Saat jam istirahat, terkadang aku memilih untuk duduk diujung taman dekat tembok sekolah yang menjulang tinggi. Aku mencoba memikirkan berbagai kejadian beruntun selama beberapa hari ini. Dimulai dari aku yang mencurigai Hana, lalu beralih mencurigai Acher, serta kejadian Abid yang mencuri ipad milik Siti. Beberapa teman masih menganggap bahwa abid-lah yang selama ini mencuri barang-barang di kelas. Tetapi aku tidak yakin kalau Abid pelakunya. Bukankah ia juga kehilangan album perangkonya?
Aku mulai memutar otak. Jalan pikiranku kembali teralih pada tanah liat yang melekat di lantai dan sisa-sisa tanah yang berada di atas meja Abid. Jika itu bisa dijadikan bukti, maka aku tahu siapa orang yang telah mencuri album perangko itu! Tetapi aku masih ragu kalau menebak orang itu yang melakukannya. Pasalnya orang itu merupakan seorang gadis yang tidak pernah terlihat terlalu aktif dan bersikap berlebihan. Aku masih tidak dapat mempercayai dugaan yang kupikirkan sedari tadi.
‘Srek.. sreekk...srehgk,’ wajahku langsung memucat. Ada suara yang berisik di belakangku. Tengkukku langsung bergetar. Masa’ di siang bolong begini, ada suster ngesot?!? Hii... aku langsung berbalik kebelakang secepat kilat. Kubuka mataku perlahan.
“Lina, kamu.. ngapain?!?” kulihat cewek berambut panjang yang tergerai di depan wajahnya langsung berdiri tegak dengan peluh keringat. Kedua tangannya yang kotor langsung disembunyikan kebelakang. Tampaknya dia sehabis menimbun sesuatu.
“Jadi.. selama ini kamu menanam biji kacang hijau disini! Waa.. kamu rajin banget sih!” kataku sembari tersenyum ramah padanya. Lina masih berwajah kikuk dengan senyuman terpaksa. Setiap sehabis jam istirahat, aku selalu melihatnya berlarian untuk mencuci tangannya di toilet. Katanya sih, dia menanam biji kacang hijau di suatu tempat. Tetapi yang membuatku heran, kenapa dia hobi banget menanam kacang hijau yang hampir setiap hari dilakukannya. Akhirnya, aku tahu dimana dia menanam biji-biji tersebut.
“Aku.. iya. Disini.. kan enak kalau kita melestarikan kecam.. bah,” jawabnya kemudian. Prinsip yang aneh. Kulongokkan kepala untuk melihat hasil biji-biji yang sudah tumbuh. Akan tetapi nihil, yang ada hanya timbunan tanah. Aku menatap heran padanya.
“Dimana kecambahnya? Kok nggak ada?” kulihat Lina mulai mengalihkan pandangan kemana-mana. Aku menunggu jawabannya yang menurutku serasa di pengadilan.
“Anu.. yang kemarin mati, lalu aku tanam lagi.. mungkin kemarin terinjak sama orang,” lalu dia menghindari pandanganku dan segera berlalu. Dia tampak ketakutan. Kuamati gundukan tanah yang ditimbunnya. Menanam biji kok seperti gundukan begini. Masa’ biji kacang hijau sebesar biji milik Jack yang akan tumbuh dan menjulang sampai ke atas dan menemukan istana raksasa jahat. Aih, khayalanku terlalu berlebihan.
Aku mencoba mendekati gundukan tersebut, lalu menggosokkan kakiku di atas tanah tersebut. Rasanya agak keras dan semakin lama mulai muncul sesuatu. What is that?! Kutengok kanan dan kiri, setelah aman tidak ada yang melihat ke arah sini, aku langsung mengambil posisi berjongkok dan mengais-ngais gundukan tanah tersebut. Aku langsung tercekat apa yang barusan kutemukan. Charger.. handphone?! Lalu aku mencoba mengeluarkan tanah yang rupanya didalamnya terdapat sebuah lubang yang dalam. Setelah berada dititik akhir, aku langsung terduduk dengan nafas tidak beraturan. Setelah sadar, aku kembali berjongkok dan mulai melihat sesuatu yang berada didalam lubang tersebut. Wajahku langsung pucat pasi.
Charger-charger, deodoran, bolpoin yang hanya bermerek fastor, kunci, kotak pensil, album perangko, berbagai kaos kaki yang hanya satu buah dan bau busuknya amit-amit. Tidak hanya itu, aku juga menemukan dompet bu Nurma yang pada waktu itu tertinggal di kelas kami. Aku yakin dompet ini pasti milik bu Nurma, berbentuk persegi panjang dan bermotif macan kecoklatan. Kubuka isi dompet tersebut, ternyata uangnya masih berjumlah banyak. Jadi.. selama ini.. Lina-lah pelakunya! Ternyata dugaanku tidak salah! Rupanya selama ini dia biang keladinya, yang selama ini mencemarkan nama baik kelas kami. Akan tetapi, buat apa barang-barang ini semua jika tidak dia pergunakan dengan hal yang penting?! Seperti digadaikan atau sesuatu yang kriminal misalnya. Kenapa harus ditimbun didalam tanah?!?!
“Mar, kamu... barang-barang itu??!” belum selesai membongkar kasus Lina, diriku dikejutkan oleh suara yang kukenal. Aku langsung berbalik dan melihat teman sekelasku, Woka sedang berdiri dengan ekspresi kaget. Aku baru menyadari bahwa gadis itu sudah sedari tadi membaca buku di tempat ini. Apa aku tertangkap basah? Bukan! Seharusnya Lina-lah yang berada disini. Bukan aku! Aku langsung berdiri dengan langkah gontai dihadapannya. Aku berusaha berbicara, namun lidahku tampak kelu.
“Dompet itu kan milik bu Nurma. Deodoran, charger dan semuanya itu kan milik anak-anak di kelas kita! Ternyata... selama ini, kamu, mar! Ini nggak bisa dibiarkan. Aku hampir nggak percaya! Aku harus melaporkan hal ini pada bu Nurma!” sahutnya bertubi-tubi. Lantas berbalik dan berlari-lari kecil dengan wajah penuh amarah. Aku hanya terdiam dengan perasaan yang kacau. Kenapa aku diposisi ini?! Kenapa?!! Bukan aku pelakunya.. bukan aku!!!!!!!
***
Suasana ini benar-benar serasa disidang. Budi dan Cepot segera menarikku masuk ke dalam kelas secara paksa. Pintu kelas segera ditutup agar tidak terlihat berisik dari luar. Bu Nurma duduk di kursi dan teman-temanku lainnya sedang bergerombol dengan tatapan sinis. Aku dipersilakan duduk oleh bu Nurma yang kursinya berhadapan dengan beliau dan hanya berjarak beberapa jengkal. Teman-temanku mulai menyorakiku penuh amarah seolah-olah memandang kancil yang tertangkap basah sehabis mencuri timun. Wajahku tertunduk malu.
“Kenapa kamu melakukan ini, mar? Mencuri bukanlah perbuatan yang baik,” ucap bu Nurma yang berusaha bijak dalam setiap tutur katanya. Mau tidak mau, aku langsung bangkit. Aku tidak ingin dipersalahkan terus-menerus.
“Bukan aku yang salah, bu! Aku yang menemukan bukti..,”
“Amar, kamu harus jujur! Daripada nanti kamu di sate sama teman-teman. Nanti kamu baru tahu rasa ya!” pembelaanku langsung dipotong oleh Adira. Tiba-tiba Yoga dan Hana datang menghampiriku.
“Bukan Amar pelakunya!” seru Yoga.
“Tidak mungkin kalau Amar yang mencuri,” Hana ikut-ikutan berbicara untuk membelaku. “Kami bertiga juga sudah berusaha mencari jejak pencuri itu. Tapi bukan Amar pelakunya!”
Kemudian suara di kelas semakin gaduh. Bu Nurma menyuruh teman-teman untuk diam. Tetapi suara mereka malah semakin keras. Ruangan kelasku pun menjadi ramai. Aku nggak boleh kalah suara!
“Aku memergoki Lina tadi disana, bu! Setelah itu, aku menemukan bukti-bukti itu. Berhari-hari dia beralasan menanam biji kacang hijau di suatu tempat. Tangannya.. tangannya selalu belepotan tanah. Ya! Anak-anak juga sering memergoki kelakuannya. Saya mohon bu, percayalah pada saya. Saya mohon, bu, bukan saya pelakunya.. tapi Lina!” aku bersikeras untuk mengatakan bahwa semua ini bukan kesalahanku, berharap semua percaya padaku.
“Lina.. mana Lina...,” bu Nurma berusaha mencari cewek berambut panjang yang seringkali tergerai di depan wajahnya dibalik gerombolan murid-muridnya. Aku dan teman-teman mulai melihat di sekeliling ruangan. Namun yang dipanggil, seakan tidak mendengar.
“Bu, tadi Lina berada disebelahku,” Diara langsung bergidik ngeri. Anak-anak mulai menjerit ketakutan. Apa mereka kira Lina itu semacam makhluk halus?
“Tenang, tenang! Anak-anak, mungkin dia keluar kelas. Lihat saja, pintunya terbuka sebelah,” mata mereka langsung menghadap ke arah pintu depan. Memang benar, pintu depan terbuka setengah. Teman-teman langsung menghembuskan nafas lega.
“Selama ini, apa kalian melihatnya membawa sesuatu?” tanya bu Nurma mulai curiga.
“Saya, Nouval dan Badrun seringkali melihatnya berlari dengan tangan yang kotor, seperti sehabis mengais-ngais tanah,” ujar Holand kemudian. Tunggu! Aku tahu dia pergi kemana!
“Bu, saya tahu dimana dia sekarang!” aku langsung berlari-lari kecil, diikuti oleh bu Nurma dan anak-anak lainnya menuju belakang taman sekolah. Tak lama kemudian, terlihat pak Burhan yang biasanya merawat tanaman sekolah di taman sedang lari terbirit-birit. Bu Lina langsung menghampirinya. Begitu pula dengan aku dan yang lainnya.
“Ada apa, pak?!” bu Nurma memegang pundak pak Burhan yang tampak bergetar hebat.
“Saya melihat seorang siswi.. atau bukan, saya nggak tahu lebih jelasnya, kayak kuntilanak.. nggak kelihatan mukanya, pokoknya nangis di depan lubang!!!!” setelah mendengar pengakuan pak Burhan, bu Nurma meminta beliau untuk menunjukkan dimana keberadaan siswa tersebut. Ternyata bapaknya menunjuk dan berjalan ke arah dimana tempatku menggali lubang tadi. Dengan hati-hati, aku, bu Nurma dan yang lainnya melangkah nyaris tanpa suara. Terlihat seorang siswa perempuan yang wajahnya tertutup oleh rambut panjangnya sedang memeluk barang-barang dan menangis hebat. Kami semua langsung mengenalinya. “Lina.....!!!!!!!!!!!!!”
“Haaa.... jangan ambil! Bukan saya! Saya hanya sayang sama barang ini!” semua mata terpana, sesaat setelah menghentikan langkah masing-masing. Lina tampak begitu kacau. Wajahnya, seragamnya, lututnya tampak belepotan tanah. Barang-barang yang tadi kutemukan, sekarang dipeluknya dengan sangat erat. Semua tampak begitu ketakutan dan menunggu reaksi wali kelasnya. Bu Nurma mengangkat alis sebelahnya.
“Kalau kamu sayang sama barang itu, lebih baik kamu bawa pulang,” ucap beliau yang kembali dengan wajah tenangnya. Kenapa beliau tampak santai disaat-saat begini?
“Bolehkah?” kedua mata Lina langsung berbinar-binar. Dengan langkah riang, dia bersenandung kecil melewati kami dengan membawa barang-barang tersebut, menganggap kami seolah-olah tidak ada disekitarnya. Bu Nurma langsung menyenggol bahu pak Burhan, memberi sinyal pada matanya. Dengan sigap, beliau menangkap Lina dan mencengkeram tangan yang berusaha memberontak. Barang-barangnya pun berjatuhan. Aku, Yoga dan Samuel yang bertubuh agak besar langsung membantu pak Burhan dan mengangkat tangan, tubuh, kaki Lina. Lalu atas perintah bu Nurma, kami menggotong Lina menuju ruang BK. Setelah itu, entah apa yang terjadi. Yang aku tahu, orang tuanya datang dan menenangkannya dengan obat yang mereka bawa. Lalu membawanya pulang ketika terlelap tidur, mungkin reaksi obat yang diminumnya. Kemudian seluruh siswa di sekolah hiruk pikuk, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Hana ingin angkat bicara, namun kucubit sikutnya untuk tidak mengatakan apapun tentang Lina. Sedangkan aku merasa lega karena masalah pencurian telah terbongkar dan nama baik kelas kami akan kembali mengambang ke atas permukaan. Kembali megingat tentang Lina. Mengapa dia berlaku seperti orang berkelainan jiwa? Aku ingin mengetahui keadaannya sekarang....
***
“Lina mengalami gangguan sejenis kleptomania,” ucap bu Nurma sebelum memulai pelajaran Matematika di kelas kami. “Orang yang mengalami gangguan tersebut seperti berkeinginan memiliki barang orang lain, walaupun nantinya tidak dipergunakan untuk apapun,” kata beliau lagi.
“Jadi, kemarin ibu menyadarinya?” Nouval memberanikan untuk bertanya.
“Kemarin itu ibu baru sepintas merasa jika dia mengalami sindrom tertentu, entah itu apa. Tapi satu hal yang harus dilakukan jika kita berada diposisi itu adalah menuruti dahulu kemauanya dan membuatnya untuk tenang. Ibu baru tahu setelah ayah Lina menemui ibu tadi pagi. Ibu harap ini hanya menjadi rahasia kita sekelas. Ibu tidak ingin jika Lina masuk sekolah nanti, semua anak disini maupun dikelas lain bersikap menjauhinya. Dia masih dalam pengobatan penyembuhan. Kalian mengerti kan?” aku dan teman-teman langsung mengangguk-anggukkan kepala, berjanji dari hati ke hati untuk menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Akan tetapi, aku penasaran sekali. Mungkinkah Lina hanya berkutat pada sosok kleptomania saja? Walaupun mereka menganggap Lina baik-baik saja, akan tetapi kemarin dia tampak lebih dari tidak baik-baik saja. Kupikir pasti jiwanya juga agak terganggu dan terguncang akan kejadian kemarin. Kuharap Lina lekas sembuh.
“Jadi hari ini Lina dalam pengobatan penyembuhan. Yaa.. bangku disebelahku kosong dong!” sahut Diara, teman sebangku Lina dengan wajah cemberut.
“Hiii... hati-hati ya, ntar ada kuntilanak nongkrong disebelahmu, kikikiii,” kugoda Diara dengan suara bergetar. Anak-anak pun juga ikut menggodanya, Diara bertambah risih sembari cemberut memalingkan muka. Bu Nurma menenangkan kegaduhan yang terjadi.
“Sudah, sudah.. sekarang kita lanjutkan soal kemarin halaman berapa?” bu Nurma langsung bangkit dan mengambil spidol di depan papan tulis. Tiba-tiba, kami dikejutkan oleh suara ketukan pintu yang tertutup. Seketika suasana menjadi hening. Bu Nurma agak tegang, kemudian memberanikan diri untuk berucap, “Siapa? Masuk saja,”
Pintu pun terbuka secara perlahan dan cahaya dari luar mulai menerangi. Tampak seorang cewek yang wajahnya ditutupi dengan beberapa helai rambut panjangnya. Seragamnya tak lagi bersih, sangat kontras dengan kecoklatan bekas tanah. Begitu pula dengan kedua tangannya yang sedang memegang gagang pintu, tampak kotor dengan tanah. Spontan kami langsung mengenalinya.
“Bu, maaf saya terlambat,” kami langsung bergidik ngeri. “Sekarang saya sudah sembuh dan saya sangat berterima kasih pada ibu dan teman-teman. Saya... ingin memberikan bu Nurma sebuah hadiah untuk berkaca setiap hari,” dikeluarkannya sesuatu dari tas pinggangnya. Lantas, dia memegang pisau daging yang mengkilat sembari meringis liar. Aku, bu Nurma, maupun yang lainnya langsung tercekat.
“GYAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA.............,”
TAMAT