Antara Depok dan Jatinangor
"Kan waktu SMP aku pernah cerita kalau aku mau jadi PNS," katanya memulai.
"Iya. Terus?" tanya Maria.
Kevin menyodorkan iphone-nya ke arah Maria. "Nih baca," katanya.
Kementrian Dalam Negeri
Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Maria terperangah beberapa detik. Sejak kapan Kevin mendaftar ke IPDN?
PrajaIPDN!Kevin × MahasiswiUI!Maria
27 Juli 2016
Maria memandang berkeliling mencari sosok berambut jabrik. Ia melirik ke arah arlojinya. Pukul 14:45. Tepat waktu sesuai janjinya dengan Kevin. Pertanyaannya sekarang di mana temannya itu?
"Hei," sebuah suara mengagetkannya. Ia berpaling dan bertatapan dengan pemuda yang ditunggunya.
"Kevin," ia tersenyum ke arah temannya itu.
"Kamu udah lama nunggu?"
"Barusan kok," katanya.
Kevin menarik tangannya menuju meja di sudut ruangan. Ia melambaikan tangannya memanggil pelayan kafe. "Mas, pesan milkshake strawberry satu sama ice cappucino satu," pintanya.
"Milkshake strawberry satu sama ice cappucino satu. Apa ada tambahan lain?" tanyanya. Kevin dan Maria menggeleng. "Baik, tunggu pesanannya," pelayan kafe beranjak meninggalkan kedua sejoli itu.
"Jadi..." Maria membuka pembicaraan. "Kenapa Kevin memanggilku?" tanyanya riang.
Kevin memamerkan cengiran ala iblisnya yang biasa. "Kan waktu SMP aku pernah cerita kalau aku mau jadi PNS," katanya memulai.
Maria mangut-mangut. Hal itu sudah jelas. Sejak kelas 3 SMP, Kevin sudah mendeklarasikan cita-ciranya menjadi abdi negara. Sesuatu yang aneh menurut Maria. Dengan otaknya yang brilian, Kevin bisa saja kuliah di jurusan Teknik di UI atau bahkan ke luar negeri.
Kevin mengeluarkan iphone-nya dan mengutak-atiknya sejenak kemudian mengulurkannya pada Maria. "Nih, coba baca," katanya bangga.
Maria membaca yang tertulis di layar itu.
Kementrian Dalam Negeri
Institut Pemerintahan Dalam Negeri
Wait. Sejak kapan Kevin mendaftar ke IPDN? "Kapan kamu daftar IPDN?" tanyanya heran.
"Dari hari pertama pembukaan pendaftaran," jawab Kevin tersenyum.
"Kok kamu ga pernah cerita sih?"
"Permisi mas, mbak. Ini pesanannya," pelayan kafe itu mendatangi meja mereka dan meletakkan pesanan Kevin dan Maria di atas meja.
"Makasih, Mas."
Kevin mengambil milkshake strawberry dan meminumnya. "Aku emang ga ada cerita tentang ini ke siapa-siapa, sih," katanya setelah minum. "Nathan sama Sandi aja belum tahu," ia menambahkan.
"Kenapa, Kar?"
"Ga suka aja kalau ada orang lain yang tahu," katanya gusar. Kevin paling malas jika ada orang yang mempertanyakan keputusannya. Terutama rivalnya si Rizal Rahadian yang dengar-dengar diterima di Nanyang University.
"Kamu yakin masuk ke sana?" tanya Maria ragu. Reputasi IPDN yang terkenal sangat senioritas itu membuatnya khawatir. Bagaimana kalau nanti Kevin dibully senior di sana? Meskipun sepertinya lebih mungkin jika Kevin yang membully seniornya.
Kevin mengangguk. "Udah kupikirkan baik-baik, Mar. Kuliah di IPDN itu cara paling cepat buat jadi PNS di sini. Nanti abis lulus kan langsung CPNS Gol 3A. Aku ga perlu repot-repot lagi buat ikut tes CPNS," ia menjelaskan panjang lebar.
Entah kenapa Maria merasa kecewa. Padahal mereka sudah diterima di UI, meskipun beda fakultas. Ia di FMIPA, sedangkan Kevin di FISIP. Tapi, kenapa Kevin memilih kuliah di IPDN? Kenapa?
"Kamu ga sayang ninggalin FISIP UI?" tanya Maria. Dalam hati sih, kamu ga sayang ninggalin aku?
"Ga."
Krak... krak... krak... seandainya Kevin bisa mendengar bunyi hatinya yang retak. Okay. Sabar, Maria. Sabar. Ia menenangkan batinnya sendiri. Cuma empat tahun, kok. Cuma empat tahun kepisah dari Kevin yang sudah menjadi teman baiknya sejak kelas 2 SMP. Semakin dipikirkan, entah kenapa rasanya ia semakin sedih.
"Kamu ga ngasih aku selamat?" tagih Kevin.
"Selamat ya. Jangan bandel di sana," ia memaksakan senyumannya.
"Emang selama ini aku bandel?" tanya Kevin sok polos.
"Orang tua kamu gimana? Mereka setuju kalau kamu ninggalin UI? Kan udah bayar UKT," ia mengingatkan.
"Mereka mah setuju-setuju aja sama keputusanku," kata Kevin sambil mengibaskan tangannya. "Apalagi IPDN ga bayar uang kuliah. Mereka makin senang," ia mengingat kembali respon bahagia Ibunya ketika ia bercerita bahwa ia diterima di sana.
"Kalau gitu harusnya Sandi aja yang kuliah ke sana," gumam Maria teringat akan teman mereka yang cerdas tapi kurang mampu itu. "Apalagi dia malah nolak tawaran Bidik Misi," ia menambahkan. Sandi menolak tawaran Bidik Misi dari sekolah dengan alasan ada orang lain yang lebih membutuhkan. Gentleman sekali.
"Sandi udah keterima di PKN STAN," Kevin berbagi informasi.
"Kamu tahu darimana?"
"Sandi cerita waktu kebetulan ketemu."
"Jurusan?"
"D-III BC. Lumayan tuh. Makanya dia rela ninggalin Teknik Elektro UGM."
"Kok kalian pada ke kedinasan, sih?" tanya Maria. "Yang semi militer lagi. Ga takut jadi korban senioritas di sana?"
"Coba aja kalau seniornya berani," Kevin memamerkan senyuman khasnya.
Entah kenapa, Maria teringat pada berita mengenai kekerasan yang kerap terjadi di perguruan tinggi kedinasan. Ia jadi membayangkan seandainya Kevin tiba-tiba pulang dengan tubuh penuh luka hasil penganiayaan senior. Oh tidak.
"Ga usah khawatir. Aku bisa jaga diri," Kevin menenangkannya.
Ia mengernyit heran. Kevin tahu darimana ia khawatir?
"Ekspresi wajahmu itu ga bisa bohong, Mar. Keliatan banget kalau kamu khawatir," ia nyengir. "Aku senang sih... ternyata Maria mikirin aku," katanya sambil mengusap rambut Maria.
"Itu semi militer kan? Emang Kevin bakal tahan?" Maria masih mencoba membujuk Kevin agar tidak jadi meninggalkan UI. Ia sudah merasa terlalu nyaman bersama Kevin sampai rasanya tidak rela jika mereka kuliah di tempat yang berjauhan. Ditambah lagi Kevin sepertinya tidak cocok kuliah di tempat seperti itu.
"Ga masalah. Kamu ingat guru olahraga kita waktu SMP? Diajarin sama anggota pasukan khusus aja aku tahan. Ini mah kecil," katanya santai.
"Emang kamu sanggup ngikutin disiplinnya mereka? Bangun pagi, apel, upacara, pakai seragam, tinggal di asrama," gumam Maria.
"Mar, kok kamu kaya ga ikhlas aku kuliah di sana sih?" tanya Kevin heran. Baru kali ini Maria mempertanyakan keputusannya. Biasanya gadis itu mendukung keputusan yang ia ambil.
Kali ini Maria terdiam. Ia bingung harus berkata apa pada teman baiknya itu. "Bukan ga ikhlas. Tapi kayanya kamu ga cocok di sana, Kevin," ia menjelaskan.
"Ga cocok gimana? Aku fleksibel, kok," kata Kevin sambil nyengir.
Ia berusaha memilih kata yang tepat. "Eng..." gumamnya. "Kamu itu orangnya rebel, Kar. Kamu ga bisa dikekang oleh aturan yang banyak gitu. Terus kamu malah mau kuliah di tempat yang buat jalan aja ada aturannya. Sampai berapa lama kamu tahan di sana?" tanya Maria kesal. Apa Kevin tidak mengerti? Dia tidak akan tahan berkuliah di sana. Tempat itu lebih cocok untuk anak kelas XII A-1 yang fanatik aturan dibandingkan mereka.
Tidak. Kevin akan tertekan jika ia kuliah di sana. Ia tidak cocok mengenakan seragam coklat ketat yang konyol itu. Ia tidak cocok dengan potongan rambut ala militer. Ia tidak cocok melangkah dengan pose sok gagah. Ia tidak pantas dengan semua itu. Kevin adalah sosok pemberontak yang bebas. Berada di tempat seperti itu hanya akan memasung kebebasan dan talentanya.
Hening sejenak. Kevin terdiam memikirkan apa yang akan ia katakan untuk menenangkan temannya. Sejujurnya segala hal yang diucapkan Maria masuk akal baginya. Ia benci aturan dan tidak suka diatur. Akan tetapi, menjadi praja IPDN adalah jalur tercepat untuk mencapai cita-citanya menjadi birokrat.
"Cuma empat tahun, Mar. Setelah itu aku langsung kerja di Kemendagri. Nanti karirku bisa cepat maju, kok," katanya menenangkan gadis itu.
Maria masih tampak skeptis. "Terus gimana kalau nanti kamu ditempatkan di wilayah konflik, atau perbatasan, atau daerah antah-berantah?"
"Itu udah resiko," jawab Kevin. Maria tersenyum mendengar jawabannya. Temannya ini memang memiliki rasa patriotisme yang tinggi. Kalau dia sudah siap dengan segala risikonya, Maria bisa apa selain menerima keputusannya dengan lapang dada?
"Yaah... mau gimana lagi," gumamnya.
"Tenang aja. Ada pesiar tiap minggu, kok. Kita bisa ketemuan hari Sabtu," ia tersenyum.
"Janji ya," kata Maria sambil mengulurkan kelingkingnya.
"Iya. Janji," Kevin menjawabnya sambil menautkan kelingkingnya.