Mengingat seseorang itu mudah, tapi mempertahankannya agar tetap dalam ingatan itulah yang sulit.
Sudah lewat tengah malam, namun Kafa masih saja terfokus pada lembaran kertas yang berisi data-data pribadi para mahasiswi. Sebenarnya memeriksa data pribadi ini bukanlah sebuah tugas dari atasannya, melainkan karena rasa penasaran Kafa yang memaksa ingin di puaskan.
“Kenapa tadi ngga nanya kelas mananya yah...bikin repot aja” ucapnya, sembari sesekali menyeruput kopi hitam yang masih mengepulkan asapnya. Ini sudah gelas kelima yang dia minum, bahkan sekotak martabak rasa keju pun sudah habis tak tersisa.
Kafa mengacak rambutnya frustasi, karena apa yang dia inginkan belum juga ia temukan.
“Susah banget sih nemuin satu data mahasiswi doang. Kenapa juga yang keinget cuma nama lengkap dia doang” gerutunya sembari menghempaskan diri ke ranjang, dan membiarkan tumpukan kertas itu berserakan.
Mata Kafa sudah tak sanggup lagi untuk tetap terbuka, dia termasuk ke dalam ayam negeri atau dengan kata lain dia itu mudah untuk jatuh sakit. Dan malam itu pertamakalinya seorang Kafa Almi Xavier menyerah. Dia memilih untuk tertidur.
°°°°°
Pagi ini Kafa sampai di kampus dengan kondisi yang sangat buruk. Dengan seperangkat mata yang memerah, lingkaran hitam di bawah mata, keringat yang selalu keluar karena perutnya terasa tidak baik setelah menenggak 5 gelas kopi hitam, bibir yang pucat, beserta rasa pening yang sedari tadi menyiksanya.
“Pak Kafa sakit?” Tanya Nia, rekan kerja satu profesi yang selalu saja menempel pada Kafa.
Kafa tersenyum sesopan mungkin, sebenarnya dia cukup muak dengan sifat cari perhatian yang Nia tunjukan padanya.
“Perut saya bermasalah” jawab Kafa seadanya.
Nia mendekatkan dirinya ke arah Kafa, dengan lancang dia menyentuh kening Kafa bermaksud mengelap keringat di dahi Kafa “ Kok bisa sampai begini sih pak. Apa karena tugas yang di kasih pak rektor untuk memeriksa seluruh data mahasiswi?”
Kafa tersenyum kikuk sembari menyingkirkan tangan dosen centil satu itu, karena sebenarnya alasan yang Kafa buat saat membawa data mahasiswi itu merupakan karangan belaka. Terlebih lagi dia cukup berani menyertakan nama rektor sebagai alibinya.
“Saya permisi dulu” ucap Kafa berusaha untuk menghindari Nia, sekalian ingin mampir ke toilet dosen karena perutnya yang mulai bergejolak.
Kafa berjalan melewati beberapa kelas, karena toilet dosen yang berada tepat setelah ruang rektorat di paling ujung.
“Selamat pagi dosen kesayangan!!” sapa Syaqila, ketika berpapasan dengan Kafa di depan ruang rektorat.
Kafa tidak menanggapi, karena kebetulan dia tak berniat untuk menetap di sana, dia hanya sekedar lewat karena tujuan utamanya adalah toilet.
“Emang jodoh ngga kemana. Baru aja saya mau panggil bapak buat menghadap ke rektor”
Kafa akhirnya menghentikan langkahnya, lalu melangkah mundur ke belakang agar sejajar dengan Syaqila, gadis yang membuatnya memiliki kondisi seburuk ini.
“Pak Kafa ayo dong lanjut jalan, ngapain juga perduliin mahasiswi kurang kerjaan sih”
Kafa terkejut dan sontak menoleh ke samping tubuhnya, dan dia mendapati seorang vertebrata tengah bergelayut manja di lengannya.
“Sopan dikit Nia” ucap Kafa cukup tegas, dan penuh penekanan.
Setelah mendapatkan sisi lain dari Kafa, akhirnya Nia pergi dengan wajah masam. Syaqila yang melihat kejadian itu hanya bisa memberikan tatapan miris, sedangkan Kafa langsung beralih menatap Syaqila yang masih setia berdiri di depan pintu rektorat.
Mata Kafa memperhatikan keseluruhan dari Syaqila, dia melihat jika di tangan Syaqila terdapat sebuah makalah dengan judul Teorema Pythagoras.
“Kamu ngapain ke ruang rektor bawa tugas dari saya? bukannya ke ruangan saya” protesnya.
Syaqila tersenyum “Saya tadi habis minta restu ke pak rektor karena saya mau menyerahkan tugas yang di berikan pak Kafa tapi di luar jam pelajaran” ucapnya enteng.
Kafa terkejut bukan main “Jangan bilang kalau karena kamu saya jadi di panggil rektor”
Syaqila mengangguk “Oke saya ngga akan bilang kalau bapak di cari rektor karena sudah membully mahasiswinya”
Kafa menggeram “Kamu!”
Syaqila yang mendapat sinyal tanda bahaya pun dengan segera menyerahkan makalah itu kepada Kafa lalu berlari meninggalkan Kafa yang telah tersulut emosinya.
Dan pada akhirnya di sinilah Kafa, di situasi yang paling dia hindari selama ini. Jika sudah seperti ini rasanya lantai ruang rektor jauh lebih menarik di bandingkan harus bertatap muka langsung dengan atasannya itu. Bukan karena dia takut akan di tegur atau di pecat. Tapi...
“Haha. Akhirnya anak papi tertarik juga sama perempuan”
Ya, karena rektor kampus tempatnya mengajar adalah ayahnya sendiri. Seorang ayah yang sudah mendambakan seorang cucu. Padahal Kafa masih terbilang muda, dengan umurnya yang masih 23 tahun. Kafa memang laki-laki yang super jenius, di usianya yang sekarang dia sudah menjadi dosen dan sedang melanjutkan pendidikan S3 nya.
Kafa meringis “Maksud papi apa sih”
Xavier yang tidak lain adalah ayah kandung dari Kafa terkekeh, dia menepuk bahu anaknya dengan cukup kuat “Papi setuju-setuju aja kok. Akhirnya papi tahu juga kalau ternyata dia yang membuat kamu memakai nama papi untuk melihat data mahasiswi”
Kafa yang tertangkap basah pun hanya bisa tersenyum kikuk, tapi jujur saja tujuannya bukan ke arah sana. Ini murni karena Kafa hanya ingin mengerjai dan mendidik mahasiswi anehnya itu supaya menjadi normal.
“Nanti malam ajak dia makan malam di rumah, biar ketemu ibu dan papi” putus Xavier, yang membuat Kafa meringis membayangkan bagaimana jadinya nanti. Lagipula Kafa juga bingung bagaimana caranya dia bisa mengajak Syaqila untuk menemui kedua orangtuanya.