.
.
"Al..."
Al merasa familiar dengan suara berat ini. Benar saja saat menoleh dia menemukan seseorang yang sangat dikenalnya.
"Pak Rendy" kata Al sambil membuang putung rokoknya sembarang dan buru-buru berdiri.
Perhatian Pak Rendy beralih pada beberapa putung rokok yang berserakan di dekat kaki Al. Puas memandangi putung rokok, Pak Rendy kembali menatap Al. Dan sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi.
"Ikut saya ke kantor kepala sekolah" titah Pak Rendy.
.
.
Setelah mendapat kunjungan dari orang yang tak diundang, akhirnya di sini lah Al berada, di ruangan orang nomor satu sekolah. Selain Al, di sana tentu ada kepala sekolah, Pak Rendy, Bu Ari, dan yang mengejutkan juga ada Rena di sana. Al melirik tajam ke arah Rena. Merasa ditatap seperti itu Rena pun menurunkan pandangannya.
"Rena, saya harus memanggil kamu untuk menjadi saksi. Dan kamu Al, Papamu sedang dalam perjalanan ke sini" ungkap kepala sekolah.
Rena merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berpapasan dengan pak Rendy tepat setelah dia menutup pintu atap gedung serbaguna. Hal itu membuat dia lagi-lagi harus terlibat urusan dengan Al.
"Om, om ga perlu manggil papa. Al bisa jelasin" Al memulai argumentasinya.
"Kali ini Om akan serahin semua ke papa kamu" ujar Pak Rian.
Benar saja, tak lama pintu ruangan itu terbuka dan menampilkan sosok pria baruh baya yang masih terlihat tampan di usianya yang sudah di angka kepala empat.
"Apa yang terjadi ?" tanya Wijaya Saputra.
Ah mendengar suara dingin Pak Wijaya, Rena jadi tahu darimana Al memiliki kemampuan mengintimidasi.
"Al, dia berkelahi dan... ketahuan merokok di sekolah" ujar Pak Rian.
Semula Wijaya Saputra yang terlihat tenang, perlahan mengeraskan rahangnya dan menatap Al dengan tatapan tajam.
"Pa, Al bisa jelasin, Al..."
Plaaak!!
Semua orang yang ada di sana membelalakkan mata melihat apa yang terjadi. Pak Wijaya menampar pipi anaknya. Rena hanya bisa menutup mulutnya. Sedangkan Pak Rian, Pak Rendy serta Bu Ari memilih untuk memalingkan wajah.
"Memalukan, kenapa berkelahi terus? Mau jadi apa kamu? Mau jadi preman?"
Al memegangi pipi yang baru saja ditampar ayahnya, "Iya, selama itu hal yang papa benci" katanya sambil ikut menatap tajam ayahnya.
Lagi-lagi Rena merasa speechless. Ia tidak menyangka jika akan melihat drama keluarga ayah dan anak ini.
"Terus siapa yg ngajarin kamu ngerokok di sekolah?" tanya Pak Wijaya.
"Otodidak. Lagi pula sejak kapan papa ingin tahu apa yang Al lakuin?"
Pak Wijaya membolakan mata mendengar pernyataan Al. Al sendiri merasa muak terus berlama-lama di ruang ini. Al berencana meninggalkan ruangan. "Kalau sudah tidak ada yang mau ditanyakan, Al pergi..."
"Mau kemana kamu?" tanya ayahnya Al.
"Bukan urusan papa" kata Al lalu berjalan dengan santai melewati ayahnya.
Saat hendak membuka pintu tiba-tiba langkahnya terhenti sebab mendengar kalimat ayahnya bergema di dalam ruangan,
"Skors dia selama seminggu!"
Dengan tersenyum miring Al membuka pintu, lalu membantingnya keras dan pergi entah kemana.
Tak ada yang berani membuka suaranya. Kejadian tadi berlangsung dengan cepat. Rena sendiri hanya mampu menatap Pak Wijaya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Maaf lagi-lagi Al membuat ulah" ujar Pak Wijaya.
"Tidak Mas, kami yang harusnya meminta maaf karena belum bisa mengatasi Al" jawab Pak Rian.
Ayah Al mengangguk lalu meninggalkan ruangan. Sebelum pergi ia sempat menoleh ke arah Rena. Merasa ditatap Pak Wijaya, Rena menundukkan kepala dan tersenyum kaku.
"Saya harap kamu tidak menceritakan apa yang terjadi barusan pada teman-teman kamu" ucap pak Wijaya lalu keluar dari ruangan.
"Eh iya pak" jawab Rena.
"Re.. Bapak minta maaf karena kamu harus melihat yang barusan" ujar Pak Rian.
"I-iya pak tidak apa-apa. Kalau begitu saya permisi dulu."
Rena pun kembali ke kelas dengan perasaan yang campur aduk. Entahlah dia jadi merasa simpati dengan Al. Benar kata orang, seorang siswa jadi pembuat onar di sekolah itu kemungkinan karena dia bermasalah di rumah. Rena jadi penasaran sedang apa Al sekarang.
"Isshhh udah Re, kok kamu jadi mikirin Al sih."
"Ah, dia pasti mikir aku yang ngaduin dia ke kepsek" monolog Rena.
Di lain sisi terlihat Al sedang memasuki tempat boxing yang tidak jauh dari sekolahnya. Masih diliputi amarah, dengan keras ia membanting tasnya lalu menuju samsak tinju. Dengan sekuat tenaga ia meninju samsak di depannya berharap rasa kesalnya akan tersalurkan.
"AAARRGGHHH SIAL!!!"
.
.
"Pak Wijaya!"
Bu Ari memanggil Ayah Al berusaha menghentikan pria paruh baya tersebut untuk memasuki mobilnya. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya setelah melihat adegan ayah dan anak di ruang kepala sekolah tadi.
"Anda?"
"Saya Ariana Fitri, bisa dipanggil Ari. Saya wali kelas Al untuk tahun ini."
"Ah begitu."
"Apa Anda sedang buru-buru? Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan, ini tentang Al."
Pak Wijaya memandang Bu Ari dengan tatapan penasaran. Setelah mengiyakan permintaan Bu Ari, dirinya pun mengikuti perempuan yang berusia 36 tahun tersebut.
"Apa yang ingin Bu Ari bicarakan?" tanya Pak Wijaya setelah duduk di ruang tamu kantor BK.
"Mengenai Aldrian... saya sebenarnya tidak tahu bagaimana pola pendidikan yang Pak Wijaya berikan pada Al. Hanya saja, apapun tujuannya, bahkan jika itu untuk pendidikan, kekerasan pada anak tetap tidak bisa dibenarkan."
Pak Wijaya membolakan matanya. Hatinya serasa tercambuk mendengar kalimat dari perempuan di depannya ini.
"Maaf, mungkin saya terlalu ikut campur masalah Bapak dengan Al. Tapi saya adalah wali kelasnya. Saya bertanggung jawab pada perkembangan akademis dan psikis anak didik saya."
Pak Wijaya memandang Bu Ari dengan tatapan yang sulit diartikan. "Tidak perlu meminta maaf. Mungkin benar, saya terlalu berlebihan." ujar Pak Wijaya.
Bu Ari mengangguk, "Saya dengar Al tidak tinggal serumah dengan Bapak, lalu dimana dia tinggal? Dengan siapa?"
"Dia tinggal di apartemen sendirian."
"Sejak kapan kalau holeh tahu?"
"Sekitar 3 tahun yang lalu."
Bu Ari mengangkat kedua alisnya. Ia tidak menyangka hubungan ayah dan anak ini sangat rumit. Sebenarnya ia ingin bertanya alasan mengapa hubungan mereka tidak baik. Hanya saja, dirinya merasa ini bukanlah waktu yang tepat.
"Baiklah... Jadi begini, saya berniat memberikan Al tuthor sebaya. Yang saya lihat, dia tidak memiliki teman di sekolah. Saya pikir dengan memberikannya tuthor sebaya itu akan membantu akademis dan sekaligus circle pertemanannya. Menurut Pak Wijaya bagaimana?"
Pak Wijaya tampak termenung entah memikirkan apa. Bukannya menjawab, ia malah bertanya, "Dia tidak punya teman?"
"Bapak tidak tahu?" tanya Bu Ari yang hanya ditanggapi gelengan kepala oleh Pak Wijaya.
"Kalau begitu saya ikut bu Ari saja."
"Baik, secepatnya saya akan membicarakan ini dengan kepala sekolah."
Pak Wijaya mengangguk tanda paham. Tanpa berpikir panjang ia langsung saja menyetujuinya sebab ia juga sudah tidak tahu harus berbuat apa. Anaknya itu bahkan tidak mau menemuinya, bagaimana mungkin kesalahpahaman bisa berakhir?
***
Satu minggu berlalu, siapa sangka Rena mengalami hal yang tak terduga. Tadi saat istirahat kedua dirinya dipanggil kepala sekolah untuk menghadap. Ia pikir ia akan ditawari untuk mengikuti olimpiade Kimia atau Biologi, eh ternyata tawaran kepala sekolah berada di luar nalarnya.
"Saya mau minta kamu buat jadi tuthor sebaya Al."
JDDEERRRR!!!
Bak tersambar petir di siang bolong, Rena sama sekali belum ada persiapan untuk mengatasi itu. Menjadi tuthor sebaya Al artinya untuk kedepannya ia akan semakin sering berurusan dengan makhluk yang dijuluki Dark Prince itu. Tidak, tidak, itu mimpi buruk bagi Rena. Dengan tegas saat itu juga, Rena menolak permintaan kepala sekolah.
Rena keluar dari ruangan kepala sekolah dengan lesu. Daripada selalu memikirkan Al, Rena memilih untuk menuju perpustakaan. Ya, harusnya hari ini manhwa Soul Land sudah update volume.
Tak membuang waktu, segera ia ke perpustakaan dan menuju rak buku komik berada. Saking fokusnya berjalan ke rak buku komik, Rena sampai tidak menyadari jika dia berpapasan dengan Rama. Sedangkan di lain pihak, Rama sadar akan kehadiran Rena.
"Ah, cewek penjaga i-Mart" batin Rama.
Tak mau banyak berpikir, Rama memilih untuk mencari buku yang ia inginkan. Kemarin guru Fisika menyarankan dirinya untuk mencari buku Fisika Kuantum yang memiliki sampul ungu tua. Saat tengah memilih tiba-tiba ada seseorang yang menghampirinya.
"Rama" seorang siswi cantik berambut ikal menepuk pelan bahu Rama.
"Safira." Rama cukup terkejut dengan kehadiran Safira yang tiba-tiba.
"Siapa cewek ini?" tanya Safira sambil memperlihatkan foto Rama yang menggandeng tangan perempuan saat keluar dari i-Mart.
"Oh, itu temen" ujar Rama lalu kembali fokus memindai deretan buku di depannya.
"Jadi gara-gara cewek ini kamu nolak buat jalan sama aku. Ku pikir aku buat salah ke kamu, ternyata..."
Rama masih diam. Terlihat ia mengambil salah satu buku lalu membaca halaman daftar isinya.
"Aku kurang apa Ram?"
Yang ditanya masih sibuk membolak-balikkan halaman buku yang dipegangnya.
"Ram... Ngomong! Kenapa kamu nggak bilang sama aku kalau udah ada yang lain?"
Takkk... Rama menutup bukunya dengan kasar. Cukup sudah, Ia jengah dengan gadis di sampingnya. Ia harus menyelesaikan percakapan ini dengan cepat agar tidak terjadi keributan di perpustakaan. "Kenapa gue harus bilang ke lo?"
"Karena kamu udah bilang kalau kamu suka sama aku!"
"Lo kayaknya salah paham. Cuma karena gue pernah bilang gue suka sama lo, bukan berarti kita pacaran. Gue nggak akan mau jalan sama cewek yang nggak gue suka" jelas Rama.
Safira menutup mulutnya tidak percaya. Mati-matian ia menentang nasihat teman-temannya untuk tidak dekat-dekat dengan Rama. Namun yang didapatkannya hanya rasa dipermainkan.
"Jangan buang waktu lo buat hal-hal yang nggak berguna kayak gini. Dari awal kita cuma temen biasa."
Cukup, Safira tidak kuat lagi mendengar kalimat Rama. Sadar ia tidak mungkin menangis di perpustakaan, ia segera berlari keluar dari tempat itu.
Begitulah wajah Rama yang sebenarnya. Ia memang tipe cassanova yang pandai memanfaatkan kepopulerannya. Berganti teman kencan adalah hal biasa baginya. Dia tidak mau terikat dengan sebuah hubungan. Ia lebih suka menjalani kisah romansa dalam status pertemanan. Baginya laki-laki dan perempuan tidak bisa 'murni' berteman, namun bisa berteman karena 'manfaat'. Yah, bisa disimpulkan sendiri Rama orang yang seperti apa.
Selesai dengan Safira, ia kembali melanjutkan pencariannya pada buku Fisika. Belum sempat menemukan apa yang dicari, atensinya teralihkan pada Rena yang sedang berjinjit ria meraih buku di rak yang berjarak dua rak darinya. Ia tersenyum melihat jenis rak buku yang disambangi Rena,'Komik'.
Rak buku yang ingin digapai Rena cukup tinggi memang. Hal itu membuat Rena tidak bisa melihat jika komik-komik di samping kiri dan kanan komik yang ia inginkan juga ikut tertarik. Hingga saat buku-buku itu hampir jatuh, Rena baru menyadari kesalahannya, ia hanya bisa menutup mata menanti buku-buku itu menjatuhinya.
Aneh, beberapa detik berlalu, bukan buku yang ia rasakan mengenai kepalanya, tapi malah hembusan napas seseorang. Seketika Rena membuka mata dan yang ia lihat sekarang adalah Rama berada tepat di depan wajahnya. White Prince benar-benar menyelamatkan Blackswan kita!
Dunia Rena seakan berhenti berputar. Rena terpaku melihat Rama yang begitu dekat dengannya. Seketika jantung Rena berpacu tak karuan dan wajahnya memerah bak kepiting rebus.
"Re, lo nggak apa apa kan ?" tanya Rama.
"A-aku nggak apa-apa."
Buru-buru Rama membenarkan posisi berdirinya dan memandang aneh ke Rena. "Aneh, setiap kali ketemu lo, kenapa muka lo selalu merah, lo sakit?" tanya Rama penasaran.
"Hahh" Rena memegangi pipinya, "Nggak kok, aku cuma kepanasan aja," kata Rena sambil mengipas-ngpaskannya di udara.
Rama mengerinyitkan dahinya tanda bingung. Bukannya apa, saat ini mereka sedang berada tepat di bawah AC, bagaimana mungkin bisa kepanasan. Rama yang paham betul apa arti reaksi yang dialami Rena pun hanya bisa terkekeh geli.
"Ke-kenapa?" Rena bingung melihat Rama yang tiba-tiba tertawa.
"Gapapa, oh iya lo mau ngambil komik yang mana?"
"Aa, i-itu Soul Land."
"Lo ngingetin gue sama seseorang. Dia juga suka baca komik."
"O-oh iya? Siapa?"
"Ada lah, dia lagi di tempat jauh sekarang."
"Huum"
Rama mengambil buku yang dimaksud Rena lalu memberikan itu pada Rena. Rena tentu saja menerimanya dengan senang hati. Jarang-jarang kan ditolong pujaan hati. "Kamu sendiri cari buku apa?" tanya Rena.
"Fisika kuantum, tapi dari tadi gak ketemu."
"Hmm, mau aku bantu nggak?"
"Boleh."
Akhirnya mereka berjalan beriringan mencari buku. Rena masih belum percaya jika saat ini ia sedang berjalan di samping Rama. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Rama dan bahkan menepu-nepuk pipinya untuk memastikan jika itu bukan mimpi.
Sesampainya di rak tujuan, Rena segera memindai deretan buku di depannya. Tak lama ia pun menemukan buku yang Rama cari.
"Ram, nih bukunya" Rena mengulurkan sebuah buku yang memiliki ketebalan sekitar 3cm.
"Wah, bener yang ini" ucap Rama sambil memperhatikam buku yang sudah berada di tangannya
"Hehe, udah itu aja?" Pipi Rena masih merah.
"Heem, gue harus segera balik kelas, lo gimana?"
"Ahh, aku nanti, Ram... Kamu duluan aja" ungkap Rena. Rama membalas kalimat Rena dengan anggukan lalu berjalan menuju pintu keluar.
Setelah mengobrol dengan Rama, Rena jadi berpikir siapa yang tidak suka dengan Rama. Orangnya pintar, ramah, dan tentunya tidak menyeramkan seperti Aldrian si Dark Prince. Ah lagi-lagi Rena teringat lelaki itu.
Sepeninggal Rama, tampak Rena berjalan dengan riang dengan senyum yang bertengger manis di wajahnya. Ia mengingat kembali kejadian tadi saat Rama menyelamatkannya.
"Re... kamu pokoknya jangan nyerah sampai bener-bener bisa dapetin hati Rama" gumam Rena pada dirinya sendiri.
Rena kegirangan dan hendak meninggalkan perpustakaan. Namun saat membalikkan badan, ia menabrak dada seseorang yang mengakibatkan komiknya terjatuh.
"Eh, Sorry Re" seseorang itu langsung mengambil komik yang jatuh dan memberikannya pada Rena.
"Kamu..."
Bersambung...