Bel masuk berbunyi menandakan kelas akan dimulai. Seluruh murid kembali duduk ditempat mereka masing-masing dan mengeluarkan buku yang akan mereka pelajari di jam pertama. Terkecuali Ayunita yang saat ini tampak sibuk dengan dunianya sendiri. Earphone terpasang dikedua lubang telinganya. Kepalanya tampak bergerak mengikuti alunan musik yang saat ini didengarnya.
Tampak guru mereka masuk kedalam kelas diikuti dengan sosok gadis cantik dibelakangnya. Seluruh murid tampak penasaran dengan kehadiran anak baru itu. Terkhusus dengan Ayunita yang secara tak sengaja matanya menangkap anak baru itu. Earphone ditelinganya ia lepaskan demi mencaritahu asal usul gadis itu.
“Pagi anak-anak.” sapa Ibu Franda dengan seluas senyum lembutnya. Seluruh murid membalas sapaan itu. Ibu Franda kemudian menepuk pundak anak gadis disebelahnya.
“Ayo, nak. Perkenalkan diri kamu.” ujar Ibu Franda yang dijawab anggukan oleh gadis itu. Perlahan gadis itu membuka tasnya, mengeluarkan buku besar dan membuka buku itu. Seluruh murid tampak heran dengan aksi gadis itu. Terlebih saat membaca tulisan di buku itu.
‘Salam kenal kepada kalian semua.’
Gadis itu kemudian membuka lembar selanjutnya.
‘Nama saya Naura Adipati. Saya pindahan dari SMA Pelita Harapan.’
“Eh, tunggu-tunggu. Kok lo nggak ngomong aja sih? Harus banget emangnya perkenalannya lewat kertas-kertas gitu?” tanya salah satu orang dikelas itu. Naura hanya terdiam. Memilih untuk membuka lembar selanjutnya.
‘Saya minta maaf jika perkenalannya dengan cara seperti ini.’
Naura kembali membuka lembar selanjutnya. Lembar selanjutnya membuat semua orang tampak terkejut saat membacanya. Begitu juga dengan Ayunita saat melihat tulisan yang tertera.
‘Saya anak disabilitas. Untuk itu, saya tidak bisa berkomunikasi secara normal seperti kalian.’
Naura kemudian membuka lembar selanjutnya.
‘Saya bisa mendengar kalian berbicara melalui alat bantu pendengaran saya. Tetapi untuk menjawab ucapan kalian, saya hanya bisa menggunakan bahasa isyarat atau perantara seperti buku ini.’
Naura kemudian membuka lembar selanjutnya.
‘Semoga keterbatasan saya ini tidak membuat kalian enggan berteman dengan saya.’
Naura kemudian menutup bukunya, lalu melemparkan senyum hangat kepada seluruh teman-teman dikelasnya. Ibu Franda menepuk pundak Naura. Naura menoleh, menatap gurunya itu sambil mengangguk kecil.
“Keterbatasan kamu tidak akan dipandang sebelah mata di sekolah ini. Ibu bangga kamu dengan berani mengambil langkah untuk tidak rendah diri atas kekurangan kamu.” Ibu Franda kemudian tersenyum, “Kalau begitu, kamu duduk disebelah gadis yang duduk sendirian ditengah itu.” ucap Ibu Franda kemudian Naura mengangguk dalam-dalam seolah mengucapkan terima kasih. Naura melangkah bergerak kesana, lalu duduk disebelah Ayunita yang tampak enggan bersebelahan dengan sosok anak disabilitas sepertinya.
Ayunita menghela napas pelan, kemudian mengeluarkan sepaket buku Bahasa Indonesia dan meletakkannya diatas meja. Saat ia barusaja meletakkan bukunya diatas meja, tampak selembar kertas kecil tertimpa dengan bukunya. Ayunita meraih kertas itu, kemudian membacanya.
‘Hai, salam kenal. Nama kamu siapa?’
Ayunita kemudian menoleh kearah Naura yang kini secara terang-terangan menatapnya. Seulas senyum tercetak diwajah Naura. Seolah menyapanya dengan ramah.
“Ayunita Rehagadi.” jawab Ayunita singkat, kemudian dibalas dengan senyuman cerah oleh Naura. Ayunita memilih bersikap tak acuh, kemudian memfokuskan dirinya pada pelajaran yang sedang berlangsung. Naura yang melihat sikap tak acuh Ayunita hanya mengangguk paham. Ia yakin, Ayunita perlahan akan bisa menerimanya sebagai seorang teman.
-ooo-
Bel istirahat berbunyi. Seluruh murid kelas Xi.1 MIPA tampak menghela napas lega setelah merasa cukup ‘disiksa’ dengan pelajaran Fisika selama 2 jam.
“Jangan lupa PR-nya minggu depan dikumpul.” ujar Pak Bagas lalu keluar dari ruangan kelas itu. Ayunita menyimpan kembali peralatan belajarnya didalam tas. Setelah membereskannya, Ayunita bangkit dari duduknya dan keluar dari kelas.
Naura yang melihatnya segera mengeluarkan kotak makannya, tak lupa dengan notebook kecil yang menggantung dilehernya dan sebuah pena. Kemudian ia berlari kecil mengikuti Ayunita dari belakang yang entah mau kemana.
Naura terus mengikuti sampai akhirnya Ayunita menghentikan langkahnya. Naura reflek juga menghentikan langkahnya. Ayunita kemudian membalikkan tubuhnya, lalu menghela napas panjang.
“Kenapa lo ngikutin gue?” tanya Ayunita dengan tatapan menyorot tak suka. Naura meraih notebook yang menggantung dilehernya, lalu menuliskan sesuatu. Kemudian mengoyakkannya dan menyerahkannya kepada Ayunita. Ayunita menerimanya, lalu membacanya.
‘Aku nggak kenal sama siapapun selain kamu.’
Ayunita mendengus kesal. “Kenalan aja sama yang lain. Mereka nggak bakalan ngehina lo. Kalo mereka ngehina lo, lo tinggal lapor ke guru-guru. Simple ‘kan?” Ujar Ayunita kemudian melanjutkan langkahnya.
Naura menatap kepergian Ayunita dengan tatapan sedih. Naura menghela napas pelan, kemudian memegang erat kotak makan yang ada ditangannya. Sepertinya sampai kapanpun ia tidak akan mendapatkan sosok teman.
Ayunita tampak berbelok ke sebelah kiri, kemudian tiba-tiba ia jatuh terduduk. Naura yang melihatnya tampak terkejut. Sekelompok anak sekolah dengan angkuhnya datang mengelilingi Ayunita. Dua perempuan dan dua laki-laki. Ayunita bangkit dari jatuhnya, kemudian hendak pergi. Namun dihalang oleh salah satu dari mereka. Mereka menyudutkan Ayunita. Entah apa yang dibicarakan oleh mereka, membuat salah satu gadis dari sekelompok orang itu marah dan menampar pipi Ayunita.
Naura kemudian berlari kecil menghampiri Ayunita yang kini tampak ingin disiksa. Naura mendorong gadis itu agar melepas cengkeramannya pada pipi Ayunita. Naura menatap galak kearah gadis itu dan meminta mereka berempat untuk pergi dengan menggunakan bahasa isyarat. Mereka yang melihatnya tampak tertawa.
“Lo anak disabilitas ya? Kasihan banget.” ujar gadis itu bernama Vanessa Elliot sambil menatap rendah kearah Naura. Naura kemudian menulis sesuatu pada notebook-nya, kemudian mengoyakkannya dan menyerahkannya kepada gadis sombong itu.
Gadis itu mendengus geli, “Kertas apaan sih? Lo nulis apaan?” ujar Vanessa kemudian menarik kertas kecil itu. Raut wajahnya seketika berubah saat membaca tulisan dikertas itu. Matanya menyorot marah kearah Naura yang kini tersenyum miring kearahnya. Naura kemudian menarik tangan Ayunita agar pergi dari situ.
“Napa sih, Van? Emang anak cacat tuh nulis apaan?” ujar Farrel Renggana tampak bingung dengan kediaman Vanessa. Vanessa menyerahkan kertas itu kepada Farrel. Farrel dan kedua temannya membaca tulisan itu dengan raut wajah terkejut.
‘Anak disabilitas seperti saya enggak butuh rasa kasihan dari orang angkuh seperti kamu.’
“Wah, cari perkara tuh anak cacat sama kita.” ujar Fajar Kennedy tampak tak senang membaca tulisan itu.
Vanessa menngepalkan kedua tangannya, “Lo tenang aja. Dia jual, gue beli. Dia cari perkara, gue tanggepi.” Ujar Vanessa lalu berbalik menatap ketiga temannya.
“Lo mau gimana, Van? Kita siap ngelakuin apapun.” ujar Lolita Lauren membuat senyum miring tercetak diwajah Vanessa.
“Kita mainkan ‘sesuatu’ biar anak cacat itu keluar dari sekolah ini.” ujar Vanessa membuat ketiga temannya mengangguk paham.
“Lo berurusan dengan orang yang salah, anak cacat.” gumam Vanessa sambil menyeringai licik.
-ooo-
Ayunita menghempas tangan Naura yang memegang tangannya. Naura yang mendapat tindakan seperti itu tampak terkejut, kemudian menatap Ayunita seolah bertanya ‘kenapa’.
“Kenapa lo nolongin gue?” tanya Ayunita dengan wajah kesal. Naura mengernyit bingung, lalu menulis sesuatu pada notebook-nya, mengoyaknya dan menyerahkannya kepada Ayunita. Ayunita membaca tulisan itu.
‘Aku nggak mau kamu diperlakuin sekasar itu sama mereka. Karena kamu itu teman pertama aku.’
Ayunita kemudian meremas kertas itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. “Gue nggak butuh rasa kasihan lo. Dan juga, gue bukan temen lo. Jadi jangan pernah nganggep gue sebagai temen lo.” ujar Ayunita dengan tajamnya, lalu berjalan memasuki kamar mandi.
Naura menggigit bibir bawahnya. Ucapan Ayunita benar-benar begitu menyakitkan. Ia tak percaya Ayunita bisa mengatakan kata-kata tajam itu padanya. Naura menarik napas dalam-dalam, kemudian berlari kecil menuju ke kelasnya.
Sementara itu, Ayunita mengunci dirinya di salah satu toilet. Ia menghela napas pelan kala mengingat kata-katanya yang cukup kasar kepada Naura. Ia hanya tak suka oranglain terlibat masalah dengan ‘mantan temannya’ itu.
Mantan teman? Ya, Ayunita dulu sempat berteman dengan mereka. Namun, mereka tampak menuntunnya ke jalan yang salah. Mereka seringkali mengajaknya ke diskotik, minum minuman beralkohol, dan juga mem-bully anak-anak sekolah lainnya, terkhusus adik kelas mereka. Untuk itu, Ayunita memutuskan untuk memutuskan hubungan pertemanannya dengan mereka. Mereka yang merasa tak terima, menjadikan dirinya sekarang sasaran bully-an yang tepat.
Ia jelas tahu apa yang akan dilakukan ‘mantan temannya’ itu jika sampai ada yang mencari perkara dengan mereka. Dengan sikap Naura yang menolongnya tadi, tampaknya mereka akan menjadikan Naura sebagai sasaran bullying selanjutnya.
Dan Ayunita harus menghindari hal itu terjadi pada gadis malang itu.
-ooo-
Ayunita melirik gadis disebelahnya yang tampak diam dan hanya fokus menatap guru yang kini menjelaskan. Didalam hati Ayunita, terbesit rasa bersalah karena sudah mengatakan hal-hal yang cukup kasar. Ayunita kemudian menuliskan sesuatu didalam sebuah kertas, lalu meletakkannya diatas buku Naura. Naura tampak bingung, kemudian membaca isi dari kertas itu.
‘Maaf buat kata-kata gue yang mungkin menyinggung hati lo. Gue cuma nggak mau lo terlibat masalah sama orang kayak mereka. Cukup gue yang jadi korban bullying, jangan sampai lo yang jadi korban.’
Setelah membaca isi kertas itu, Naura menoleh kearah Ayunita yang kini sibuk mencatat catatan yang tertulis di papan tulis. Naura perlahan tersenyum, kemudian melanjutkan kegiatannya mencatat catatan.
“Kalau sudah siap, bawa kedepan biar Ibu paraf.” Ujar Ibu Herlina yang dijawab serempak oleh seluruh murid.
Naura menyerahkan kembali kertas itu pada Ayunita, kemudian bangkit dari duduknya sambil membawa catatannya. Ayunita membaca balasan dari Naura.
‘Aku udah maafin kamu sebelum kamu minta maaf. Makasih udah peduli sama aku.’
Ayunita kemudian menatap punggung Naura yang semakin menjauh. Seulas senyum tercetak diwajah cantiknya.
“Gue yang ucapin makasih sama lo. Lo orang yang baik.” gumam Ayunita kemudian melanjutkan kegiatannya mencatat catatan.
-ooo-
Ayunita memasukkan peralatan belajarnya didalam tasnya saat mendengar bel pulang sekolah berbunyi. Ayunita kemudian melirik Naura yang kini berdiri tampak seperti menunggu.
“Lo nggak pulang?” tanya Ayunita membuat tangan Naura tergerak menulis sesuatu pada notebook-nya, lalu menyerahkannya kepada Ayunita.
‘Aku nungguin kamu. Aku takut kamu diganggu lagi sama mereka.’
Ayunita samar-samar tersenyum saat membacanya. Tak menyangka ada orang yang sebegitu pedulinya dengannya. Selama ini, ia tidak pernah dipedulikan. Bahkan untuk dikelas, ia tidak memiliki seorang teman karena sikap buruknya dulu saat berteman dengan mereka.
“Oke. Kita pulang bareng kalo gitu.” ujar Ayunita kemudian berjalan beriringan dengan Naura. Naura tampak senang, kemudian memamerkan senyum terbaiknya.
“Lo dijemput atau pulang sendiri?” tanya Ayunita kepada Naura. Naura kembali menulis pada notebook-nya, lalu mengoyakkannya dan menyerahkannya pada Ayunita.
‘Dijemput sama Mama. Kalau kamu?’
“Gue pulang sendiri.” jawab Ayunita, lalu kembali berucap, “Gue salut sama sikap lo yang nolongin gue tadi.” ujar Ayunita membuat Naura menatapnya tak percaya.
“Iya, gue salut. Nggak nyangka ada orang seberani lo ngelawan orang kayak mereka.” ujar Ayunita lalu menatap Naura dengan tersenyum.
“Thanks udah mau peduli sama kehidupan gue.” Ucap Ayunita lagi, yang dijawab anggukan oleh Naura, tak lupa dengan senyum hangatnya.
Tak terasa, mereka sudah berada digerbang sekolah. Naura menuliskan sesuatu pada notebook-nya. Kali ini Naura tidak mengoyaknya, ia hanya membalikkan posisinya hingga menghadap Ayunita. Ayunita membacanya.
‘Kalau kamu enggak keberatan, aku boleh minta nomor handphone kamu?’
Ayunita meraih pena yang digenggam Naura, lalu menuliskan angka-angka yang merupakan nomor handphone-nya. Ayunita kemudian mengembalikan pena milik Naura. Naura membalikkan notebook-nya, lalu tersenyum cerah kala melihat ada deretan angka-angka di notebook-nya itu.
“TIN-TIN”
Baik Naura atau Ayunita segera menoleh ke arah sumber suara. Tampak sebuah mobil hitam berhenti didepan mereka. Perlahan kaca bagian pengemudi turun dan menampilkan wajah seorang wanita paruh baya yang tampak tersenyum ramah kearah Ayunita. Ayunita mengangguk sopan, tak lupa membalas senyum ramah wanita itu.
“Naura, ayo masuk.” ujar Wanita paruh baya itu, dijawab anggukan oleh Naura. Naura menatap Ayunita, lalu menulis sesuatu pada notebook-nya. Lalu membalikkannya hingga menghadap Ayunita.
‘Kamu enggak mau pulang bareng aja sama aku?’
Ayunita menggeleng, “Nggak usah. Gue bisa sendiri kok.” tolak Ayunita secara halus. Naura mengangguk paham, lalu berjalan masuk kedalam mobil. Naura melambaikan tangannya kearah Ayunita sebagai salam perpisahan. Ayunita hanya mengangguk sebagai balasan dari lambaian tangan Naura. Perlahan mobil hitam itu melaju sedang pergi dari hadapannya. Ayunita menatap kepergian Naura dengan tatapan sedih.
“Mama ..” gumam Ayunita lalu memandang langit siang yang cukup menyilaukan mata. “Ayu kangen.” lanjutnya lalu menarik napas dalam-dalam. Perlahan kakinya melangkah meninggalkan sekolah menuju ke rumahnya.
-ooo-
“Gadis itu tadi siapa?” tanya Daniar Ratnawati, Ibu kandung Naura. Naura menoleh, lalu menjawab Ibunya dengan menggunakan bahasa isyarat.
‘Temen baru Naura di sekolah. Namanya Ayunita Rehagadi.’
Daniar mengangguk mengerti. “Gimana sekolahnya? Nggak ada yang nge-bully kamu ‘kan?” tanya Daniar lagi. Naura kembali menjawab dengan menggunakan bahasa isyarat.
‘Mama tenang aja. Kali ini, mama pilih sekolah yang tepat buat Naura.’
Daniar yang melihatnya tersenyum lega. Akhirnya, anaknya yang memiliki keterbatasan itu bisa diterima dengan baik di sekolah itu. Sejak dulu, Naura selalu diejek oleh teman-temannya karena keterbatasannya. Naura selalu menangis sehabis pulang sekolah. Menceritakan dalam bahasa isyarat betapa nakalnya teman-temannya menghina dirinya yang tidak bisa berbicara seperti mereka. Kali ini, Naura tampak berbeda. Wajahnya tampak ceria sekali. Dan itu merupakan kebahagiaan terbesarnya sebagai seorang Ibu.
-ooo-