Sepuluh tahun yang lalu ....
Seorang anak perempuan kecil sedang bermain dengan seorang anak laki-laki sebayanya di dalam goa yang gelap. Tidak ada lampu di dalam goa itu, namun goa itu bersinar terang.
Sekilas anak laki-laki yang berada di sebelah anak perempuan itu terlihat biasa saja, namun sebenarnya dia berbeda.
Ada sesuatu di dalam diri anak laki-laki kecil itu yang membuat dia berbeda dengan anak-anak seumurnya. Itu karena, anak itu bersinar di gelapnya goa yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Tepatnya, tempat persembunyiannya. Goa yang semula gelap, yang di dalamnya tidak terdapat obor maupun benda penerang lainnya yang dapat menghasilkan cahaya, menjadi terang benderang ketika anak laki-laki itu berada di sana.
"Semoga nyonya Ros tidak segera mengusirku sekarang," sahut anak perempuan kecil itu sembari membangun istana dari tanah liat yang ada di sekelilingnya.
Baju anak perempuan kecil itu sudah sangat kotor. Warna coklat kemerahan menutupi warna putih pakaian yang dikenakannya. Ibunya pasti akan sangat marah melihat hasil pekerjaan yang telah di lakukan si anak perempuan pada baju putih yang di kenakannya sekarang.
"Istana buatanmu tidak menyerupai aslinya!" seru anak laki-laki kecil yang berada di sebelahnya.
Bajunya juga tidak kalah kotor dengan baju si anak perempuan.
"Aku tidak pernah tinggal di istana, wajar saja kalau aku tidak tahu bagaimana istana itu!" ketus si anak perempuan dengan tatapan sebal pada teman laki-lakinya yang juga sedang membangun istana yang terlihat lebih menyerupai aslinya, yaitu kerajaan Qirollik beberapa tahun yang silam.
"Kamu kan sering bermain denganku di sana kalau orang tuamu sedang bekerja dulu," sergah anak laki-laki itu mengingatkan kenangan mereka di masa lampau.
"Ah, lama sekali. Aku tidak ingat," dia masih saja membela diri.
Si anak perempuan meneruskan "proyek" pembangunan istana kecilnya yang terbuat dari tanah liat, dengan sesekali melirik pada istana tanah liat kepunyaan sang pangeran kecil, teman bermainnya. Dia memang tidak terlalu hafal dengan detail bangunan istana yang dulu sempat menjadi kekaguman rakyat yang tinggal di sekitar kerajaan.
Anak laki-laki kecil itu mengetahui bahwa temannya sedang mencontek hasil karyanya. Dia mengambil tanah liat yang ada di depannya dan menempelkannya ke hidung dan telinga runcing si anak perempuan itu, "Ini buat kenang-kenangan."
Seketika, wajah dan daerah sekitar telinga si anak perempuan itu menjadi cokelat karena tanah liat yang di tempelkan oleh si anak laki-laki itu.
"Hey! Aku bukan Rudolph, rusa kutub berhidung merah!" Anak perempuan kecil itu marah, ia mengambil segenggam tanah liat dari bagian "dapur" istana yang sudah dibuatnya dengan susah payah. Kemudian meremas tanah liat itu dan menempelkannya ke wajah temannya.
Dia membalas perbuatan anak laki-laki itu!
"Jangan di pipi!" teriak anak laki-laki kecil itu, "nyonya Ros pasti akan marah sekali!" Kini anak laki-laki yang malang itu sangat ketakutan melihat hasil perbuatan temannya yang telah mengotori pipinya dengan tanah liat.
Ia tidak mau kalah dari anak perempuan itu, sekarang ia telah siap untuk "berperang" dengan temannya.
"Kau harus menanggung perbuatanmu," ucap anak laki-laki kecil itu dengan suara yang sangat pelan, nyaris tak ada yang dapat mendengar ucapannya.
Namun anak perempuan itu yang telah lama bersahabat dengan sang pangeran, mengetahui bahwa sang pangeran kecil akan membalas apa yang telah dilakukannya pada dirinya, maka tanpa ada komando sama sekali, anak perempuan itu langsung berlari sangat cepat menjauhi bagian tengah gua, tempat mereka bermain, menuju bibir gua, ke tempat yang lebih terang.
"JANGAN LARI!! KEMBALI KE SINI, LEYA!!!" Anak laki-laki kecil itu mengejar Leya yang sedang tertawa terpingkal-pingkal menjauhi kejaran sang pangeran dengan sangat cepat. Leya berlari hingga ke depan goa.
Sang pangeran berlari dan terus berlari, hingga ia tidak dapat menemukan jejak Leya. Nafasnya tersengal-sengal karena ia telah berlari cukup jauh. Jarang sekali ia berlari sejauh ini. Ia berhenti sebelum tiba di bibir goa, dan secara perlahan, ia mulai mengatur ulang pernapasannya. Tangannya menempel pada dinding goa. Punggungnya naik turun, mengikuti irama pernapasannya yang masih belum stabil.
Anak laki-laki itu melihat ke sekelilingnya, Leya masih belum bisa ditemukan. Ia berpikir bahwa Leya telah keluar dari goa itu tanpa berpamitan dengannya.
Sama dengan mencari mati apabila dia terus mengejar anak perempuan itu sampai keluar goa. Di luar tempat persembunyiannya sekarang, sudah banyak pasukan Hesper, sang pengkhianat kedua orang tuanya, yang sedang mencari dirinya.
Anak laki-laki kecil itu adalah sang pangeran kecil, pewaris kerajaan yang sah yang kini menjadi buronan Hesper, penguasa kerajaan Qirollik yang baru.
Dia melihat, di luar sangat gelap. Daun-daun bergemerisik tertiup udara malam. Bunyi air sungai bergemericik di sela-sela bebatuan. Angin meniup helai-helai daun ke arah anak laki-laki itu.
Sebentar lagi, nyonya Ros akan mengusir Leya untuk segera pulang.
Jadi, biar saja kalau dia pulang sekarang. Pikir anak laki-laki kecil itu.
Sinar putih yang sedari tadi bersinar cukup terang dari sang anak laki-laki kecil itu saat mereka bermain di kegelapan, kini berangsur meredup saat ia berada di tempat yang cukup terang.
Ia melihat baju, tangan, kaki serta wajahnya di penuhi dengan tanah liat. Sangat berantakan sekali. Sudah pasti, si pelayan perempuan bertubuh besar itu akan sangat murka melihat keadaannya sekarang.
Ia mengambil sesuatu dari kantongnya, sebuah batu berwarna hijau. Benda itu mengeluarkan warna putih terang yang kini sudah berangsur meredup. Bentuknya menyerupai batu kasar tidak berpahat. Banyak serpihan yang jatuh ketika sang pangeran mengeluarkan batu ini dari dalam kantong bajunya. Agaknya, benda itu memiliki nilai yang cukup tinggi buat dirinya, sebab saat ia mengeluarkan batu itu dari dalam kantongnya, ia tidak lagi bersinar dari dalam dirinya. Cahaya putih yang sedari tadi menerangi dirinya di tengah kegelapan sudah menghilang, ketika batu itu tidak lagi berada di kantongnya.
Sambil menatap batu itu, dia mengeluarkan suara yang tidak begitu jelas, seperti "Pipikum."
Tiba-tiba benda itu kembali bersinar dengan sangat cerah. Warna-warni cahaya lembut yang sangat terang menyilaukan, seperti yang tidak pernah di lihat orang sebelumnya memenuhi goa tempat persembunyiannya. Ia menyentuhkan batu yang bersinar itu ke atas kepalanya. Hanya itulah satu-satunya peninggalan kedua orang tuanya yang berhasil disimpannya sampai saat ini.
Tampak sinar berwarna-warni berkilauan merambat dari atas kepalanya menuju bagian bawah dari dirinya. Bekas-bekas tanah liat yang semula ada di wajahnya, seketika menghilang menjadi bersih, tidak berbekas sama sekali, saat sinar berwarna-warni itu merambat turun ke setiap bagian tubuhnya.
Tiba-tiba, anak perempuan kecil yang nampaknya telah cukup lama bersembunyi di bagian lain bibir gua yang tidak kelihatan, berlari secepat kilat menghampiri anak laki-laki kecil itu yang sedang membersihkan dirinya. Sebelum sinar menyerupai warna pelangi itu merambat ke lengan anak laki-laki kecil itu, sang anak perempuan segera memegang tangan anak laki-laki kecil itu dengan kuat.
"Hei, kamu tidak boleh bersikap tidak sopan pada pangeran!" Anak laki-laki kecil itu setengah berteriak pada Leya, anak perempuan kecil itu. Dia menarik tangannya dari genggaman si anak perempuan. Namun, anak perempuan itu lebih kuat darinya, sehingga cahaya yang menyerupai warna pelangi itu terus mengalir merambat ke tubuh anak perempuan itu.
Sepertinya, Leya sudah sering bersembunyi seperti yang dilakukannya saat ini. Sehingga, sang pangeran segera tahu bahwa yang sedang memegang tangannya saat ini adalah teman bermainnya, yaitu Leya.
Pangeran kecil itu mengetahui maksud anak perempuan itu yang segera menghampiri dirinya saat ia sedang membersihkan dirinya.
Sinar berwarna-warni yang sudah merambat ke tangan pangeran, kini juga merambat ke tangan anak perempuan kecil itu sampai ke ujung kakinya.
Kini, mereka berdua sedang dibersihkan oleh suatu sinar yang keluar dari sebuah batu yang di genggam oleh pangeran kecil ini.
Ketika dilihatnya bahwa dirinya telah bersih seperti semula, Leya langsung melompat menjauh dari sang pangeran, ia takut kepada sang pangeran karena kejadian seperti ini hampir setiap hari terjadi.
"Kamu suka pelit meminjami aku batu itu, jadi aku bersembunyi sampai kamu membersihkan badanmu dengan 'itu'." Anak perempuan itu memasang wajah yang sangat menyebalkan, hingga membuat pangeran kecil itu kesal. Dia melihat dua kerikil hijau, seperti kikisan batu dari kepunyaan pangeran, jatuh di bawah kaki sang pangeran. Leya mengambil batu-batu kecil itu tanpa sepengetahuan sang pangeran dan memasukkannya ke dalam saku celananya.
Tiba-tiba dari dalam goa, terdengar suara langkah kaki yang berat.
"Bum!!! Bum!!! Bum!!!" Goa besar itu bergoncang, suara langkah kaki memenuhi goa tersembunyi itu. Suara langkah kaki raksasa.
"Nyonya Ros sudah datang!" Anak perempuan kecil itu ketakutan, "aku harus pergi sekarang, kalau tidak dia akan mengusirku dengan kasar!"
Anak laki-laki kecil itu tertawa. Dia senang, temannya itu ketakutan.
Namun, beberapa detik kemudian wajahnya menjadi murung.
Leya, satu-satunya teman bermain yang dimilikinya saat ini, sudah akan pulang ke rumahnya. Dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi selain Leya dan wanita raksasa itu - nyonya Ros- yang masih setia pada satu-satunya anggota keluarga kerajaan yang masih hidup, yang sedang bersembunyi di tempatnya kini, hingga saat ini.
"Besok kamu akan ke sini lagi, kan?" tanya anak laki-laki kecil itu dengan wajah yang penuh harap.
"Pasti. Aku akan ke sini dan kita akan bermain lagi."
Wajah anak perempuan itu dipenuhi dengan kegembiraan, "jangan sedih, Arcturus!" Anak perempuan itu melambaikan tangan dan segera berlari keluar dari goa yang tidak dapat di lihat oleh orang-orang sekitarnya.
"Panggil aku Pangeran Arcturus!" seru anak laki-laki itu dengan wajah yang kesal, "aku Pangeran!!"
Anak perempuan itu menoleh ke arahnya, dan tertawa penuh arti mendengar teman bermainnya berteriak dengan wajah cemberut, "Hahahaha ... bye!"
"Bye ... datang lagi besok." Pangeran Arcturus berdiri mematung menatap kepergian teman bermainnya.
Leya telah pergi menjauhi goa sang pangeran.
Goa itu tiba-tiba menjadi sebuah pohon-pohon biasa yang berada di hutan. Leya menoleh ke belakang, dia tidak lagi melihat keberadaan goa tempatnya bermain tadi, karena goa itu di lindungi dengan mantra yang kuat.
Anak perempuan yang sudah bersih itu, kini bersenandung pelan dengan hati yang senang, berlompat-lompat kecil menuju rumahnya yang sudah tidak jauh dari keberadaannya sekarang.
Rambutnya yang keriting panjang ikut bergerak ke sana-sini mengikuti arah lompatannya. Ia terus saja bersenandung dengan wajahnya yang girang.
Di depan sana, ia tidak menyadari peristiwa besar yang akan segera merubah kehidupannya.
Sekelompok pasukan prajurit, kira-kira lima puluh prajurit dengan tubuh yang besar dan wajah mengerikan, yang di perintahkan oleh kerajaan Qirollik, saat ini sedang menawan kedua orang tua Leya.
Suara teriakan dari ibunya, segera menyadarkan anak perempuan itu, bahwa keluarganya sedang berada dalam bahaya.
Leya kecil langsung berlari menuju rumahnya, untuk melihat apa yang sedang terjadi pada keluarganya. Dia bersembunyi di belakang rumahnya.
"Di mana kalian sembunyikan anak itu?!!" tanya salah satu prajurit dengan kasar.
Kedua orang tua Leya tidak mau mengakui tentang keberadaan sang pangeran. Mereka berdua menutupi di mana sang pangeran berada.
Hanya pangeran kecil itulah yang menjadi harapan bagi rakyat Qirollik, untuk menghancurkan kekuatan Hesper, si penyihir jahat yang telah mengkudeta raja dan ratu kerajaan Qirollik.
Raja dan ratu telah di bunuh oleh Hesper, saat mereka menolak untuk memberikan tahta kerajaan pada dirinya, sang penyihir jahat, haus kekuasaan, yang tidak segan-segan membunuh agar kepentingannya terlaksana.
Leya sangat ketakutan. Ia melindungi dirinya, agar tidak ketahuan oleh para prajurit utusan Hesper.
"Meskipun kami tahu, kami tidak akan mengatakannya pada kalian!" ketus ayah Leya pada prajurit sangar yang memegang pedang di tangannya.
Prajurit ini marah mendengar ayah Leya yang tidak mau mengatakan sepatah katapun tentang keberadaan anggota kerajaan yang saat ini sedang menjadi buronan di seluruh negeri Qirollik.
"KAU AKAN TAHU AKIBATNYA KALAU MELAWAN YANG MULIA!!!" kecam sang prajurit.
Pedang yang berada di tangan sang prajurit segera di ayunkan untuk menebas leher ayah Leya.
"JANGANNN!!!" teriak ibu Leya yang tidak kuasa melihat suami tercintanya akan di habisi di depan matanya.
Para prajurit yang lain sudah tidak sabar menghadapi pria dan wanita yang saat ini sedang menjadi tawanan mereka.
Salah satu dari prajurit yang ikut mengelilingi pria dan wanita itu tanpa banyak bicara segera mengambil pedang yang ada di kanannya, dia mengayunkan pedang itu, dan menyentuh leher ayah Leya.
"KYAAAA!!!" sang istri tidak kuasa melihat darah menetes dari leher suaminya.
"Hentikan." Suara pelan nan menyeramkan tiba-tiba muncul dari tengah-tengah mereka.
Sosok perempuan cantik dengan kepala yang di tudungi dengan jubah hitam dari kepala hingga kaki datang di tengah-tengah kumpulan prajurit itu.
Para prajurit taat mendengar perintah halus dari wanita mengerikan ini. Mereka memberi jalan di tengah-tengah mereka, agar wanita itu bisa masuk ke dalam rumah kecil Leya.
Wanita itu tidak berjalan. Namun dia bergerak terus hingga mencapai tepat di depan ayah Leya yang sudah sekarat itu.
Orang tua Leya menjadi sangat ketakutan ketika melihat sosok wanita ini. Mereka berdua tahu siapa wanita cantik yang sedang berhadapan dengan mereka. Wajah mereka berdua pucat pasi. Mereka berdua tidak dapat mengeluarkan sepatah kata pun lagi. Kematian sungguh ada di hadapan mereka.
Meskipun mereka mengatakan kebenarannya, mereka berdua tetap akan mati.
Wanita itu tersenyum menatap kedua orang tua Leya. Mata kedua orang tua Leya berusaha dengan sekuat tenaga menjauhi tatapan sang wanita cantik itu. Namun, mata wanita itu memerintahkan agar mata kedua orang tua Leya melihatnya.
"Arghhh!!!" Sakit yang di rasakan oleh kedua orang tua Leya tidak dapat tertahankan. Seperti ada kekuatan yang menarik mata mereka keluar dari tempatnya. Semakin mereka berusaha dengan sekuat tenaga mereka untuk menjauhi tatapan mata wanita ini, semakin mata mereka akan segera lepas.
Wanita itu tersenyum jahat.
Para prajurit yang melihat peristiwa mendebarkan ini, sangat ketakutan. Tidak ada yang berani untuk membuka suara. Inilah upah melawan perintah Hesper, Yang mulia kerajaan. Dia memiliki abdi setia, sang wanita cantik dengan rambut ular yang di tutupi dengan jubah hitam dari atas kepala hingga kakinya. Siapa yang melihat rambutnya akan berubah menjadi abu. Siapa yang menatap matanya, akan segera menemui ajalnya. Wanita cantik ini bernama Serenity.
Kini, orang tua Leya sedang mempertaruhkan nyawa mereka, di tangan wanita jahat itu.
Kedua orang tua Leya yang sudah terpojok, tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Mereka terangkat ke udara. Lebih tepatnya, mata mereka berusaha untuk keluar dari tempatnya, menuruti perintah dari Serenity. Darah mengalir keluar dari mata kedua orang tua Leya. Tangan mereka menahan agar mata mereka tidak terlepas dari kulit yang saat ini masih menahan mata mereka.
Para prajurit yang melihat kejadian ini, jijik, ingin muntah. Berhadapan dengan Serenity berarti bersiap dengan penyiksaan yang paling kejam.
"Tidakkkk!!!!! Jangannnnnnn!!!!!" Leya berlari menuju tempat orang tuanya yang sedang di siksa tanpa kenal ampun oleh wanita itu.
Serenity menghentikan aksinya.
Orang tua Leya terjatuh di tanah dengan berpeluh darah menghujani mata mereka.
"Jangan!!! Jangan!!!" seru Leya, "aku tahu di mana pangeran itu berada!!"
"LEYA!!!!" bentak sang ayah, yang saat ini sudah tidak dapat melihat.
Namun Leya tidak menghiraukan ucapan ayahnya.
"SSSHHHH!!!!" Wajah Serenity berubah menjadi jijik, ketika mendengar kata-kata 'pangeran' di keluarkan dari mulut Leya.
"Jangan kalian apa-apakan kedua orang tuaku. Aku akan memberi tahu dimana dia berada."
Serenity tersenyum melihat keberanian anak perempuan kecil ini.
"Leya, jangan bodoh!" hardik ibunya dari arah belakang, "mereka tidak akan mendengarkan kamu. Kamu pergilah dari tempat ini sekarang!!! Mereka berbahaya!!!"
Para prajurit sangar yang melihat kejadian ini, tertawa tidak berhenti. Mereka berpikir Leya terlalu bodoh telah keluar dari tempat persembunyiannya, yang meskipun akan ketahuan juga pada akhirnya.
Serenity mendekati Leya, Leya mundur ketakutan.
"Anak manis. Katakan dimana dia berada." Suara yang tidak keluar dari mulut Serenity terdengar di seluruh ruangan itu. Dia berbicara dengan matanya, bukan mulutnya!!!
Leya makin ketakutan. Dia belum berpengalaman. Dia tidak tahu siapa yang saat ini sedang di hadapinya.
"A-a-aku akan memberitahumu. Ta-ta-tapi ber-jan-jilah ka-lau kalian akan melepaskan kedua orang tuaku."
Wajah Leya terlihat sangat polos, dia berharap para prajurit dan Serenity akan menepati janji mereka.
"Hahahahaha!!!!!" tawa para prajurit membeludak, memenuhi rumah kecil Leya.
"Anak bodoh!! Dia tidak tahu siapa yang sedang di hadapi." seru salah satu pengawal kerajaan.
Serenity memegang Leya.
"Baiklah." Serenity kembali bersuara dengan tidak membuka mulutnya. Tangannya hendak memegang Leya, namun Leya mundur ketakutan. Dia berlari hingga ke pojok ruangan.
Mata Serenity melotot marah, karena Leya berusaha kabur darinya. Dia menatap mata Leya. Dia tidak mau dipermainkan!!
"Jangan tatap matanya, Leya!!" perintah sang ayah yang sudah tidak memiliki kekuatan sama sekali.
Leya mengambil sebuah batu kerikil hijau, sangat kecil, dari kantong celananya. Seperti yang dimiliki oleh sang pangeran yang ia temui di goa persembunyiannya. Ia hanya berhasil memungut dua kerikil kecil yang jatuh di tanah, ketika sang pangeran sedang menggunakannya untuk membersihkan badan mereka dari tanah liat.
Leya langsung melemparkannya ke arah kedua orang tuanya, dan berseru, "PIPIKUM!!!"
Dalam sekejap orang tua Leya hilang, tidak terlihat sama sekali keberadaannya. Para prajurit marah.
Serenity mendesis.
"ANAK TIDAK TAHU DIRI!!! KEMARI KAMU!!!" Serenity menjadi sangat marah. Benda-benda di sekelilingnya terangkat. Para prajurit teriak. Mereka tidak dapat menahan murka Serenity. Tudung yang menutupi kepalanya terbuka. Ular-ular yang menjadi rambutnya mulai menjulur ke arah Leya. Serenity berjalan perlahan menuju Leya. Leya sangat ketakutan.
"Sshh ..." ular-ular rambut Serenity mendapat mangsa.
"Kamu menipuku, Anak kecil!!!" suara Serenity meraung keras memenuhi ruangan rumah Leya.
Para prajurit mundur. Mereka tidak mau berhadapan dengan para Wirastri, sebutan untuk ular-ular hidup yang menjadi rambut Serenity.
Anak perempuan kecil itu jatuh, tubuhnya membatu. Dalam tubuh batunya, ia terlihat sangat ketakutan. Keringat memenuhi sekujur tubuhnya, matanya melotot.
Serenity mendekat terus ke arah Leya.
Para Wirastri menuntut makan siang mereka pada Serenity, mereka semua menjadi resah, karena Serenity berhenti tepat di depan anak perempuan kecil ini, tanpa mengizinkan mereka memakan anak itu.
Serenity terkejut dalam diam. Anak itu sudah lebih dahulu membatu, di dalam benaknya hanya ada satu orang yang berhasil membatu sebelum dia dapat membunuhnya. Dia adalah sang pangeran kecil yang saat ini sedang di carinya. Sekarang, anak perempuan yang hendak diberikannya pada Wirastri, ular-ular peliharaannya, juga membatu. Serenity berpikir keras, apakah kedua kejadian ini saling berhubungan.
Ketika hendak melewati Leya, Serenity merasakan aura kejahatan yang sangat kuat, bahkan melebihi dirinya, ada di dalam diri anak perempuan kecil ini. Ia berpikir sejenak.
Ular-ular itu kini sudah menjadi tidak sabar. Mereka langsung memanjangkan diri mereka ingin memakan Leya. Namun anak kecil ini sudah membatu terlebih dahulu, sebelum para Wirastri menyentuhnya.
"HENTIKAN!!!" perintah Serenity membuat para Wirastri menurunkan tubuhnya. Mereka mengeluh kesal, karena kudapan siang mereka gagal mereka makan.
"Bawa anak perempuan ini ke kerajaan!!" raungnya.
Kemudian ia menutup kembali tudung hitam kepalanya, dan berbalik mundur menjauhi rumah itu. Meninggalkan kedua orang tua Leya yang tidak terlihat. Di depan rumah itu, Serenity menghilang.
Para prajurit saling berpandangan. Mereka bingung, mengapa anak perempuan kecil yang sudah berubah menjadi batu itu hendak di bawa ke kerajaan. Beberapa prajurit itu mengangkat Leya yang membatu ke atas tandu mereka dan bersiap menuju kerajaan, tempat Hesper, Yang mulia berada.
Orang tua Leya yang tertutup mantra yang kuat, yang tidak dapat di tembus oleh penyihir sakti manapun, menatap dengan pandangan tidak percaya. Mereka menangis, karena Leya di bawa pergi oleh mereka. Tidak ada satupun yang dapat kembali hidup-hidup setelah masuk ke dalam kerajaan.
Demikian pula dengan apa yang akan terjadi pada putri mereka, Leya.
Leya akan berada dengan selamat di dalam kerajaan, atau dia akan mati apabila seseorang berusaha mengeluarkannya dari dalam kerajaan. Tidak ada harapan untuk Leya.
Leya yang akan berada di dalam kerajaan, akan menjadi seseorang yang sama sekali berbeda.