Hamufield
Jam istirahat siang baru saja berakhir. Para murid mulai memasuki kelas kecil yang terlihat tua itu, dan salah satu dari mereka adalah Cassie. Gadis itu melangkah cepat ke arah Jun Su yang sudah duduk di mejanya, sibuk mengerjakan sesuatu di buku catatannya.
Cassie meletakkan tumpukan buku di meja Jun Su, membuat sang pemilik meja mendongak dan menatapnya dengan pandangan bertanya. Gadis berambut coklat kemerahan itu memanyunkan bibirnya.
“Aku tidak mengerti. Kau harus mengajariku.” Cassie menjatuhkan diri ke tempat duduknya dan meletakkan kepalanya di meja.
Jun Su hanya mengangkat sebelah sudut bibirnya dan menggeleng. Gadis itu selalu seperti itu. Sialnya, Jun Su sudah terjebak untuk duduk di sebelah gadis itu sejak hari pertamanya masuk sekolah di Hamufield; ia tidak akan bisa menghindar untuk tidak membantu teman sebangkunya.
“Jadi, dari mana kita mulai?” Jun Su mulai menata satu per satu buku itu di meja besar yang menyatu dengan meja Cassie dan teman-teman sebelahnya. Ya, di Hamufield semua meja sekolah merupakan meja kayu yang panjang dan menyatu, bukan meja-meja perorangan seperti di Seoul.
“Dari awal.”
Jun Su segera memalingkan wajahnya menatap gadis yang terlihat serius itu, “Apa?”
Yoo Chun berjalan pelan mengikuti guru barunya yang terlihat ramah. Yoo Chun masih tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia terbangun di Seoul, lalu tempat ini, lalu kembali ke Seoul, dan hari ini ia kembali berada di tempat yang masih asing baginya ini.
Sekolah barunya tidak sebesar sekolahnya di Seoul, tapi sekolah ini memiliki bangunan yang unik di matanya. Sekolah yang terlihat tua ini seakan seratus persen terbuat dari kayu. Di balik sekolah berlatai lima itu, Yoo Chun bisa melihat hutan yang entah di mana ujungnya.
“Yoo Chun, masuklah. Ini ruang kelasmu yang baru.”
Yoo Chun mendongakkan kepalanya menatap guru barunya yang tersenyum ramah dan berjalan pelan memasuki kelas barunya.
“Anak-anak, ini adalah teman baru kalian: Yoo Chun.”
“Halo, Yoo Chun!” anak-anak di kelas terdengar ramah, tapi Yoo Chun masih belum berani mendongakkan kepalanya dan melihat wajah teman sekelasnya yang baru.
“Yoo Chun, kau tidak mau memperkenalkan diri?” suara ramah walikelasnya kembali terdengar, namun Yoo Chun tidak menjawab. Ia hanya memandang ujung sepatu barunya; pemberian Eaton kemarin.
Jun Su memandang Yoo Chun yang terlihat malu. Jun Su tersenyum kecil pada dirinya sendiri, teringat akan hari pertamanya memasuki kelasnya di Hamufield.
Jun Su kembali terfokus pada Yoo Chun yang belum mengangkat kepalanya sejak awal memasuki kelas. Sesuatu dalam diri Yoo Chun juga mengingatkannya pada dirinya sendiri di Seoul.
Sangat kontras dengan dirinya di tempat ini, Jun Su tidak bisa bercanda dengan teman-temannya di Seoul. Jun Su bahkan tidak bisa memandang wajah mereka dan selalu berjalan dengan tertunduk.
“Kalau begitu, duduklah dulu. Kau bisa berkenalan dengan yang lainnya nanti.”
Yoo Chun lega guru barunya tidak memaksa. Yoo Chun mendongakkan sedikit kepalanya untuk melihat ke depan, tapi ia kembali membeku di tempatnya. Hanya ada sedikit anak di ruang kelas itu, dan mejanya menyambung menjadi satu di setiap deretnya. Ia dapat merasakan semua mata tertuju padanya, dan Yoo Chun dapat merasakan keringat dingin memenuhi dahi dan punggungnya.
“Duduklah di sini!” seorang anak tersenyum lebar dan menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahnya dengan mata berbinar dan senyum lebar.
Melihat wajah ceria anak itu membuat Yoo Chun merasa benar-benar lega. Ia berjalan lurus ke arah anak yang masih memandangnya dengan senyum lebar, lalu mengambil tempat di barisan terdepan itu.
“Hei, aku ingat melakukan itu padamu dulu!” Cassie menyikut pelan lengan Jun Su.
Jun Su tersenyum lebar dan mengangguk, “Aku melakukannya karena itu.”
Dalam diam, Yoo Chun duduk di sebelah Jun Su dan melepas tasnya.
“Namaku Jun Su.” Jun Su menjulurkan kepalanya tepat di hadapan wajah Yoo Chun yang sedikit tertunduk, membuat anak baru itu sedikit tersentak kaget.
Yoo Chun menatap wajah Jun Su untuk beberapa saat. Ia hanya bisa terdiam. Kemarin Yun Ho, dan sekarang Jun Su. Keduanya benar-benar terlihat seperti orang Korea. Sebisa mungkin Yoo Chun mengingatkan dirinya untuk tidak berbicara menggunakan bahasa Korea, atau menyinggung-nyinggung tentang Seoul. Tatapan bingung dan cemas kedua orang tua barunya kemarin masih tergambar jelas di kepala Yoo Chun saat ia berusaha bertanya jalan pulang. Tidak peduli apakah ini hanya mimpi, kenyataan, atau ia sudah tidak waras lagi, Yoo Chun hanya tidak mau teman-teman barunya langsung menjauh atau mengganggunya. Yoo Chun sudah memutuskan untuk merahasiakan kehidupannya di Seoul.
“Aku Cassie!” seorang gadis berambut merah panjang segera menggeser Jun Su dan tersenyum lebar ke arah Yoo Chun, membangunkan Yoo Chun dari pikiran-pikiran yang memenuhi kepalanya.
“Paman Duke!” Eaton berjalan cepat memasuki penginapan, tidak mempedulikan tatapan heran orang-orang di sekitarnya.
Duke hanya mengerutkan kening melihat wajah cerah Eaton dengan senyum lebarnya yang berjalan tergesa-gesa ke arahnya.
“Aku ingin meminjam telponmu. Apa sekarang bisa?” suara Eaton terdengar lebih keras dan lebih bersemangat dari biasanya.
Duke tertawa kecil, “Tenangkan dirimu, Nak. Kenapa tiba-tiba ingin meminjam telpon? Kau sudah mengirim banyak surat kemarin.”
Di Hamufield, orang-orang biasa mengirim surat untuk orang-orang yang tinggal jauh. Hanya ada satu dua telepon di kota kecil ini; telepon milik penginapan Duke yang disewakan untuk umum, dan telepon pribadi untuk mengatur masalah pemerintahan milik keluarga besar walikota.
“Aku harus memesan banyak pakaian dari kenalan lamaku.” Eaton masih terlihat tergesa dengan peluh di wajahnya.
“Ya, tentu. Pakailah.” Duke kembali tertawa dan menepuk-nepuk pundak pemuda di hadapannya.
“Dia benar-benar bersemangat memiliki seorang putra.” Ann muncul dari dapur dengan tiga gelas cangkir teh di nampan.
“Sepertinya Eaton tidak akan menjual pakaian anak-anak lagi. Semua pakaian itu adalah untuk anaknya!” seorang laki-laki tua menimpali dengan nada bercanda dari tempat duduknya.
“Anda tidak perlu khawatir, aku akan memesan banyak pakaian.” Eaton berbalik menatap laki-laki tua yang sudah menjadi langganan tempat itu, masih dengan senyum lebar dan gagang telepon yang menempel di pipi dan telinganya.
Seperti biasa, rumah sakit kecil itu benar-benar sepi. Tak ada satu pun pasien di sana.
Janiece mengerutkan keningnya dengan heran. Sudah beberapa kali ia melihat Melanie melirik jam di tangannya.
“Ada masalah?” wanita berkulit hitam dengan rambut keriting itu akhirnya menghampiri Melanie.
Satu-satunya rekan perawat Janiece itu tersenyum lebar dan menggeleng, “Aku hanya ingin cepat pulang.”
Melihat senyum Melanie yang berbeda dari biasanya, Janiece menyeringai, “Kau sudah merindukan anak barumu?”
Melanie tertawa dan mengangguk, “Bagaimana kau tahu?”
“Aku melihat kakakku mengalami hal yang sama, sayang.” Janiece menggoda Melanie, mendekatkan wajahnya pada gadis berhidung mancung itu.
“Benarkah?” Melanie menangkupkan pipinya yang mulai memanas.
“Kau belum menceritakan apa pun tentang anakmu. Sekarang berhentilah melirik jarum jam dan mulailah bercerita.” Janiece mendudukkan dirinya di hadapan Melanie, mereka hanya terpisahkan oleh meja kotak tempat Melanie menerima pasien yang baru datang.
“Namanya Yoo Chun.” Melanie memulai deskripsinya dengan malu-malu. “Dia hanya beberapa bulan lebih tua dari Jun Su, anak bungsu Nyonya Han.” Melanie melirik Janiece yang memberi sinyal untuk melanjutkan. “Kami belum mengobrol banyak, tapi kurasa dia sangat pendiam dan pemalu.”
Janiece hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
Melanie sedang memikirkan apa lagi yang harus ia katakan tentang Yoo Chun saat pertanyaan dalam kepalanya tiba-tiba muncul, “Oh ya, kau tahu tentang Seoul?”
Janiece mengerutkan keningnya, “Seoul?”
“Ya, Seoul. Itu adalah nama suatu tempat.”
Janiece menggeleng, “Aku belum pernah mendengar nama itu. Mungkin kau bisa mencarinya di perpustakaan kota.”
Melanie menghembuskan nafasnya perlahan dan mengangguk mengerti.
“Ada apa dengan tempat itu?” Janiece dapat membaca raut wajah tidak nyaman pada sahabatnya itu.
“Yoo Chun menyebut-nyebut tempat itu kemarin. Dia juga mengucapkan kata-kata yang tidak kami mengerti. Apa mungkin itu tempat asal Yoo Chun?” Melanie menatap lurus mata Janiece.
Janiece tersenyum simpatik, “Hanya kurcaci-kurcaci yang tahu dari mana asal Yoo Chun.”
Ya, kurcaci. Legenda di Hamufield mengatakan bahwa semua penduduk baru yang datang secara tiba-tiba dan misterius itu berasal dari para kurcaci.
“Bukankah kau tinggal dengan Eaton dan Melanie?” Jun Su memulai percakapan setelah lonceng tanda istirahat dibunyikan.
Yoo Chun hanya mengangguk. Ia bahkan tidak berani menatap mata lawan bicaranya.
“Hei, Yoo Chun! Mau anggur?” Cassie menyodorkan sekotak anggur segar. “Ini adalah satu-satunya anggur di Hamufield.”
Yoo Chun menggeleng kecil, “Tidak, terima kasih.”
“Ini enak! Aku tidak bohong.” Cassie masih menyodorkan anggur-anggur segar itu dengan sebelah tangannya yang terjulur.
Yoo Chun masih diam saat Cassie mengambil sebutir anggur dan memaksa Yoo Chun memakan anggurnya.
Dengan sedikit kaget dengan paksaan tangan Cassie, Yoo Chun akhirnya mengunyah anggur itu. Cassie dan Jun Su tertawa geli dengan reaksi wajah Yoo Chun.
“Bagaimana? Enak 'kan?” Cassie tersenyum lebar.
Yoo Chun menelan anggurnya dan mengangguk.
Jun Su menunggu Yoo Chun untuk sedikit lebih tenang sebelum mengalihkan pembicaraan, “Apa kau ada acara sepulang sekolah nanti?”
Yoo Chun terlihat berusaha menginat jadwalnya sebelum ia menggeleng pelan.
“Bagus! Kita bisa bermain bola sepulang sekolah nanti!” Jun Su tersenyum lebar.
“Tapi, aku tidak bisa bermain bola.” Yoo Chun bersuara pelan dan terdengar ragu.
“Aku akan mengajarimu nanti. Aku juga akan mengenalkanmu pada Yun Ho dan Jae Joong.” Jun Su terdengar begitu bersemangat, tapi pikiran Yoo Chun sudah penuh dengan kecemasan.
Yoo Chun menggigit bibirnya. Ia harap teman-teman barunya tidak akan mengerjainya.
Udara sore berhembus menyejukkan para remaja laki-laki yang terlihat bersemangat dengan permainan sepak bola rutin mereka. Keringat sudah membasahi wajah dan sekujur tubuh, tetapi gerakan kaki mereka masih terlihat begitu cepat dan lincah; kecuali sang anak baru dalam tim itu. Baru sebentar Yoo Chun bermain, tapi ia sudah menyerah. Nafasnya terasa berat, wajahnya merah, dan tubuhnya yang dipenuhi peluh terasa terbakar.
“Kau baik-baik saja?” Yun Ho menepuk-nepuk pundak Yoo Chun yang terlihat kesulitan untuk bernafas.
Yoo Chun hanya mengangguk tanpa sanggup mengucapkan apa pun.
“Istirahatlah dengan Jae Joong.” Yun Ho tersenyum menenagkan dan berjalan pelan menuntun Yoo Chun ke pinggir lapangan.
Jae Joong tersenyum dan memberikan air mineral begitu Yoo Chun duduk di sampingnya.