Entah apa yang mesti aku rasain sekarang. Di satu sisi, aku merasa bersyukur sebab MOS di SMK Loka Karya nggak aneh-aneh. Aku tentunya masih berhubungan dengan beberapa temen SMP yang masuk ke SMA di kota Kabupaten sana.
Mereka bilang, MOS yang mereka jalani sangat merepotkan. Bahkan, mereka harus menyiapkan segala sesuatu sedemikian rupa sesuai arahan kakak kelas.
Ada yang harus mengikat rambutnya dengan bermacam-macam model dan jumlah. Ada yang disuruh pakai papan nama dengan julukan aneh, ada juga yang mesti bawa barang-barang yang 'nggak masuk akal'.
Belum lagi mengenai perlakuan kakak kelas mereka yang seolah jadi wahana balas dendam. Sebenarnya, itu dendam yang salah sasaran. Karena nggak bisa dan nggak akan mungkin bisa bales dendam ke kakak kelas, jadilah mereka buas dan ganas ke adik kelas. Yang, menurut mereka masih sangat potensial untuk dikerjai.
Aku sendiri juga heran, kok, yang kayak gitu masih dibolehin ada di dunia pendidikan. Apakah sebenarnya, praktik perploncoan kayak gitu ada manfaatnya dan aku nggak bisa lihat?
Yang jelas, kalau kalian sekolah di SMK Loka Karya, nggak bakalan ada deh, kejadian kayak gitu. Dijamin.
Sebagai gantinya:
Nah ini nih, yang bikin gue bingung nentuin perasaan. Ini yang tadi mau aku tulis sebagai, 'di sisi lain'.
Di sisi lain, meskipun nggak aneh-aneh MOS di SMK Loka Karya itu:
1. Menuntut peserta didik untuk super disiplin. Nggak boleh ada namanya kata terlambat, jika dan hanya jika ada keadaan seorang peserta didik terlambat. Maka yang bersangkutan harus siap kena hukuman yang bervariasi. Tergantung seberapa terlambatnya peserta tersebut. Sebagai gambaran, jika seseorang terlambat sepuluh menit, maka dia harus menggantinya dengan berlari keliling lapangan dalam sebanyak sepuluh kali. Lapangan di SMK ini ada dua di tengah gedung sekolah dan di luar.
2. Peserta didik diharapkan kuat secara fisik. Tidak diperkenankan pingsan di tengah latihan baris berbaris.
Untuk itulah Bapak Tentara selalu menekankan pentingnya sarapan pagi. Adakah di antara kami yang terlampau lemah untuk mengikuti sesi baris berbaris? Yang jadi anak kesayangan? Sayangnya, tidak. Semua peserta didik sudah diseleksi. Di sini gue bersyukur terpilih, juga nyesel karena terpilih.
3. Peserta didik harus menjalani sistim belajar yang ekstrim.
Ini dia yang mau aku ceritain. Selain semuanya serba ekstra, sistim belajar di SMK ini juga, di luar kebiasaan yang pernah aku ikutin di mana-mana sebelumnya.
Terutama pada mata diklat Matematika!
Matematika adalah pelajaran wajib di semua sekolah. Dan wajib jadi momok bagi beberapa pelajar yang otaknya cetek, termasuk gue. Enggak di SD, apalagi di SMP, yang namanya pelajaran ini selalu sukses bikin aku jadi orang paling bego di seluruh dunia.
Yang mengampu Matematika, adalah seorang profesor, bernama Hudi Pramono Jati.
Pertama aku membaca namanya, kesannya biasa aja. Apalagi pas liat orangnya dari jauh. Hanya seorang bapak guru biasa, yang mungkin berusia 50 tahunan. Tubuh beliau ini juga standar ala bapak-bapak guru pada umumnya. Nggak tinggi-tinggi banget, nggak berisi banget, atau gendut juga enggak.
Semuanya standar. Model rambut beliau juga standar aja. Rambut tercukur rapi, tanpa melewati telinga dan sebagaimana wajarnya orang yang kelewat pintar emang kadang-kadang botak.
Gue juga nggak tahu kenapa bisa begitu. Antara botak dan pintar, emang ada hubungannya? Atau mereka sebenarnya sepupu? Tapi, Omku yang nggak pinter juga botak. Jadi, aku memutuskan untuk menyerah untuk menemukan korelasi antara botak dan pintar.
Gaya berjalan beliau, juga biasa aja. Tidak mengesankan keangkuhan, kesombongan, berjalan layaknya orang-orang biasa dan nggak gila hormat. Itu yang bisa aku tangkap dari sosok Prof. Hudi. Info tambahan, beliau inilah Kepala Sekolah SMK Loka Karya.
Tetapi, ketika Prof. Hudi masuk ke dalam kelas, entah mengapa suasana menjadi begitu, horor cuy!
Aku sampe ternganga-nganga saking nggak percayanya. Beliau ngajar kami, tepatnya mata pelajaran paling susah, tanpa buku! Catet ya, auto-pilot gitu. Bener-bener gila, sih.
Lebih herannya lagi, beliau hapal materi apa aja yang akan diajarkan, bab apa, sampai bab berapa, halamannya juga sudah hapal luar kepala.
Dengan karismanya yang luar biasa itu, Pak Hudi, menulis sambil menjelaskan di depan kelas. Tentu dengan sangat lancar. Guru ini, bakalan aku kenang sepanjang hidup dengan metode ngajarnya yang bagiku sangat, sangat, sangat mengagumkan.
Jarang-jarang kan, dalam hidup aku bisa ketemu orang secemerlang beliau?
"Jelas? Silakan bertanya."
Waktu itu kelasku masih pakai kapur dan papan tulis. Ketika, beliau naruh itu kapur dan berniat balik ke kursinya salah seorang murid cowok beranikan diri bertanya, "Pak, kenapa Bapak ngajar nggak pakai buku?"
"Ada yang tahu jawabannya?"
Alih-alih langsung menjawab, beliau melemparkan pertanyaan itu supaya kami berdiskusi.
"Nggak ada yang tahu?"
Sumpah suaranya, yang nggak begitu besar rasanya besar dan powerful banget. Sorry kalau aku agak lebay dalam mendeskripsikan Prof Hudi, soalnya aku ngefan banget sama beliau.
"Semua materi ada di sini," ucapnya menunjuk kepala, "bukan di buku. Sebelum mengajar, semua sudah saya pindahkan ke sini."
Ya meskipun semua guru juga bakalan belajar sebelum mengajar, tetap aja aku dan temen sekelas juga mungkin terkagum-kagum.
Materi pertama Matematika di tahun ajaran baru tingkat satu MO, adalah tentang bilangan dan himpunan. Sebenarnya, materi ini pernah aku pelajari pas masih SMP.
Tapi ketika tiba-tiba aja, Pak Hudi nunjuk aku untuk maju ngerjain soal himpunan yang di mataku jadi keliatan bulet-bulet. Otakku macet seketika. Kayak roda gigi kurang oli.
Diagram di papan tulis yang dibikin oleh Pak Hudi, kelihatan bak martabak bertabur meses aneka warna. Gue nggak mampu menuliskan apa-apa dan terpaksa gue berdiri di depan kelas.
Bukan sebagai pajangan apalagi pemandangan indah, melainkan sebagai contoh buruk siswa yang nggak memperhatikan pelajaran.
"Berdiri terus sampai jam pelajaran saya selesai."
Aduh! Mau ditaruh di mana mukaku?
.
Ketegangan ternyata nggak berakhir, setelah aku jadi 'korban'. Aku mulai bisa sedikit merasa lega, setelah satu per satu siswa juga disuruh maju dan nggak bisa ngerjain soal.
Apa aku bilang, Matematika itu menakutkan. Aku berhayal, suatu saat bisa menghapus Matematika dari kurikulum pendidikan. Hahaha.
"Terus berdiri," perintah Pak Hudi sambil terus menerangkan. Aku yakin, murid-murid lain juga lagi takut ditunjuk, soalnya mereka juga sebagian besar masih shock dengan sistim belajar ekstrem kayak gini.
Di SMA lain, mungkin para pelajar baru masih sibuk MOS. Ngelakuin hal yang bebas dari angka-angka, dari kelas yang luar biasa, di mana di sini kami malah diperlakukan bak taruna. Ditempa sedemikian rupa dari pagi hingga siang hari. Lalu, diajar matematika di siang bolong ketika lapar, haus dan panas.
Jadi, apakah aku mesti senang dan bersyukur? Atau sebaliknya?