Aku menjulurkan jari kelingkingku di depan hidungnya, “Janji dulu, kamu bakal bawain sarapan tiap hari selama seminggu, kamu juga bakal ajak aku ke pantai yang paling indah, dan satu lagi, ini janji yang paling penting, jangan pernah tinggalin aku.”
Kevin terkekeh “Janji macam apa itu Sa? Kecil ah” Kevin mambalas uluran jari kelingkingku. “Oke, karena aku udah janji, berarti kamu harus mau aku ajak kemana aja hari ini!” ucap Kevin sambil menarik bibirnya membentuk senyuman yang selalu sukses membuatku meleleh.
“Siap bos!” ujarku bersemangat. Betapa beruntungnya aku memiliki Kevin. Kevinku yang baik dan selalu ada untukku.
*
Aku memandang kupu-kupu yang beterbangan dari satu kelopak bunga ke kelopak bunga yang lain. Seandainya saja aku bisa seperti kupu-kupu itu, bergerak cepat tanpa menghiraukan obat mana saja yang harus kuminum, bebas tanpa merisaukan kapan aku harus ke dokter untuk mengecek kesehatanku. Seandainya…
“Ayo Sa, kita berangkat” Suara ibu mengagetkan lamunanku. Aku segera berdiri dan menghampiri Ibu yang telah siap di sebelah mobil.
*
Perjalanan terasa sangat lama. Aku dan ibu tak berbicara sedikitpun, hingga ibu memecahkan keheningan itu, “Kamu kenapa Sa? Kok diem terus?”
“Gak papa bu. Sasa cuma capek aja, tiap minggu harus kemo”.
“Ini kan juga demi kebaikanmu. Kamu ingin sembuh kan Sa? Kamu ingin ingatan kamu balik lagi kan?”
Aku mendesah, ini dia alasan pamungkas ibu ketika aku menolak pergi kemo. Mengembalikan ingatanku. Ya, Sejak kecelakaan waktu itu, aku mengalami amnesia. Aku lupa semua kejadian 3 tahun belakangan. Dokter bilang memori yang hilang itu akan berangsur angsur pulih dengan kemo dan minum obat teratur.
Satu hal lagi yang sangat memotivasiku untuk mengembalikan lagi ingatanku, Kevin. Entah kenapa hanya satu nama itu yang aku ingat dalam kurun waktu 3 tahun terakhir. Tapi… aku tak tahu siapa dia, dan tak ada yang mau memberitahuku.
Tak berapa lama, aku dan ibu sampai di tempat Dokter Hasna. Seperti biasa, Dokter Hasna menanyaiku beberapa pertanyaan, dan mengetas seberapa jauh perkembangan otakku. Membosankan.
Sesampainya di rumah aku merebahkan diri di kasur. Aku berdoa semoga mukjizat Tuhan tiba-tiba datang dan ingatanku yang hilang muncul seketika. Aku terus berdoa hingga aku jatuh tertidur.
*
Tok tok tok
Suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku dari acara TV yang sedang kutonton. Siapa minggu pagi-pagi begini berkunjung? Aku beranjak dari sofa dan membuka pintu depan. Di sana berdiri pria seumuranku, posturnya tinggi, kulitnya sawo matang dan rambutnya sedikit berantakan. Ia membawa tempat bekal di tangannya.
“Cari siapa ya?” Tanyaku.
Pria itu tersenyum kecil “Enggak kok. Aku cuma mau ngasih ini” Pria itu menjulurkan tempat bekalnya tadi. Aku menerimanya dengan bingung.
“Aku warga baru sini. Ini masakan bikinan aku sendiri, buat tanda perkenalan aja sih. Kenalin aku Vino” Vino menjulurkan tangannya sambil tersenyum, menampakkan giginya yang putih. Pria ini manis juga, pikirku.
“Aku Sasa. Ooh tetangga baru ya. Yuk mari masuk”
“Ehm.. gak usah Sa, aku balik aja dulu ya. Bye Sasa!” Vino pergi sambil melambaikan tangannya.
Aku penasaran apa yang dibawa Vino untukku. Kubuka tempat bekal itu. Disitu tertata dengan rapi nasi kuning dengan telur mata sapi dan abon. Bagaimana Vino tahu makanan kesukaanku ini? Ah entahlah, aku lapar, aku segera melumat habis nasi kuning pemberian Vino itu.
“Tadi ada tamu ya Sa?” tanya ibu ketika aku hendak mengambil minum.
“Iya bu, tadi ada tetangga baru ngasih makanan”
Kening ibu berkerut “Tetangga baru? Setahu ibu enggak ada warga baru disini deh, Sa”
“Mana aku tahu bu. Dia bilangnya sih orang baru sini. Ibu aja mungkin yang belum tau” ujarku sambil melengos pergi dengan menggenggam gelas berisi air putih.
Ternyata kebiasaan Vino terus berlanjut, ia selalu mengantarkan nasi kuning dengan telur mata sapi dan abon setiap pagi. Dan selalu saja ibu mengelak tidak ada warga baru di daerahku. Aku tak terlalu memikirkannya, Vino adalah pria yang baik, dia membuatku merasa tidak kesepian lagi.
*
Pagi itu aku sudah duduk di ruang tamu, menunggu kedatangan Vino dan nasi kuningnya. Tak berapa lama suara pintu diketuk terdengar, aku segera beranjak dengan senyum lebar terukir di wajahku.
“Pagi Vino!” ujarku sambil membuka pintu.
Vino menampakkan senyumnya “Pagi Sasa.”
Aku memicingkan mataku “Lho tumben enggak bawa makan?” mataku memandang tangan kosong Vino.
Vino tertawa kecil “Iya, nasi kuningnnya aku tinggal di mobil. Aku mau ajak kamu ke pantai nih, mau nggak? Ntar kita makan di sana”
Mataku berbinar binar. Ke pantai? Dengan Vino? Yang benar saja! Aku tak akan menolaknya “Mau mau! Bentar ya aku ganti baju dulu”
Tak berapa lama aku sudah berada di dalam mobil Vino. Vino selalu melemparkan senyumnya ke arahku, membuatku tersipu malu. Entah kenapa ada sedikit raut kesedihan di balik senyumnya, hmm.. Entahlah, mungkin perasaanku saja.
Aku dan Vino sampai di sebuah pantai di pinggiran kota Jakarta. Pantainya indah, sangat indah. Belum ada sampah-sampah yang berserakan, airnya masih berwarna biru cerah, batu-batu karang berdiri kokoh, dan ombaknya mengeluarkan suara riuh yang mengasyikkan.
Aku berlari menghampiri ombak, aku selalu suka bermain dengan ombak.
“Bagus enggak?” tanya vino sambil menghampiriku.
Aku tersenyum lebar “Bagus banget Vin! Kok kamu tau sih ada tempat kayak gini di Jakarta?”
Vino tersenyum kecil “Iya, kan aku udah janji”
“Janji?” tanyaku bingung.
Vino menggenggam tanganku, membuat hatiku berdegup kencang “Iya, janji yang pernah kita buat, aku enggak bakal lupa sama janji itu. Kamu ingat ini?” Vino mengulurkan jari kelingkingnya tepat di depan hidungku.
Tiba-tiba sekelebat memori merasuki otakku. Gambaran saat aku dan Kevin duduk berdua menautkan jari kelingking kita, membuat janji diantara kita. Kemudian gambar itu menghilang, digantikan gambar aku dan Kevin sedang di mobil berdua, bercanda, tertawa, dan tanpa Kevin ketahui, sebuah truk besar dengan kecepatan tinggi melaju tapat di depan mobil yang kami tumpangi. Gambaran itu menghilang lagi. Kemudian aku mendengar sirine berbunyi, aku bisa merasakan darah yang mengucur di dahiku, aku mencari Kevin. Dimana Kevin? Akhirnya mataku menangkap sesosok tubuh yang hampir seluruhnya bersimbah darah. Apakah itu Kevinku? Dan kemudian semua gambaran itu berubah menjadi hitam. Aku terhuyung-huyung, kepalaku terasa pusing menerima begitu banyak memori secepat itu, Vino dengan sigap menangkapku.
“Kamu enggak apa apa Sa?” Tanya Vino sambil membantuku agar duduk di batu besar dekat kami berdiri.
Aku membuka mataku perlahan “Kevin? Kamu Kevin kan?”
Vino menganggukan kepalanya “Akhirnya kamu ingat Sa. Maafin aku udah bikin kamu kayak gini. Maafin aku udah bikin ingatan kamu hilang”
Aku masih bingung. Benarkah yang di depanku ini Kevin? Kevin.. Vino.. Ya! Aku ingat sekarang, nama lengkap Kevin adalah, Kevino Pratama…
Kevin menggenggam tanganku lagi, setetes air mata jatuh di pipinya “Maafin aku, waktu itu aku lengah. Aku terlalu bahagia bisa bersamamu Sa, sampai-sampai aku enggak tau truk itu datang”
“Udah Vin, kamu gak salah. Jangan pernah nyalahin diri kamu sendiri. Toh sekarang kita udah bisa sama-sama lagi kan?” aku tersenyum simpul.
Kevin mendongakkan kepalanya, air matanya sudah sirna digantikan tatapannya yang tajam “Kita gak bisa sama sama lagi Sa. Kita udah beda dunia”
Aku menggelengkan kepalaku, apa maksudnya ini?! “Kamu bilang apa sih Vin. Beda dunia apaan? Enggak usah bercanda deh Vin, enggak lucu”.
Kini raut wajah Vino mulai melembut, Vino mengelus rambutku pelan “Sasa, aku datang kesini cuma buat nepatin janji aku, gak bisa lebih dari itu. Kita udah di dunia yang berbeda Sa, kamu tahu maksudku. Kecelakaan itu… telah merenggut nyawaku”
Aku menggelengkan kepalaku lagi, tetes demi tetes air mata jatuh di pipiku, nafasku tercekat, jantungku serasa jatuh ke mata kaki,“Enggak. Kamu gak mati Vin! Aku bisa liat kamu! Aku bisa megang kamu! Kamu gak mati!”
“Sa, maafin aku, tapi kamu harus ngikhlasin aku pergi. Aku gak bisa pergi tanpa ke ikhlasan dari kamu. Maafin aku Sa, aku sayang banget sama kamu”
Air mata ini semakin lama semakin deras. Teganya Kevin meninggalkanku seperti ini?! Aku sangat mencintainya, aku tak akan sanggup melihatnya pergi untuk… selamanya… “Jangan tinggalin aku Vin. Vin ini semua bohong kan? Kamu lagi ngerjain aku kan? Bilang Vin, kamu lagi ngerjain aku!”
Kevin tersenyum kecil, tangannya menggenggam tanganku lembut “Ingat satu hal sa, ketika aku pergi nanti, aku akan tetap selalu ada di sampingmu, walaupun kamu gak bisa ngeliat aku”
“Tapi Vin..” ujarku sesenggukan.
“Udah Sa, sekarang pejamin mata kamu ya”
Aku memejamkan mataku, kemudian aku mencium bau yang sangat aku kenal, bau kamarku. Aku membuka mataku perlahan. Aku sedang duduk di tempat tidurku, mataku sembab, dan masih ada sisa sisa air mata di pipiku. Apakah tadi nyata? Aku harap tidak, aku harap Kevin berdiri di depan pintuku lagi dengan tempat bekalnya. Namun takdir memang sudah digariskan, aku menemukan tempat bekal Kevin di sebelah ranjangku. Tempat bekal yang berisi nasi kuning dengan telur mata sapi dan abon. Sarapan terakhir yang diberikan Kevin untukku.