Naura meringis sambil memegang kepalanya yang terasa sakit. Tak biasanya ia merasakan sakit kepala disaat bangun tidur. Matanya mengerjap berkali-kali. Ini kamarnya? Bagaimana bisa ia berada dikamarnya? Iapun mencoba mengingat kejadian-kejadian kemarin.
Ia datang ke acara ulang tahun Vanessa bersama dengan Ayunita. Vanessa menyambutnya kemudian membawanya ke lantai atas. Kemudian, ia bertemu dengan beberapa pria-pria paruh baya. Vanessa mengajak untuk berfoto bersama. Vanessa memberikan minuman jus padanya. Setelah itu ia tidak bisa mengingat apapun. Naura menghela napas sesaat, kemudian berjalan menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
-ooo-
Daniar menatap bingung putrinya yang tampak pucat hari ini. Sesekali, ia melihat putrinya memegang kepalanya. Daniar yang tak tahan melihat gelagat aneh putrinya pun memilih untuk bertanya langsung.
“Kamu kenapa? Kok muka kamu pucet gitu?” Tanya Daniar yang dijawab gelengan oleh Naura.
‘Kepala Naura sakit aja. Dari bangun tidur udah sakit.’ Jawab Naura dengan bahasa isyarat. Daniar menatap cemas putrinya.
“Yaudah, kamu nggak usah sekolah hari ini. Nanti biar Mama telfon pihak sekolah.” Ujar Daniar yang langsung dijawab gelengan oleh Naura.
‘Naura gapapa kok, Ma. Ini cuma sakit biasa. Nanti juga bakalan hilang sendiri sakitnya.’ Ungkap Naura dengan bahasa isyaratnya, tak lupa dengan senyuman menenangkannya. Daniar yang melihatnya hanya bisa menghela napas pelan. Putrinya itu begitu keras kepala.
“Yaudah. Kalo rasa sakitnya nggak bisa kamu tahan, hubungi Mama. Oke?” Ujar Daniar yang dijawab anggukan oleh Naura. Naura kemudian melanjutkan kegiatan menyantap sarapannya. Begitu pula dengan Daniar walau masih terbesit rasa cemas dihatinya.
-ooo-
Naura berjalan masuk kedalam gedung sekolahnya dengan langkah lemas. Dalam hati, ia begitu menyesali keputusannya untuk bersekolah hari ini. Rasa sakit dikepalanya itu tak kunjung hilang, malah bertambah.
Naura menatap orang-orang yang kini menatapnya sambil berbisik-bisik. Naura bingung, sebenarnya apa yang terjadi sampai mereka menatap dirinya seperti itu? Naura yang tak tahan ditatap seperti itu menghampiri seorang gadis yang tengah menatapnya sinis.
“Eh, nggak usah deket-deket! Jauh-jauh lo dari gue!” Seru gadis itu membuat langkah Naura terhenti. Naura semakin dibuat bingung dengan sikap gadis itu padanya. Sebenarnya ada apa ini? Mengapa orang-orang menatapnya se-sinis itu?
“Naura Adipati,” Panggil Bu Franda dari arah belakang. Naura berbalik, kemudian menatap gurunya itu lamat-lamat. Anehnya, gurunya yang biasanya bersikap baik dan lembut padanya, kini tampak dingin.
“Ikut saya ke ruangan Kepala Sekolah.” Ujar Bu Franda lalu pergi terlebih dahulu meninggalkan Naura yang semakin tak paham akan situasi.
Berkali-kali Naura bertanya dalam hati, ada apa sebenarnya? Adakah seorang dari mereka yang bisa menjawab kebingungannya saat ini?
-ooo-
Naura duduk di hadapan Pak Agus Hadicipto, Kepala Sekolah SMA DharmaWangsa – yang kini tengah sibuk dengan Laptopnya. Naura menatap lekat Pak Agus. Ia ingin mengetahui dengan jelas alasan ia dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah.
Pak Agus kemudian menatap dirinya. Tatapan Pak Agus juga sama seperti orang-orang sekitar disekolah ini. menatapnya dengan tatapan sinis. Walau tidak begitu ditunjukkan, Naura tahu tatapan itu dengan jelas.
“Jadi kamu yang namanya Naura Adipati?” Ujar Pak Agus memulai perbincangan. Naura mengangguk kaku.
“Kira-kira kamu tahu tidak alasan saya memanggil kamu ke ruangan saya?” Tanya Pak Agus yang dijawab gelengan oleh Naura. Benar, Naura sama sekali tidak mengetahuinya. Ia bahkan tidak pernah menyangka dirinya dipanggil ke ruangan Kepala Sekolah. Pak Agus terdiam sesaat, sampai akhirnya memutar Laptopnya menghadap Naura. Mata Naura mendelik lebar saat melihat apa yang tertampil dilayar Laptop milik Pak Agus.
“Bisa kamu jelaskan kepada saya maksud dari foto ini?” Ujar Pak Agus meminta penjelasan. Foto itu menampilkan dirinya tengah tidur seranjang dengan sosok pria yang sudah tak asing lagi dimatanya. Lelaki itu adalah lelaki yang kemarin merangkul pinggangnya dengan seenaknya. Tangannya bergetar sekarang. Apa ini? Ia bahkan tidak mengetahui apapun tentang foto itu.
Naura menatap pak Agus dengan tenang. Naura kemudian menjelaskannya dengan bahasa isyarat. Berusaha menjelaskan bahwa apa yang ada di foto itu semuanya hanyalah rekayasa. Kebohongan yang dibuat-buat.
Namun semuanya hanyalah sia-sia. Pak Agus malah menyuruhnya untuk berhenti membela diri. Naura menatap Pak Agus tak percaya. Bagaimana bisa Pak Agus mengatakan hal semacam itu?
“Sekolah ini tidak mentoleransi hal yang memalukan seperti ini. Jadi, sebelum nama sekolah ini buruk akibat foto yang beredar ini, saya selaku kepala sekolah SMA DharmaWangsa memutuskan untuk mengeluarkan kamu dari sekolah ini.” Ujar Pak Agus membuat Naura terbelalak kaget. Dia dikeluarkan dari sekolah? Bagaimana bisa hal ini terjadi padanya?
Naura memohon kepada Pak Agus agar tidak mengeluarkannya dari sekolah. Ia bahkan sampai bersujud didepan kaki Pak Agus. Pak Agus kemudian menyuruh Naura untuk bangkit dari sujudnya.
“Saya tidak bisa menahan kamu di sekolah ini. Foto itu sudah beredar di lingkungan sekolah. Sekarang, kamu keluar dari ruangan saya.” Ujar Pak Agus kemudian memutar kembali Laptopnya hingga menghadap kearahnya. Naura menghela napas pasrah, kemudian melangkah keluar dari ruangan Pak Agus.
Naura menggerakkan kakinya dengan berat menuju ke kelasnya berada. Orang-orang disekitarnya menatap sinis kearahnya. Banyak cemooh-cemooh yang diterimanya dari orang-orang disekitarnya.
“Dasar nggak tahu diri!”
“Kelihatannya aja polos, ternyata main sama om-om!”
“Pergi lo dari sekolah ini!”
Dan masih banyak lagi. Naura mengepalkan kedua tangannya. Airmatanya sudah tumpah begitu saja.
“Guys, ini nih cewek yang lagi viral disekolahan kita.” Ujar Vanessa melangkah mendekati Naura yang kini menundukkan kepalanya.
“Cewek disabilitas yang ternyata liar banget.” Lanjutnya membuat Naura mendongakkan kepalanya. Matanya menatap orang-orang sekitarnya yang menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Bohong! Itu bukan aku!’ Ungkap Naura dengan bahasa isyaratnya. Orang-orang tampak tak peduli.
“Kalo udah ngelakuin, akui aja! Nggak usah ngebela diri! Munafik lo!” Seru seorang gadis dengan sinisnya. Naura kembali menundukkan kepalanya. Tangisan kembali pecah. Airmata kembali membasahi pipinya.
Naura kemudian berlari pergi dari tempat itu. Naura terus berlari hingga tanpa sadar menabrak seseorang. Naura jatuh terduduk. Naura mendongakkan kepalanya. Ternyata orang itu adalah Ayunita.
Naura bangkit dari jatuhnya, kemudian berdiri tegak menatap Ayunita yang kini tampak tak peduli. Naura menahan Ayunita untuk pergi. Ayunita menepis kasar tangan Naura. Kemudian menatap Naura tajam.
‘Foto itu. Kamu tau tentang foto itu ‘kan?’ Tanya Naura dengan bahasa isyarat.
“Ya, gue tau. Kenapa? Lo terkejut liat kelakuan lo sendiri?” Ujar Ayunita membuat Naura menatap tajam Ayunita.
‘Aku bukan orang rendahan kayak gitu!’ Ungkap Naura dengan bahasa isyaratnya. Ayunita yang melihatnya melengos, kemudian kembali menatap Naura dengan tajam.
“Cukup deh, Ra. Stop jadi orang munafik.” Ujar Ayunita membuat Naura menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Naura kemudian menatap tajam Ayunita dihadapannya.
‘Aku nggak nyangka kamu nggak percaya sama aku.’ Naura tersenyum miris. Ayunita memalingkan wajahnya, memilih untuk bersikap tidak peduli. Naura yang melihatnya hanya bisa menangis. Tak percaya, Ayunita bisa dengan mudahnya tak mempercayai dirinya. Seharusnya Ayunita bisa berpikir apakah dirinya bisa melakukan hal itu?
Naura kemudian pergi dari hadapan Ayunita. Sudah cukup. Memang mungkin ini jalan terbaiknya. Ia keluar dari sekolah itu daripada terus-menerus mendapat hinaan dari orang-orang yang tanpa bukti yang belum diketahui kebenarannya. Naura memilih untuk menenangkan diri di taman sekolah.
Bayu tidak ada disisinya saat ini. Bahkan laki-laki itu tidak membuka pesan yang dikirimnya 2 hari yang lalu. Entah kemana perginya lelaki itu. Naura yang tadinya tengah menundukkan kepalanya tiba-tiba mendengar derapan langkah kaki seseorang. Naura mengintip dari balik pohon besar yang kini menjadi tempat persembunyiannya. Dahinya berkerut saat melihat orang itu. Ayunita dan Vanessa. Untuk apa kedua gadis itu ada disini?
“Apaan sih lo? Narik nggak pakek perasaan kayak gitu.” Gerutu Vanessa dengan menatap jengkel Ayunita. Ayunita tak menggubris ucapan Vanessa.
“Gue tau lo yang nyebar foto itu ke anak-anak di sekolah.” Ujar Ayunita membuat Vanessa tersenyum miring mendengarnya.
“Iya, emang gue. Kenapa?” Ujar Vanessa dengan angkuhnya. Ayunita menghela napas panjang.
“Lo keterlaluan banget. Kenapa lo–”
“Yaampun, Ayunita. Nggak usah munafik deh ya,” Vanessa melangkah mendekati Ayunita, “Lo lupa, lo juga turut andil dalam hal ini?” Potong Vanessa cepat membuat Ayunita kembali teringat akan kejadian kemarin.
Flashback ON
Vanessa melambai-lambaikan tangannya didepan wajah Naura demi memastikan bahwa Naura benar-benar sudah tidak sadarkan diri. Gadis malang itu benar-benar sudah masuk kedalam perangkapnya. Ternyata, minuman yang diberikan oleh Vanessa tadi telah dicampur dengan obat tidur.
Vanessa kemudian menyuruh pria-pria paruh baya itu mengangkat tubuh Naura menuju ke sebuah kamar tamu. Ayunita yang melihat Naura dibawa pergi pun bingung. Kemudian matanya beralih menatap Vanessa yang kini tersenyum senang.
“Ngapain Naura dibawa ke kamar tamu?” Tanya Ayunita kemudian Vanessa menoleh kearahnya. Senyuman licik jelas sekali tercetak diwajahnya yang cantik.
“Penasaran? Liat aja sendiri nanti. Lo pasti bakal muji rencana cemerlang gue.” Ujarnya kemudian menuju ke kamar tamu. Ayunita yang penasaran mengikuti Vanessa dari belakang.
Betapa terkejutnya diri Ayunita ketika melihat seorang pria paruh baya tengah membuka pakaian bagian atasnya. Ayunita kemudian menyadari apa rencana yang dikatakan cemerlang oleh Vanessa. Ayunita kemudian menarik Vanessa keluar dari kamar.
“Apaan sih? Santai aja dong nariknya.” Ucap Vanessa sambil menghempas kasar tangan Ayunita.
“Gue minta sama lo, stop rencana lo ini.” Ujar Ayunita membuat Vanessa mendengus geli.
“Santai aja kali. Lagian nggak beneran juga gue suruh tuh om-om tidurin si Naura.” Ujar Vanessa membuat Ayunita mendecak kesal.
“Tapi ‘kan–”
“Yaampun, Ayunita. Please deh ya. Jangan munafik.” Vanessa memotong ucapan Ayunita, “Lo sama gue punya tujuan yang sama. Ngebuat dia itu dikeluarin dari sekolah. So, jangan nyuruh gue untuk stop rencana ini, oke?” Ujar Vanessa kemudian kembali masuk kedalam kamar itu. meninggalkan Ayunita yang kini dilanda dilema besar.
Flashback OFF
“Udah? Lo udah inget?” Vanessa kemudian menghela napas panjang, “jadi stop berlagak sok suci. Udahlah, gue cabut dulu. Males gue ngeladenin orang plin-plan kayak lo.” Ujar Vanessa kemudian pergi meninggalkan Ayunita yang tampak gusar.
Naura mengepalkan kedua tangannya. Ia tak percaya, ternyata sahabatnya sendiri telah mengkhianatinya. Sahabatnya sendiri ternyata turut ikut merencanakan hal buruk seperti ini. Naura kemudian berjalan menghampiri Ayunita yang kini duduk di kursi taman.
Ayunita spontan berdiri dan menatap Naura dengan keterkejutan yang luar biasa. Wajah Ayunita tampak pucat karena ketakutan. Merasa tak percaya dengan kehadiran Naura dihadapannya saat ini.
Belum sempat Ayunita berkata-kata, Naura dengan segera menampar keras Ayunita. Ayunita yang mendapat perlakuan seperti itu semakin dibuat terkejut. Kemudian menatap Naura yang kini menyorot benci padanya.
‘Kenapa? Kenapa kamu lakuin hal seperti ini sama aku?’ Tanya Naura dengan bahasa isyaratnya. Airmata turun membasahi kedua pipinya. Naura yang melihat kediaman Ayunita pun memegang bahu Ayunita, lalu mengguncangnya berkali-kali agar gadis itu mengatakan maksud dari segala tindakan keji yang dilakukan oleh Ayunita.
Ayunita yang tak tahan kemudian mendorong Naura agar gadis itu berhenti mengguncang dirinya. Mata Ayunita menyorot tajam. Mata mereka saling menunjukkan interaksi saling membenci.
“Lo mau tau ‘kan kenapa? Kenapa gue ngelakuin hal semacam ini?” Ayunita kemudian menunjuk kearah Naura, “Karena lo udah ngekhianati gue terlebih dahulu!” seru Ayunita dengan penuh amarah. Naura mengernyit bingung. Darimana asal kata ‘mengkhianati’ itu?
“Gue suka sama Kak Bayu, tapi lo tega-teganya jadian sama Kak Bayu.” Ujar Ayunita membuat Naura yang mendengarnya menegang seketika. Darimana Ayunita bisa mengetahui tentang hal itu? Bukankah hal itu hanya diketahui olehnya dan Bayu?
“Gue tau itu semua karena gue ngeliat sendiri semuanya dari awal sampe akhir.” Ujar Ayunita penuh penekanan. Naura terdiam. Tangan Naura yang gemetar tergerak ingin meraih tangan Ayunita. Ayunita dengan segera memundurkan tubuhnya.
“Gue bahkan bingung apa yang ngebuat Kak Bayu tertarik sama anak disabilitas kayak lo.” Ujar Ayunita membuat Naura menatap Ayunita dengan tatapan terkejut.
“Anak disabilitas kayak lo nggak pantes dapetin Kak Bayu!” Seru Ayunita dengan kejamnya. Naura mengepalkan kedua tangannya. Sudah cukup. Ia tidak ingin Ayunita menghinanya lagi. Ini penghinaan kejam yang tak pernah diduga akan ia dengar dari mulut sahabatnya.
Ayunita yang sadar ucapannya terlalu berlebihan, memejamkan matanya sesaat. Ayunita melangkah mendekati Naura. Naura mengkode ayunita agar berhenti dan jangan mendekatinya. Ayunita pun menghentikan langkahnya.
Naura menatap Ayunita dengan tajam. ‘Kalo memang kamu suka sama Kak Bayu, kenapa kamu nggak bilang sejak awal sama aku? Kenapa baru sekarang setelah semua yang terjadi sama aku?’
‘Karena aku anak disabilitas jadi aku nggak berhak dapatin cinta dari seorang yang normal?’ Ungkap Naura dengan bahasa isyaratnya. Napasnya menggebu saat mengungkapkannya. Ayunita yang melihatnya terdiam. Balasan yang menohok sekali.
‘Aku kecewa sama kamu.’ Naura kemudian pergi dari hadapan Ayunita. Ayunita sama sekali tidak berkutik saat melihat balasan Naura untuknya.
Ayunita menarik napas panjang, kemudian memilih bersikap tidak peduli. Lagipula, mulai besok gadis itu tidak ada lagi di sekolah ini. Ia akan kembali seperti biasa.
-ooo-
Naura masuk kedalam kamarnya dan menguncinya agar Daniar tidak bertanya lebih lanjut apa sebab tangisannya. Naura kemudian tersungkur jatuh dilantai sambil memeluk kedua lututnya. Naura berusaha berteriak, namun tidak bisa. Tangannya memukul-mukul daerah jantungnya yang kini terasa sakit. Sakit karena hinaan-hinaan yang diterimanya seharian ini disekolah.
Yang lebih menyakitkan adalah Ayunita ternyata berkhianat padanya. Ia tak menyangka orang yang dianggap sebagai sahabatnya itu malah turut melakukan hal yang membuatnya dikeluarkan dari sekolah. Hal lain yang baru diketahuinya adalah ternyata Ayunita juga menaruh hati pada Bayu.
“Gue bahkan bingung apa yang ngebuat Kak Bayu tertarik sama anak disabilitas kayak lo.” “Anak disabilitas kayak lo nggak pantes dapetin Kak Bayu!”
Tangisan Naura semakin deras. Sudah cukup. Penderitaan yang selama ini ditanggungnya sejak kecil sudah cukup. Ia sudah tak mampu lagi menahannya. Mungkin kematianlah jawabannya. Mungkin dengan kematian segala penderitaannya akan berakhir.
Naura menghapus airmata yang membasahi pipinya dengan kasar. Naura bangkit dari duduknya kemudian meraih sebuah buku bersampul hitam dan sebuah pena. Kemudian ia menuliskan sesuatu disana. Entah apa yang ditulisnya, kemudian ia membuka laci dan meraih sebuah pisau lipat.
Naura menarik napas dalam-dalam, kemudian menggoreskan pergelangan tangannya. Darah segar mulai keluar dari sana. Naura meringis menahan sakit. Sebentar lagi. Ia akan bertemu dengan Sang Pencipta.
“Selamat tinggal, semuanya.”
-ooo-
Waktu berlalu cepat. Hari mulai malam. Daniar yang baru siap memasak makan malam merasa heran dengan Naura yang tidak kunjung keluar dari kamarnya. Tak biasanya putrinya itu mengurung diri didalam kamar selama itu. Apakah sakit kepalanya terlalu parah sampai-sampai Naura tidak bisa beranjak dari tempat tidurnya? Daniar kemudian bergerak menuju ke kamar Naura. Tangan Daniar tergerak mengetuk pintu kamar Naura. Namun, pintu kamar tak kunjung dibuka. Daniar memutar kenop pintu Naura. Sayangnya, pintu itu dikunci dari dalam.
"Naura? Kok pintunya dikunci, nak?" Tanya Daniar mulai khawatir. Daniar mencoba berkali-kali memutar kenop pintu itu.
“Naura? Kamu gapapa ‘kan, nak?” Ujar Daniar mulai panik. Dengan pikiran yang kurang jernih, Daniar kemudian berusaha mendobrak pintu kamar itu walau bahunya terasa sakit. Akhirnya, pintu itu berhasil didobrak. Mata Daniar mendelik lebar saat melihat Naura terkapar dilantai dengan darah yang berceceran di lantai.
“NAURA!” Seru Daniar kencang kemudian meraih tubuh tak berdaya putrinya itu. Wajah putrinya tampak pucat pasi. Daniar menegang saat melihat pergelangan tangan Naura yang terluka. Daniar menggerakkan jari telunjuknya ke arah hidung Naura, memastikan bahwa putrinya itu masih bernapas. Daniar sama sekali tidak merasakan hembusan napas Naura. Daniar menggelengkan kepalanya. Tangannya kemudian tergerak memeriksa denyut nadi Naura. Airmata perlahan turun membasahi kedua pipinya. Kemudian memeluk erat putrinya itu.
“TIDAK!!” Teriak Daniar sambil menangis keras.
Naura sudah pergi dari dunia ini. Untuk selama-lamanya.
-ooo-