Pangeran dan Leya telah menanti mereka berempat di depan cermin besar yang ada di depannya. Mereka berdua melihat cermin itu berubah menjadi pusaran hitam yang sedang berputar terus dan terus. Dari jauh nampak sosok manusia yang hendak keluar dari cermin itu. Pangeran dan Leya melihat, sosok itu semakin lama semakin mendekat, sosok itu menyerupai Bima. Benar saja, tak lama kemudian, Bima keluar dari pusaran waktu di cermin ajaib. Disusul satu-persatu teman-temannya yang lain, yang ikut menjejakkan kedua kaki mereka masing-masing di lantai ruangan tempat cermin ajaib itu berada.
"Bagaimana perjalanan kalian? Apakah itu menyenangkan?" tanya pangeran kepada Bima dan teman-temannya.
Air mata Bima dan yang lain tidak dapat tertahan lagi. Mereka tidak dapat melukiskan arti kata "hidup" yang mereka miliki saat ini.
Bima memeluk pangeran, "Maafkan aku, Pangeran. Apabila kau mau memenjarakan aku silahkan, tapi biarkan aku memelukmu dahulu saat ini." Air mata menetes dengan tak terkendali dari wajah Bima yang terlihat lebih kuat dan jauh lebih dewasa saat ini. Robi juga tidak dapat menahan gejolak di hatinya. Ternyata ia begitu rentan. Ia memang bisa mati kapan saja, namun kesempatan hidup yang dimilikinya saat ini teryata jauh lebih berharga. Ia memeluk pangeran dari belakang.
"Aku juga minta maaf, Pangeran." Robi memeluk pangeran dan membenamkan mukanya di punggung pangeran. Air matanya membasahi tubuh pangeran.
Linda sangat terpukul menyaksikan peristiwa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Begitu menakutkan dan mengerikan.
Linda begitu larut dengan haru melihat kedua kakak beradik yang dikenalnya sedang memeluk seorang pangeran. Ia juga tak kuasa untuk menahan perasaannya.
"Terima kasih untuk semuanya, Pangeran," ucap Linda memeluk pangeran dari arah samping. Ia menangis sesenggukan.
Lusi melihat peristiwa yang sedang terjadi di depannya, dengan hati yang terenyuh.
"Oh, kalian sungguh sangat manis." Lusi menghampiri pangeran dan memeluknya juga.
Leya melihat kejadian ini. Dia tersenyum kepada semua. Air matanya menetes. Masa penantiannya selama sepuluh tahun ini tidak sia-sia. Kini kekuasan Hesper sudah dapat dienyahkan dari negeri ini. Ia ingin sekali memeluk pangeran, namun ia tidak bisa memeluk pangeran lagi, karena pangeran telah di peluk dari semua arah.
Ia hanya dapat menatap pangeran dari tempatnya berada saat ini, dan tersenyum.
Temanku, Arcturus ....
***
Bima bersyukur ia masih diizinkan untuk menyantap makan malamnya. Perutnya sudah sangat keroncongan. Ia lapar sekali. Pertempuran demi pertempuran sangat menguras tenaganya. Kalau setengah jam lagi ia tidak makan, pasti ia akan segera pingsan.
Bima cukup iri dengan Lusi, yang saat ini sedang menyantap makanannya lagi. Entah sudah yang ke berapa kali perempuan itu memasukkan potongan ayam ke dalam mulutnya. Semua mata sesekali memandang ke arah perempuan itu, namun perempuan itu tidak menghiraukan sama sekali pandangan mata yang menyipit ke arahnya. Bakatnya sungguh luar biasa untuk menghiraukan apa kata orang tentangnya.
Ia melihat ke arah Robi yang tidak tenang melihat Lusi bertingkah tidak beretika seperti itu. Tempat duduk Robi ada di sebelah kakaknya. Kakaknya itu menyenggol tangan Robi.
"Kau menyukai Lusi?" tanya Bima sangat pelan pada Robi, agar tidak ada yang mendengar percakapan mereka.
Robi tidak mendengar ucapan Bima, mungkin pikirannya sedang dipenuhi oleh tingkah perempuan yang sedang menyantap ayam yang saat ini duduk di depannya.
"Apa?" Robi bertanya kepada kakaknya dengan tak bersuara.
"Kau menyukai Lusi?" tanya Bima dengan suara yang lebih keras dibanding sebelumnya, tapi masih dengan bisikan.
Lagi-lagi Robi tak mengerti apa yang diucapkan oleh kakaknya itu.
Bima kehilangan kesabarannya. Sepertinya Bima sudah sangat lapar, jadi dia cepat naik darah.
"Kau menyukai Lusi?!" Bima berbisik sangat kencang, dapat dipastikan sesungguhnya ia tidak sedang berbisik.
Ayam jatuh dari tangan Robi, begitu juga dengan Lusi, ayamnya jatuh ke piringnya. Mereka berdua menatap Bima dengan pandangan tak percaya.
Apa-apaan kakaknya sudah membuatnya malu di depan umum dan di depan Lusi!
Robi tak menjawab pertanyaan kakaknya itu. Lusi menunggu Robi mengatakan sesuatu, namun tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulut Robi. Hati perempuan itu menunggu. Ia tak berselera lagi untuk menyantap makanannya.
Tanpa rasa bersalah dan tanpa mengerti apa yang sedang terjadi, Bima mulai menyantap makanannya dengan sangat rakus. Ia sudah kelaparan sejak tadi. Ia mengambil potongan ayam yang sudah ada di piringnya, dan mengunyahnya. Belum pernah ia merasakan makanan selezat ini.
Linda memperhatikan adiknya tidak seperti biasa. Lusi tak lagi menikmati makanan yang ada di piringnya.
"Makanlah, nanti kau sakit," Linda memberikan nasihat kepada adiknya, "kau mau ayam? Aku ambilkan."
Lusi menggeleng lemah. Ia sudah tidak mau makan apapun.
"Oh, Lusi! Aku baru sadar," Linda berceloteh.
"Ada apa?" tanya Lusi yang mulai melirik lagi sisa makanan yang ada di piringnya.
"Tas mu, Lusi," jawab Linda, "tasmu sudah dibuang oleh Hesper. Buku-buku pelajaran milikmu yang ada di dalam tas itu semua sudah dibuang oleh Hesper. Maafkan aku, Lusi."
Pangeran menoleh ke arah Lusi. Lusi masih tidak bergeming.
"Kalian telah meminta pulang sebelumnya," ujar pangeran tiba-tiba. Mereka yang ada di meja makan panjang kerajaan itu segera menoleh ke arah pangeran, "starla telah menemukan alat teleport yang bisa kalian gunakan untuk pulang ke dunia kalian."
Tidak ada hal lain yang diinginkan oleh empat remaja ini selain dapat pulang ke dunia mereka. Dunia tempat tinggal mereka. Dunia yang selalu menjanjikan kehadiran sinar matahari pada tiap harinya. Dunia yang membawa harapan baru pada setiap orang. Dunia yang mereka kenal.
"Syukurlah! Akhirnya kami bisa kembali pulang!" Lusi berteriak senang, "tapi, tas ku ...."
Lusi ragu bahwa buku-buku pelajarannya masih ada. Ia yakin bahwa buku-buku pelajarannya pasti telah raib bersama dengan tasnya.
"Apa kau benar-benar merindukan buku-buku pelajaranmu?" tanya Linda pada adiknya dengan sinis.
"Oh, Kak. Kau masih seperti yang dulu ..."
Suara tawa memenuhi ruang makan itu. Mereka melepas lelah mereka, dari petualangan mereka di negeri Malam, Qirollik.
***
Leya menepukan tangannya, ia memanggil para starla untuk memberitahukan kepada keempat remaja ini jalan pulang untuk mereka. Sesaat kemudian, hutan tempat mereka berada sekarang di penuhi dengan suara tawa dan senandung dari para starla.
"Apakah kalian sudah datang?" tanya Leya pada teman-teman tak terlihatnya itu.
"Negeri Qirollik ... negeri Qirollik ... negeri yang aman damai ... kutukan telah di patahkan ... seorang pangeran telah berkorban ... oh ... darahnya berharga memulikan keadaan ... oh ... delapan orang asing datang dalam waktu yang tak sama menolong kerajaan Qirollik ... nama para ksatria itu akan selalu di kenang ... oh ... oh ..." sekitar lima puluh makhluk starla bernyanyi menyenandungkan suatu lagu yang sudah turun-temurun di senandungkan oleh anak-anak kecil, oleh orang-orang dewasa dan oleh seluruh rakyat Qirollik, sebagai pertanda mereka masih mengingat akan ramalan para leluhur mereka. Ramalan itu sudah ada sejak lama, dan ketika kerajaan itu di serang oleh Hesper dan para pengikutnya, rakyat Qirollik terus menyanyikan lagu itu dalam rumah-rumah mereka, tidak ada yang berani secara terang-terangan menyanyikannya di depan umum, karena hukumannya adalah hukuman mati. Namun lagu itu masih terus di ingat dari tahun ke tahun dan menjadi suatu harapan bagi mereka bahwa suatu saat akan datang delapan orang asing yang akan membalikkan keadaan negeri mereka.
Ramalan telah terpenuhi. Tugas sudah di laksanakan. Pangeran sudah sudah siap untuk menjadi raja yang baru menggantikan posisi ayahnya. Ia sudah siap memerintah negeri itu dengan adil.
Esta menarik Lusi ke pinggir, dia menangis di pundak Lusi.
"Esta ... Esta ... sudah ... sudah ... kita akan bertemu lagi," Lusi mencoba menenangkan Esta yang menangis sesenggukan. Andai saja makhluk itu bisa di sentuh, maka ia akan membelai pundak Esta.
Srottt ... "Aku pasti akan merindukanmu," Esta mengeluarkan sesuatu yang terdengar seperti lendir dari dalam hidungnya.
"Esta mengapa kau tidak bisa terlihat, tapi seperti nya ada air yang menetes di pundakku," Lusi mengelap dengan jijik sesuatu berlendir yang jatuh ke pundaknya, "maaf kalau terdengar tidak sopan. Tapi, apakah lendirmu dapat terlihat?"
Esta berhenti menangis, "Wah ... bagaimana kau tahu bahwa lendir starla dapat terlihat?"
"Oh, tidak ..." sahut Lusi, "berarti ini benar lendir mu?" Lusi membutuhkan sabun dan air mengalir saat ini.
"Maafkan aku, Lusi. Hanya itu saja yang dapat aku bagikan padamu. Anggap itu sebagai kenang-kenangan."
Lusi menatap Esta yang tidak terlihat, di udara di depannya dengan tatapan mata yang kosong. Oh ...
"Lusi! Lusi!" Robi menarik-narik tangan Lusi dari belakang.
Lusi menoleh pada Robi.
"Ada apa?" tanya Lusi, yang sedang sibuk membersihkan lendir milik Esta yang berceceran di pundaknya.
"Kemarilah!" Robi menarik tangan Lusi yang sedang berbicara dengan Esta, "oh, maaf, Esta. Aku pinjam Lusi sebentar. Atau kalau kau mau ikut dengan kami, silahkan."
"Kita mau kemana?" tanya Lusi yang mengikuti arah perginya Robi. Tangan Robi masih menggenggam tangan Lusi dengan erat.
Lusi melihat tangannya yang di genggam oleh Robi. Ia tersenyum melihat tangan mereka berdua yang sedang berpegangan satu sama lain. Mungkin berpegangan tangan dengan remaja laki-laki ini bukanlah suatu hal yang asing lagi di negeri ini.
Meskipun itu seperti sudah biasa, namun Lusi terus merasakan rasa berdebar dan wajahnya merona merah setiap kali remaja laki-laki itu memegang tangannya.
"Katakan padaku kita mau kemana?" tanya Lusi tidak sabar.
Robi masih terus berlari, "Sebentar, benda itu ada di depan!"
Remaja laki-laki itu menunjuk-nunjuk tempat di depan mereka.
"Lihat, itu dia!" Robi menunjuk suatu benda seperti barang kepunyaan Lusi.
Lusi tercengang. Itu mirip sekali dengan tas miliknya.
"Tas-tas ku? Benarkah itu tasku?" tanya Lusi tak percaya. Robi telah menemukan tasnya.
"Ya, benar! Itu tas mu!" sahut Robi, "Vlademir yang menemukannya."
Robi tersenyum ke arah Lusi.
Oh, tidak! Jangan tersenyum seperti itu, Robi! Aku tahu kau tidak ingin aku menyalahartikan makna pertemanan kita!
"Te-te-terima kasih." Lusi mengambil tas nya yang tersangkut cabang pada pohon, "apakah Vlademir ada di sini? Aku ingin mengucapkan terima kasih padanya."
Lusi masih berusaha untuk mengambil tasnya yang berada di cabang pohon yang letaknya jauh di atas tinggi badannya.
Robi tertawa melihat pemandangan ini. "Kau tidak meminta bantuanku?" Robi mendekat ke arah Lusi, dia berada di belakang Lusi. Lusi gugup. Wajahnya memerah. Jantungnya berdegup kencang. Robi berhasil mengambil tas milik Lusi.
"Ini," ucap Robi sambil mengulurkan tas milik Lusi pada remaja perempuan itu, "ayo, cepat! Kita akan segera pulang ke tempat kita."
Robi membalikkan badannya, dan beranjak pergi dari tempat itu.
Jantung Lusi masih berdegup kencang. Ia sudah mengambil tas miliknya dari tangan Robi.
Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk menanyakan perasaan Robi tentangnya.
Lusi langsung membalikkan badannya, menahan Robi untuk melangkah lebih jauh lagi.
"Tung-tung-tunggu!" ucap Lusi terbata-bata dengan suara yang cukup keras.
Robi berhenti. Ia membalikkan badannya, melihat ke arah Lusi.
Lusi menatap Robi. Ia menyukai anak laki-laki itu.
"Ro-rob-robi ... ma-ma-maaf kalau aku terlalu berani," Lusi malu. Ia menundukkan pandangannya, "Ro-robi apakah ada seseorang yang sedang kau sukai?"
Robi menatap Lusi. Dia diam. Lama sejenak ia berpikir, "Iya, ada," Robi menatap Lusi lekat-lekat, "tapi ... aku tidak tahu perasaan apa sesungguhnya yang sedang aku rasakan. Aku bukanlah tipe laki-laki yang mudah jatuh cinta." Robi menghentikan kata-katanya, "terlalu cepat untukku, bila mengatakan suka pada perempuan itu sekarang."
Lusi terdiam. Ia tidak tahu siapa perempuan itu. Jauh di dalam hatinya, ia sangat berharap bahwa Robi menyukainya. Tapi, sepertinya Robi tidak akan membuat keputusan apapun saat ini.
Lusi mengangguk pelan, "Aku mengerti."
Robi masih menatapnya dengan kasihan, "Ayo, semua sedang menunggu kita."
Robi berjalan di depan Lusi. Lusi berjalan di belakangnya. Kali ini mereka tidak saling berpegangan tangan. Tidak ada rasa deg-degan yang membuat hati berdegup kencang karena senang.
Mereka berdua berjalan dalam diam.
Angin bertiup sepoi-sepoi di antara daun-daun yang berguguran. Angin menyentuh pelan kedua pipi gadis ini, seolah menyeka setiap butir air mata yang terjatuh di sepanjang jalan menuju pohon oak besar di depan sana.
Tanpa dilihat seorang pun, gadis ini menyeka air matanya, agar ia dapat kembali tampil ceria di depan kakak dan kedua temannya.
Lusi merasa ia telah lama sekali berada di tempat ini. Rasanya seperti ia sudah mengenal dengan baik seluruh hutan ini. Hutan tempat pertama kali ia datang, hutan dengan jebakan bawah tanahnya ketika ia berdua dengan Robi jatuh ke tempat itu, hutan dengan pohon oak besarnya tempat tinggal para starla, juga hutan dengan terowongan bawah tanah milik starla, belum lagi goa besar tempat persembunyian sang pangeran, hutan pertempuran maupun istana besar sang pangeran ... Rasanya sudah lama sekali ia berada di sana. Ia pasti akan merindukan tempat ini!
"Robi!!! Lusi!!! Cepat kita tidak punya waktu!!!! Alat untuk teleportasi itu akan segera menghilang!!!" Bima dan Linda berteriak memanggil adik-adik mereka.
"Ayo," Robi menoleh ke arah Lusi, dan menarik tangan Lusi. Lusi melihat lagi-lagi tangan Robi menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka.
Lusi menolak pelan genggaman tangan Robi, "Maaf."
Robi melihat temannya yang ada di belakangnya.
"Maaf, Lusi." Robi menyadari ia tidak boleh berbuat sesuatu yang akan menimbulkan kesalahpahaman, "mungkin kita bisa segera berlari ke arah mereka. Alat teleport itu akan segera tertutup."
Lusi mengangguk. Ia mengerti. Perkara tentang teleportasi adalah perkara yang jauh lebih penting daripada perkara patah hatinya sekarang. Ia berlari di samping Robi, yang sudah berlari terlebih dahulu.
Meskipun hatinya sakit, namun gadis itu tetap dapat tersenyum pada teman laki-lakinya itu.
Pangeran dan Leya sudah menunggu mereka.
"Apakah kau sudah menemukan tas mu?" tanya pangeran ke Lusi.
"Ya, Robi yang memberitahuku. Dan Vlademir lah yang telah menemukannya," ucap Lusi riang. Ia berjanji untuk melupakan cintanya, "namun aku belum melihat Vlademir, aku belum mengucapkan terima kasih padanya."
"Aku ada di sampingmu dari tadi. Melihat kau mena-"
"VLADEMIR!!!!!!" Lusi berteriak. Ia tahu Vlademir akan mengatakan bahwa ia menangis. Wajahnya memerah, jantungnya berdegup kencang, "Vlademir, simpan cerita itu untuk dirimu sendiri! Kapan-kapan aku akan ke tempat ini lagi. Kita bisa saling bercerita banyak. Terima kasih banyak telah menemukan tasku."
"Aku akan merindukanmu, Lusi," kata Vlademir tulus.
"Aku juga, aku pasti akan merindukanmu." Lusi tersenyum memandang udara kosong di depannya. Sudah banyak petualangan yang ia lakukan bersama Vlademir dan teman-temannya di negeri ini.
"Bima, Robi, Linda dan Lusi, aku sangat berterima kasih pada kalian. Terima kasih telah mempertaruhkan nyawa kalian untuk kami. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian. Kalian adalah pahlawan di negeri kami. Terima kasih banyak," ucap Leya.
"Terima kasih banyak, para Ksatria." Pangeran berlutut di depan keempat remaja itu. Leya ikut berlutut.
"Tidak perlu, Pangeran. Kita teman." Bima meminta pangeran untuk berdiri.
"Cepat!!!!" teriak Teofa dan para starla lain, "sebentar lagi segera tertutup!!!"
"Pangeran, aku pikir sudah waktunya kita berpisah," ucap Bima, "terima kasih banyak untuk semuanya."
Pangeran memeluk Bima. Satu persatu dari mereka mengucapkan salam perpisahan yang memilukan, dan mereka sudah siap untuk kembali ke dunia mereka lagi.
"Esta, Vlademir, Teofa, aku akan merindukan kalian semua!!!!!" teriak Lusi terakhir kali, ia meloncat pada pohon oak besar itu, dan kemudian lobang pada pohon Oak yang besar itu tertutup.
"Sampai jumpa, Lusi ..." ucap Vlademir dan Esta bersamaan.