dipantau. Berapa hari melakukan pendakiannya, melalui jalur pendakian apa, berapa orang serta jika masih bisa mendapatkan sinyal dia harus terus meng-update posisi terbarunya kepada anggota mapala, agar mereka bisa menandai posisi itu. Adakalanya pendakian menghabiskan waktu lebih lama dari yang seharusnya dan itu membantu tim pemantau untuk bisa menjemput jikalau ada hal diluar rencana.
“Dari sini berapa orang?” karena Sisil juga merupakan teman sekelasnya, jadi dia sudah sering menjadi perwakilan dari orang terdekat yang tau tentang kegiatan pendakian Pai.
“Dari kampus sih lima orang. Ada urang, Ngani, Pesuy, Igoy sama Riad.”
Ah iya lupa, setiap angkatan mapala pasti mempunyai nama pangilannya masing-masing. Nama yang disebut itu adalah nama lapangan mereka. Jadi jika sedang mendaki, mereka tidak pernah memanggil nama asli karena itu yang beberapa kali diajarkan oleh senior-senior mereka. Entah apa yang menjadi alasannya, yang jelas mereka selalu diajarkan untuk tidak bermain-main saat berada di lapangan.
“Jadi maneh sendiri ceweknya?” tanya Sisil.
“Enggak sih, dari anak Jakarta aja juga ceweknya tapi urang gak terlalu kenal.” jawab Pai sambil menuangkan air kedalam gelas dan meminumnya seperti seharian belum nemu air.
“Yaudah, istirahat gih. Urang mau tidur, nungguin maneh pulang sih.” Kata Sisil sambil berjalan kearah kamarnya.
“Lah suruh siapa maneh nungguin urang. Salah sendiri..” jawab Pai
“Maneh orangnya pelupa, jangan sampai urang nemuin maneh lagi duduk di depan pintu gara-gara lupa naruh konci rumah dimana!” Ah iya, Pai pernah lupa kunci rumahnya ada dimana, dan akhirnya dia memanjat naik pagar rumah dan sempat ketiduran di depan pintu sampai subuh. Untung Sisil hari itu bangun pagi dengan niat lari pagi dan menemukan Pai yang meringkuk kedinginan dan tidur.
“Iya iya.. ya udah sana tidur. Urang juga bentar lagi mau tidur, mau makan dulu hehe..” jawab Pai
“Makan mie mulu, awas maag maneh kambuh.” kata Sisil di ambang pintunya.
“Iya bawel.” Jawab Pai.
Tidak berapa lama, terdengar suara aktifitas Pai yang memasak mie instan untuk menu makan tengah malamnya itu.