"Lalu, sekarang apa?"
Sepulang sekolah, aku ingin cepat pulang ke rumah dan segera tidur. Aku hanya bisa tidur sekitar 2 jam karena bermain dengan Carter. Sekarang, aku dan dia sedang berada di sarang agnes—ruangan kosong yang selalu menjadi tempat bermainnya sepulang sekolah.
Aku dan Carter—dengan sekuat tenaga membuka mata dan tidak tertidur—sedang duduk di meja. Mata kami yang berkantong ini sudah tidak bisa focus lagi. Agnes yang berada di hadapan kami berdua masih santai bermain di laptopnya.
Alasan kami bertiga berkumpul hari ini adalah untuk mendiskusikan "sesuatu". Aku masih belum tahu detailnya, tetapi Carter dan Agnes akan membahasnya hari ini.
"Bisakah kita selesaikan diskusi ini secepatnya? Aku pingin tidur." Ucapku lemas, yang sudah tidak bisa menahan diri dari segera beranjak pergi menuju rumah.
Mendengarku, Agnes segera menutup laptopnya dan menatapku. Beberapa saat kemudian, Agnes mengubah arah tatapannya ke arah Carter.
"Carter." Panggil Agnes.
Carter yang kepalanya bergoyang menahan kantuk, seketika tegak dan tatapannya tajam membalas Agnes.
Lalu, dengan tegas, dia tiba-tiba berkata, "Kamu tidak bisa mencari orang yang sudah meninggal."
Agnes langsung membanting meja dengan tangannya seketika setelah mendengar perkataan Carter. Tentu saja aku terkejut, tapi aku berusaha memahami apa yang sedang terjadi.
Dari perkataan Carter barusan, aku bisa menyimpulkan bahwa setelah Agnes mengetahui bahwa ada orang-orang yang bisa melihat jiwa orang-orang yang sudah meninggal, dia berharap bahwa orang-orang seperti kami bisa mencari jiwa seseorang yang Agnes kenal. Jiwa yang Agnes cari mungkin adalah orang yang disayanginya.
Amarah yang besar terukirkan di wajah Agnes. Pupilnya mengecil, kepalan tangannya, serta giginya yang menggertak seakan-akan siap menyerang Carter kapan saja. Walaupun aku memejamkan mata, aku sudah bisa merasakan amarahnya yang dahsyat.
"Lalu...bagaimana..." tanya Agnes yang menahan keras amarahnya.
Aku mencoba memotongnya untuk meminta kejelasan, "Pertama, jelaskan keadaannya."
Carter menjawab dengan cepat, "Agnes ingin bertemu dengan seseorang yang lama telah meninggal. Dia tidak tahu identitasnya, tetapi dia punya satu petunjuk, yaitu jiwa tersebut hinggap di tubuh orang yang masih hidup."
...Huh?
Itu adalah hal yang belum aku ketahui. Apakah hal seperti itu mungkin? Lagian juga, kalau Agnes tidak bisa melihat jiwa orang yang telah meninggal, lalu kenapa—
"Tunggu sebentar, Erno. Jangan bingung dulu."
Carter menghentikanku sebelum aku tenggelam dalam pikiranku sendiri. Agnes mulai sedikit tenang sembari Carter menjelaskan berbagai hal yang aku dan Agnes belum ketahui.
"Memang benar, bahwa terdapat fenomena yang menyebabkan suatu jiwa hinggap di tubuh seseorang yang masih hidup. Jiwa tersebut tidak akan mengambil alih tubuh orang tersebut. Ini..."
Perkataan Carter sempat terputus saat dia sedang mencari kata-kata. Kemudian, dia melanjutkan, "Fenomena itu sebetulnya tidak terlalu wah. Tidak ada efek besar yang diakibatkan olehnya."
Aku langsung bertanya, "Lalu, bagaimana Agnes—seseorang yang tidak pernah melihat jiwa-jiwa tersebut—mengetahui semua ini? Bahkan dia mengetahui fenomena yang aku tidak ketahui."
"Kalau kamu bertanya tentangku, setidaknya pandangi mataku. Selain itu, hanya karena aku tidak pernah melihatnya, bukan berarti aku tidak bisa mempercayai keberadaannya. Setiap saat, aku memimpikan hal ini, yaitu bahwa seseorang dari masa lalu akan menyelamatkanku suatu saat nanti."
"Menyelamatkanmu dari apa?" tanyaku.
"...Aku tidak tahu. Mungkin dari dunia ini."
"Apa kamu sakit jiwa?"
Dia membentak orang-orang —aku dan Carter —hanya untuk mencari tahu sesuatu yang abu-abu dan berasal dari mimpinya.
Di saat aku ingin melanjutkan untuk mengejeknya, Carter memotongku, "Erno..."
"Ada apa, Carter? Kalau bukan karena dia, mungkin aku sudah melakukan kegiatan lain yang lebih bermanfaat sepulang sekolah. Lebih baik kalau —"
"Ini sebenarnya bukanlah salah Agnes."
"...Huh?"
Carter sembari memegang dadanya sendiri, berkata, "Lihatlah."
Awalnya aku kebingungan kenapa diperintahkan untuk melihat dada Carter. Namun, aku langsung paham apa yang Carter ingin kulihat.
Dengan penuh konsentrasi, aku berusaha mengubah mode pandanganku, agar dapat melihat jiwa-jiwa yang telah mati.
!!
Aku terkejut. Dari awal aku mendapatkan kemampuan ini hingga sekarang, aku tidak pernah terlalu focus dalam menggunakannya. Maksudnya adalah, aku tidak pernah memperdulikan jiwa-jiwa yang kulihat. Aku anggap bahwa cahaya-cahaya yang kulihat itu adalah...sekedar cahaya yang melayang saja.
Aku hanya bisa melihat jiwa-jiwa orang yang telah meninggal, bukan yang masih hidup. Sehingga setiap saat aku melihat seseorang, maka di dalamnya tidak ada cahaya sedikitpun. Namun, Ketika aku melihat ke arah Carter dan focus ke arahnya untuk pertama kali...
"Kenapa...ada jiwa mati di dalam dirimu..?"
Tanpa menjawab pertanyaanku, Carter berkata, "Sekarang, lihatlah Agnes."
Pemandangan yang sama. Ada sedikit cahaya di tubuh Agnes, sama seperti Carter.
"Juga ada potongan jiwa yang telah mati di dalam dirimu, Erno. Kemungkinan besar, hal ini berlaku bagi semua orang yang dapat melihat jiwa yang mati, yaitu terdapat jiwa yang mati di dalam tubuh mereka."
"Tetapi, Agnes tidak bisa melihat mereka, jadi kenapa-"
"Aku juga tertarik terhadap hal itu. Agnes adalah kasus yang unik. Sebelumnya aku mengatakan bahwa jiwa tersebut tidak akan mengambil alih tubuh kita. Namun, ada efek sampingnya, yaitu memori kita dan memori yang ada di jiwa tersebut sedikit tercampur. Mungkin kamu tidak merasakannya, Erno. Namun, Agnes telah terkena dampaknya."
Akhirnya, aku paham dengan situasinya.
"Jadi, mimpi aneh yang dialami oleh Agnes adalah..."
"Berasal dari jiwa yang hinggap di tubuh Agnes."
Saat aku menatap Kembali Agnes, dia ternyata sudah Kembali tenang dan mendengarkan semua penjelasan Carter.
Rupanya, beberapa hari yang lalu —sebelum Carter menyuruhku untuk bertemu dengannya —Agnes bertemu dengan Carter dan mengetahui bahwa dirinya dapat melihat jiwa-jiwa yang telah mati. Agnes bertanya kepada Carter tentang cara mencari jiwa yang telah mati, tetapi Carter menghindari pertanyaannya.
Carter —dengan alasan yang belum kuketahui —ingin memulai pembicaraan tentang hal ini denganku. Namun, apa yang bisa kuperlakukan? Posisiku sama seperti Agnes saat ini, yaitu baru saja mengetahui hal seperti ini.
Saat kulihat Agnes lagi, terdapat sedikit kekecewaan di raut wajahnya. Dari penjelasan Carter, dia mengimplikasikan bahwa mimpi yang dialami oleh Agnes, perasaan Agnes yang ingin menemui seseorang dari masa lalu itu, bukanlah perasaan Agnes sendiri.
"Jadi begitulah, Agnes," ucap Carter sambil berdiri, "Aku juga akan mencari tahu akan fenomena ini —"
Ucapan Carter terhentikan oleh tawaan Agnes. Dia tertawa dengan senyuman yang lebar. Saat kurasakan, tawaannya ini adalah tawaan keputusasaan.
Setelah beberapa saat, tawaannya berhenti. Suasana menjadi hening sesaat.
"Jadi, ini adalah jawaban yang kuterima setelah menunggu satu tahun..."
Satu tahun!? Mereka sudah saling kenal selama itu?
"Yep. Lalu?" Carter menjawab dengan santai, walaupun dia sudah menunda memberi jawaban kepada Agnes selama setahun penuh.
"Lalu? Kamu menggunakan waktu satu tahun untuk memanggil seseorang yang bahkan juga tidak tahu apa-apa..."
"Kamulah yang tidak tahu apa-apa." Jawab Carter dengan tatapan yang tajam.
Gawat...
Perasaanku menjadi tidak enak. Emosi yang dikeluarkan oleh Agnes dan Carter membuat suasana di ruangan ini menjadi sangat panas. Jiwa-jiwa yang berada di sekitar kami bertiga bergetar lebih keras dari biasanya, menandakan tekanan yang kuat di ruangan ini akibat aura yang dikeluarkan oleh mereka berdua.
Carter dengan nada yang sedikit mengancam, bertanya, "Lalu, apa yang bisa kamu akan lakukan?"
Dengan cepat, Agnes mengeluarkan box cutter dari saku bajunya, mendorong pisaunya keluar, lalu mengarahkannya ke lehernya sendiri, lalu berteriak, "Jangan remehkan aku!!"
Kali ini, aku benar-benar tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi karena aku tidak mengetahui sejarah hubungan mereka.
"Agnes, tenanglah!"
"Diamlah, Erno! Dari kecil, aku selalu mencari orang itu!! Dialah alasanku untuk hidup! Jika kau mengatakan bahwa aku tidak bisa mencarinya, maka —"
Carter memotong perkataan Agnes dengan sebuah pertanyaan, "Kalau begitu, siapakah orang itu? Aku, ataukah Erno?"
"Woi, Carter! Apa maksudmu!? Jangan tiba-tiba libatkan aku!"
"Aku tidak melibatkanmu, Erno. Agnes bilang sendiri bahwa orang —atau jiwa — yang dicarinya itu berada di tubuh orang lain. Sekarang, orang yang berada di ruangan ini memiliki jiwa lain di dalam tubuhnya. Tentu saja, jiwa yang dicari oleh Agnes bukan berada di tubuhnya sendiri. Jadi, pilihannya hanya ada aku dan kamu. Jadi, siapakah?"
"Aku tidak tahu!!"
Agnes berteriak sangat keras hingga aku khawatir jika orang-orang diluar akan mendengarnya. Selain itu, keadaan seperti ini membuatku sangat gelisah. Carter sekarang jauh lebih serius dari biasanya dan aku tidak menyangka dia bisa seperti ini. Keseriusannya itu seakan-akan adalah amarahnya yang disamarkan.
Aku tahu jika aku berada di posisi yang sama seperti Carter, aku akan marah juga jika berhadapan dengan Agnes. Sikapnya yang menekan orang lain hingga mengancam nyawanya sendiri itu cukup menjengkelkan.
Akan tetapi, ada satu pertanyaan mengenai Carter yang masih belum kupahami, yaitu kenapa Carter membuat Agnes menunggu selama setahun? Jika tujuan Carter adalah untuk mengajakku ke percakapan ini, maka tidak masuk akal sekali jika Carter tidak mengajakku dari tahun lalu.
"Tunggu dulu! Carter, selama setahun ini, apa yang kamu lakukan?"
"Mencari tahu." Jawabnya dengan singkat. Karena singkatnya, aku masih belum bisa dipuaskan dengan jawabannya, dan aku yakin begitu juga dengan Agnes.
"Mencari tahu apa? Cara untuk mencari jiwa yang dicari oleh Agnes?"
"Benar sekali. Dan aku yakin, kamu tidak ingin mengetahui detailnya, Erno."
Jawabannya yang disertai dengan tatapan serius serta nada yang rendah membuatku tidak ingin melanjutkan pertanyaanku mengenai detailnya. Instingku berkata kalau aku sebaiknya tidak melanjutkannya. Namun, masalahnya adalah...
"Agnes, tolong letakkan pisau itu..." ucapku dengan melembutkan nada agar dia mendengarkanku.
Agnes tidak bergerak sedikitpun. Aku mencoba mengulangi perkataanku, tetapi masih sama saja. Hanya saja aku menguasai dasar bela diri, aku akan menjatuhkan pisau dari tangannya itu dengan segera, tetapi aku bukan orang yang seperti itu.
Apa aku harus mencobanya? Apa aku harus berteriak?
Aku terus memikirkan cara agar dia menghentikan tindakannya itu. Mungkin, aku terlihat bodoh karena khawatir dengan "ancaman"-nya itu. Namun, aku tidaklah sebodoh itu. Aku bisa merasakannya dengan jelas. Aku bisa merasakan keseriusan Agnes dengan jelas. Jika tidak dihentikan, bisa saja hidupnya akan berakhir disini oleh tangannya sendiri.
Carter masih diam saja, seakan-akan tidak peduli jika Agnes akan merenggut nyawanya disini dan sekarang juga. Apa yang membuatnya merasa seperti itu?
Semenjengkelkannya Agnes, dia tidak berhak merenggut nyawanya seperti ini. Aku juga jengkel kepada Agnes, tetapi aku tidak ingin melihatnya seperti ini.
Carter...kenapa kamu sangat benci kepada Agnes?
"Jadi, kenapa heboh begini?" terdengar sebuah suara dari belakang. Suara tersebut bukanlah berasal dari Carter. Namun, suara ini tidak asing bagiku. Lebih tepatnya, aku mengenal orang dibalik sumber suara ini.
"Aku berharap kita bisa bicara baik-baik. Eh, malah jadi seperti ini."
Orang itu masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu. Dia menutup pintu ruangan lalu bersandar padanya.
"Nolan..?"