Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imaji
MENU
About Us  

“Dasar sampah.”

“Penjahat.”

“Anak laki-laki yang tidak tahu malu.”

“Mati saja kau.”

“Untuk apa kembali? Enyahlah saja!”

Aku merogoh saku jaket, meraih headset dan memasangnya di kedua telingaku. Mengangkat wajah tinggi-tinggi, aku terus melangkah, melewati orang-orang yang menatapku dengan pandangan benci dan jijik. Setiap kali aku pulang ke kampung halamanku, sambutan seperti inilah yang selalu kudapat.

“Mereka bahkan tidak bertanya. Mereka tidak pernah tahu siapa sebenarnya diriku.”

Kakiku berhenti di depan sebuah rumah tua yang sudah kosong. Dindingnya terbuat dari kayu, lantainya berupa semen, dan atapnya adalah genteng yang banyak berlubang. Aku menghela nafas panjang sebelum kembali melangkah, memasuki saksi bisu kehidupan masa mudaku.

 

***

 

“Andai saja orang-orang itu bertanya pada rumah ini. Andai saja mereka seperti rumah ini, yang tahu tentang segalanya tapi tidak mengatakan apapun.”

Detik demi detik berlalu di tengah kesunyian. Aku terus menggerakkan tanganku, mengelap perabotan di rumah ini yang kotor terkena debu selama setahun terakhir. Dahiku mendadak berkerut, menyadari ada satu hal yang janggal.

Debunya tidak setebal tahun-tahun yang lalu.

Mungkin jika orang lain yang berada di posisiku saat ini, mereka akan mengira bahwa genteng yang bocorlah penyebabnya, sehingga banyak air yang masuk dan menghapus debu-debu yang ada di rumah ini.

Namun aku tahu, bukan itu penyebabnya.

 

***

 

Malam hari kuhabiskan dengan mengaji. Membaca kitab suci selalu membuatku merasa tenang. Kuharap setiap hari dapat berlalu seperti saat aku tengah mengaji, tenang dan bersahaja.

Jam tua yang baru saja kuganti baterainya tepat menunjuk pukul sebelas malam ketika tiba-tiba saja suara decit pintu dibuka terdengar oleh telingaku. Kuhentikan bacaanku, lantas bergegas melangkah ke depan.

Tepat seperti yang sudah kuduga, sesosok laki-laki dengan penampilan berantakan bak preman datang. Surainya acak-acakan, bibirnya pucat, dan pakaiannya compang-camping seperti pemulung. Tangan kanannya menggenggam sebatang rokok, sementara yang kiri ia gunakan untuk menyandang tas ransel di bahunya. Aku tahu, di balik penampilan kere seperti itu, ada puluhan juta uang di dalam tasnya, hasil curian.

Ia tersenyum padaku.

Aku membalas senyumnya.

Kami bertatapan selama beberapa menit, saling menelusuri satu sama lain, berusaha menilai dan menduga-duga. Namun hasilnya nihil, karena yang kami dapatkan hanyalah cerminan diri kami masing-masing. Sosok serupa tapi tak sama, atau mungkin juga sama.

Ia memandangiku dari atas ke bawah, kemudian menertawai sarung yang kupakai.

“Kau beralih profesi menjadi ustadz? Rasanya baru beberapa minggu yang lalu novel ketigamu terbit. ‘Sayap Kupu-Kupu yang Patah?’ Cih, apa-apaan? Kau baru putus cinta? Ah, tapi harus kuakui, itu cukup keren. Aku agak terharu ketika membacanya. Adikku berkarir. Kupikir kau hanya akan berakhir bunuh diri,” ucapnya seraya melangkah masuk ke kamar.

Mendengar kalimat-kalimat pedas tersebut tidak membuatku kehilangan kesabaran. Kakakku memang selalu begitu : kasar tiap kali bicara, melakukan apapun semaunya, hidup tidak tahu aturan. Aku sudah sangat mengenalnya, bahkan sejak kami belum lahir ke dunia ini.

“Aku terkesan oleh kecerdasanmu. Kau datang malam-malam ketika semua orang di desa ini sudah terlelap. Tidak ada satupun orang yang menghujatmu,” sindirku.

“Terkadang kau memang harus memakai otakmu dengan lebih baik!” sahutnya dari dalam kamar.

Aku mengangkat bahu, kemudian berbalik hendak ke kamar yang satu lagi. Namun tiba-tiba saja kakakku keluar dan menarik tanganku masuk kembali ke kamarnya. “Potongkan rambutku,” ucapnya sesaat setelah aku duduk di kasurnya, “sampai rambutku serapi milikmu.”

Tawaku meledak. “Kau ingin berpenampilan sepertiku? Kenapa? Agar orang-orang tidak mencurigaimu? Jika besok warga melihat penampilanmu yang bak preman begini, mereka pasti akan menyesal telah menghujatku semena-mena.”

Kakakku menyodorkan sebuah sisir dan gunting, kemudian duduk membelakangiku. Aku menghela nafas. Kusisir rambutnya sampai rapi, kemudian kupotong rambutnya hingga pendek menyerupaiku. Pikiranku berkelana ke masa lalu, membayangkan sosok kecil diriku yang selalu dipaksa untuk menyisir rambutnya.

Setelah beres, ia berbalik dan aku benar-benar merasa seperti tengah bercermin ketika memandangnya. Kami sama persis.

“Kau tahu? Seharusnya kaulah yang menjadi kakak.”

Aku mengernyit bingung.

“Kau lahir lebih dulu. Usiamu lebih tua dua menit dari aku. Mengapa harus aku yang menjadi kakak?” tanyanya.

“Seorang kakak memang harus berkorban untuk adiknya. Kau merelakan waktu dua menitmu di dunia ini untukku,” jawabku.

“Tapi itu bukan kemauanku. Bukan aku yang menginginkannya.”

“Tidak ada kakak di dunia ini yang tahu bahwa dia akan menjadi kakak.”

Kakakku terdiam, kemudian mendekatkan tubuhnya ke arahku dan memelukku.

 

***

 

Semilir angin pagi menerpa wajahku. Pemandangan desaku yang sangat indah sudah cukup untuk menenangkan batinku, mengalihkan fokusku dari gunjingan-gunjingan warga yang melihat aku dan kakakku berjalan bersama.

Tidak ada satupun dari mereka yang dapat membedakan kami yang kembar identik. Namun, alih-alih berhenti, mereka justru semakin gencar menghujat kami, tanpa tahu siapa sebenarnya yang bersalah. Mungkin alasan mereka menghujat kami adalah : karena kakakku adalah seorang pembunuh, dan aku adalah adik dari kakakku.

“Orang-orang di desa ini sudah gila rupanya. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas. Memangnya kita ini hewan? Mereka menatap kita seolah-olah kita ini lebih menjijikkan dari tikus. Ah, sia-sia saja kupotong rambutku.”

Aku tertawa mendengar omelan kakakku. “Dasar tidak tahu malu.”

Kakakku menoleh dan memelototiku, tetapi tanpa sadar kami sudah tiba di pemakaman, tepat di depan pusara ibu kami. Aku memejamkan mata, berdoa untuk keselamatan beliau di akhirat, kemudian menaburkan bunga di atasnya.

Kakakku mengikuti semua hal yang kulakukan, meskipun aku tidak yakin apakah ia bisa berdoa dengan benar. Aku menatapnya dengan senyum miring. Ia balas menatapku, ikut tersenyum miring. Aku jadi semakin yakin kalau ia adalah cerminan diriku, atau bisa jadi kami berdua memang orang yang sama.

“Sudah lima tahun, ya. Waktu berjalan dengan sangat cepat akhir-akhir ini,” ucapnya.

Aku diam saja.

“Kau tahu? Tak seharusnya kita seperti ini. Kita sudah dewasa, ingat?”

“Ya, ya. Terserah.”

“Aku minta maaf. Ayo berdamai.”

Aku menatap uluran tangannya tidak percaya. “Semudah itu? Setelah segala hal yang terjadi dalam hidupku akibat perbuatan busukmu lima tahun yang lalu?!”

Kakakku tersenyum menatapku. Namun entah mengapa, kali ini aku tidak menemukan cerminan diriku di wajahnya. “Kau tidak pernah bertanya. Kau tidak tahu apapun tentang diriku,” ucapnya pelan.

Wajahku memerah setelahnya, entah karena apa. “Memangnya apa yang harus kutanyakan padamu? Semuanya sudah jelas! Kau penjahat tapi kau juga kakak kembarku! Lantas aku harus berbuat apa?! Wajah kita serupa, tidak ada yang bisa membedakan siapa yang jahat dan yang baik!”

Aku terengah setelah membentaknya, tapi dia tampak tenang-tenang saja. Ini tidak seperti kakakku yang biasanya.

“Bahkan dirimu sendiri, Resvan sayang,” ucapnya dingin. “Kau selalu saja menyalahkan orang lain, merasa hanya dirimu yang mengalami ketidakadilan di muka bumi ini. Kau membenci orang-orang yang gemar menilai tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi tidak sadarkah kau kalau sifatmu sama saja seperti mereka?”

Tanganku terkepal. Aku selalu benci dengan kakakku.

“Ya, kau memang tidak pernah menyukaiku sedikitpun sejak lahir. Kau mudah sekali merasa iri padaku, tersinggung atas segala ucapanku, dan kau benci wajahku yang serupa dengan milikmu. Kau selalu menganggapku perebut hidupmu, hanya karena wajah kita sama. Kau ingin tampil menonjol, tapi karenaku usahamu selalu sia-sia. Itu semua membutakanmu. Kau merasa berbeda, tapi sesungguhnya kau sama saja dengan orang-orang itu. Kau tidak pernah bertanya, bahkan kepada hatimu sendiri.”

Satu pukulan dariku sukses mendarat di pipinya. “Dasar sok tahu. Hanya karena kau seorang kakak bukan berarti kau jadi tahu segalanya tentang diriku!”

“Kalau begitu jelaskan! Jelaskan padaku siapa sebenarnya dirimu dan apa tujuanmu!” bentaknya. Ia balas memukulku, berulang kali hingga aku jatuh tersungkur. Aku tersenyum miring, puas lantaran emosinya berhasil kupengaruhi.

“Dasar pembunuh,” ucapku seraya bangkit berdiri. “Kau yang membunuh ibu kita, tapi kau lolos begitu saja dari jerat hukum. Apakah kau tidak merasa bersalah sedikitpun?!”

“Aku melindungimu saat itu!”

“Hah! Lucu sekali kau ini! Kau anggap itu sebagai perlindungan? Aku benar-benar tidak percaya. Seharusnya kau saja yang mati, bukan ibu! Itu baru perlindungan!”

Aku memukul kakakku, lagi dan lagi hingga ia tersungkur ke tanah dan berlumuran darah. Ternyata memukul seseorang lumayan membuatku ketagihan.

Kupukul kakakku tanpa henti untuk menyalurkan rasa benciku padanya. Ya, kuakui aku iri. Kami berwajah serupa, tapi ibu kami jauh lebih menyayangi kakakku, hanya karena dia lebih cerdas. Ia selalu diberi porsi makanan lebih banyak dariku, dibelikan baju lebih bagus dariku, dan dicium lebih sering dariku. Namun mengapa ia dengan teganya membunuh ibu kami sendiri?

Ibuku selalu membangga-banggakan dirinya di depan para tetangga, tapi beliau bahkan tidak pernah menyebut namaku. Mungkin para tetangga hanya mengenal kakakku, Narayan, sebagai putra dari ibuku. Mungkin mereka bahkan tidak tahu kalau ibuku juga memiliki aku, Naresvan, sebagai putranya. Semua orang menyanjung kakakku atas setiap keberhasilannya, tapi mereka turut menghujatku atas kelakuan buruknya.

Aku tidak terima.

“AAHHH!!!”

Jeritan seorang wanita sontak membuatku menghentikan aktivitas. Kulihat wanita itu menatapku dengan penuh kengerian, kemudian ia berteriak, “Pembunuh!!”

 

***

 

Aku resmi menjadi seorang pembunuh.

Tanganku diborgol dan aku memakai baju tahanan. Di penjara, aku bertemu banyak orang aneh. Mereka memujiku karena telah membunuh kakak kembarku sendiri dan bertanya-tanya tentang kemampuan memukulku yang sangat kuat. Aku jadi semakin percaya diri dan betah tinggal di sini.

“Tahanan 404, ada kunjungan untukmu.”

Aku terkejut. Berjalan keluar ruang tahanan, aku bertanya-tanya dalam hati siapakah gerangan yang sudi mengunjungiku. Sesampainya di ruang kunjungan, aku pun membelalakkan mataku.

“Kakek?!”

 

***

 

Kakekku sudah terlalu tua untuk bisa bicara panjang lebar. Beliau hanya menasehatiku untuk hidup baik-baik di penjara dan memberikan sepucuk surat padaku. Katanya, surat itu beliau temukan di tas milik kakakku dan ditujukan untukku.

Aku kembali ke ruang tahananku dan mulai membaca surat itu. Ternyata tulisan tangan kakakku.

 

“Naresvan, adikku….

Aku tahu kau membenciku, terutama karena perbuatanku lima tahun lalu telah membuat dampak yang luar biasa bagi hidupmu. Aku kembali hari ini, berharap dapat bertemu denganmu secara langsung dan meminta maaf. Semoga tidak ada lagi emosi dan rasa dendam dalam hati kita. Maafkan aku atas segala hal yang telah kuperbuat dan menyakiti perasaanmu.

Namun di sisi lain, kurasa aku perlu menjelaskan padamu tentang beberapa hal, yang semua ini tidak pernah kautanyakan sedikitpun kepadaku. Kurasa aku perlu mengutarakan sebuah pembelaan untuk diriku. Aku selalu berharap kau akan bertanya tentang sebab mengapa aku melakukannya, tapi kurasa kau sudah dibutakan oleh perasaaan benci. Sama seperti orang-orang yang selalu menghina dan menghujatmu selama ini, termasuk ibu kita sendiri, yang sudah dibutakan oleh rasa benci sehingga tidak pernah melihat sisi positif dari dirimu.

Kau tahu? Aku mulai membenci ibu sejak aku sadar beliau telah mendiskriminasimu. Suatu hari, beliau pernah salah mengira aku adalah kau, dan dia menghajarku hanya karena aku makan dua potong paha ayam, bukannya satu.

Kuberitahu padamu, saat itu, keluarga kita sedang mengalami masalah keuangan. Ayah kita tidak pernah kembali dari rantauannya lima belas tahun silam, dan dagangan ibu di pasar ludes terbakar. Ditambah lagi hutang yang menumpuk. Dalam kondisi seperti itu, ibu bisa saja melakukan sesuatu yang berbahaya, apapun caranya agar dapat menyambung hidup.

Kecurigaanku terbukti benar. Aku tidak sengaja mendengar percakapannya dengan seorang pria si pemberi hutang. Mereka berencana akan membunuhmu, kemudian menjual organ dalammu untuk melunasi hutang.

Hari itu, mereka hendak membunuhmu ketika kau sedang tidur. Namun, aku berhasil memergoki mereka. Tidak ada niat sedikitpun dariku untuk membunuh mereka. Semuanya terjadi tanpa sengaja, terjadi begitu saja karena mereka melawan. Sungguh, aku tidak menyangka pisau yang kurebut dari tangan mereka justru membawaku menjadi seorang pembunuh. Sayangnya, kau hanya melihat bagian itu; bagian yang paling mengerikan.

Begitulah. Aku tidak pandai bercerita dan berterus terang di dunia nyata. Namun semua yang kutulis di surat ini adalah jujur. Termasuk ketika aku mengatakan bahwa aku menyayangimu. Oh, dan maaf karena aku selalu berbicara kasar padamu, karena memang seperti itu caraku bicara. Percayalah, aku menyayangimu.

Semoga kau bahagia.

 

Kakakmu,

Narayan”

 

Aku meremas surat itu, membuangnya ke sudut ruang tahanan. Air mata penuh rasa sesal sudah mengalir deras dari mataku sejak tadi. Entah apa yang harus kulakukan sekarang.

Pada akhirnya, baru kusadari bahwa kehidupan kami sangatlah palsu. Aku, yang selalu merasa jadi orang paling benar di muka bumi, ternyata bahkan lebih buruk dari kakakku, yang selalu kuanggap adalah orang paling bejat sejagat raya.

Persepsi dan prasangka adalah dua hal yang amat riskan. Mereka selalu berhasil mempengaruhi manusia, entah menjadi lebih baik atau buruk, dan membutakan, menghalangi setiap orang untuk melihat segala sesuatunya dengan benar.

“Mereka bahkan tidak bertanya. Mereka tidak pernah tahu siapa sebenarnya diriku.”

Dan sekarang, ucapan mereka yang tanpa kebenaran sudah berubah menjadi kenyataan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
DEPRESSION
497      376     0     
Short Story
You say you love me.But you must leave me cause she.
One Way Or Another
641      472     0     
Short Story
Jangan baca sendirian di malam hari, mungkin 'dia' sedang dalam perjalanan menemuimu, dan menemanimu sepanjang malam.
Tok! Tok! Magazine!
207      187     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
AKU BUKAN ORPHEUS [ DO ]
797      461     5     
Short Story
Seandainya aku adalah Orpheus pria yang mampu meluluhkan hati Hades dengan lantutan musik indahnya agar kekasihnya dihidupkan kembali.
If Sarcasm is A Human Being
663      468     1     
Short Story
Apa yang terjadi jika sebuah kata sifat yang abstrak memiliki rupa dan karakteristik bak seorang manusia? Sar tidak memilih hidupnya seperti ini, tetapi ia hadir sebagai satu sifat buruk di dunia.
Bulan dan Bintang
6401      1843     1     
Romance
Orang bilang, setiap usaha yang sudah kita lakukan itu tidak akan pernah mengecewakan hasil. Orang bilang, menaklukan laki-laki bersikap dingin itu sangat sulit. Dan, orang bilang lagi, berpura-pura bahagia itu lebih baik. Jadi... apa yang dibilang kebanyakan orang itu sudah pasti benar? Kali ini Bulan harus menolaknya. Karena belum tentu semua yang orang bilang itu benar, dan Bulan akan m...
Kenangan Masa Muda
7601      2210     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
In Her Place
2837      1541     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Kenapa Harus Menikah?
157      143     1     
Romance
Naisha Zareen Ishraq, seorang pebisnis sukses di bidang fashion muslimah, selalu hidup dengan prinsip bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berakhir di pernikahan. Di usianya yang menginjak 30 tahun, ia terus dikejar pertanyaan yang sama dari keluarga, sahabat, dan lingkungan: Kenapa belum menikah? Tekanan semakin besar saat adiknya menikah lebih dulu, dan ibunya mulai memperkenalkannya pada pria...
Kamu
5693      2284     1     
Romance
Dita dan Angga sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak Taman Kanak-kanak. Bukan tanpa maksud, tapi semua itu memang sudah direncanakan oleh Bu Hesti, ibunya Dita. Bu Hesti merasa sangat khawatir pada putri semata wayangnya itu. Dita kecil, tumbuh sebagai anak yang pendiam dan juga pemalu sejak ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru empat tahun. Angg...