Seoul, Musim Dingin, 1998
Kamar Yoo Chun yang terasa begitu sepi dan dingin dipenuhi oleh suara teriakan dan umpatan yang menyelinap masuk melalui celah pintunya yang tertutup. Pemilik kamar itu hanya bisa bersembunyi dalam selimut besarnya, berusaha memblokir semua suara menyakitkan itu. Walau ini bukanlah hal baru bagiya, Yoo Chun tetap tidak bisa mengerti mengapa orangtuanya selalu bertengkar; kali ini lebih keras dari biasanya.
Air mata tidak berhenti mengalir dari pipi Yoo Chun. Ia merindukan saat-saat ia dan kedua orangtuanya menghabiskan waktu bersama. Sebuah keluarga kecil yang harmonis… hanya itu yang ia minta.
Waktu sudah menunjukkan pukul dua malam saat Yoo Chun akhirnya tertidur dengan air mata yang masih membasahi pipi dan bantalnya; ditemani oleh suara kedua orangtuanya yang saling berteriak satu sama lain di lantai bawah.
Hamufield
Waktu menunjukkan pukul dua malam saat Melanie memandang Eaton yang tertidur pulas. Lagi, Melanie terbangun oleh mimpi buruknya. Suara-suara yang memenuhi kepalanya setiap malam sudah membuatnya tidak bisa tidur belakangan ini, dan sekarang mimpi buruk yang kerap membangunkan tidurnya membuat wanita berusia tiga puluh dua tahun itu semakin kelelahan.
Melanie memandang kosong ke luar jendela yang dipenuhi kegelapan dan suara-suara angin kencang di tengah musim dingin. Rasa sepi dan hampa kembali menusuk dadanya. Ada sesuatu yang kurang dalam keharmonisan rumah tangganya dan Eaton.
Melanie memejamkan matanya dan membiarkan air mata menetes dalam diam. Ia tidak mengerti kenapa ia dan Eaton belum juga memiliki anak. Mendengar seseorang memanggilnya ‘ibu’, hanya itu yang ia inginkan…
Seoul
Jun Su mengambil tempat di sebelah Jun Ho yang sedang melahap sarapannya. Di keluarga Kim, Jun Su selalu menjadi orang terakhir yang bangun; bukan karena ia tidur larut malam, tapi karena ia ingin berada di Hamufield lebih lama. Ya, Jun Su sudah menyadari banyak hal anatara Seoul dan Hamufield. Seoul pagi hari adalah Hamufield malam hari. Jika hari ini adalah Senin maka saat ia terbangun di Hamufield nanti, Senin pagi juga akan menyambutnya. Belakangan ini Jun Su bahkan sudah bisa mengatur bagaimana caranya tidur di Hamufield tanpa terbangun di Seoul. Rasanya menyenangkan dan nyaman untuk benar-benar tidur di Hamufield. Udaranya berbeda, suasananya berbeda. Jun Su cukup bangga dengan kemampuan barunya meskipun Nyonya Kim sempat ketakutan saat kali pertama Jun Su tidur selama dua hari penuh.
“Jun Su, Eomma memiliki hadiah kejutan untukmu.” Nyonya Kim tersenyum lebar pada Jun Su yang baru memulai sarapannya.
Jun Ho hanya diam dan pura-pura tidak dengar. Tidak, bukan karena Jun Ho iri mengapa hanya Jun Su yang diberi hadiah, tapi justru kebalikannya; karena ia merasa tidak enak. Tepatnya, Jun Ho merasa kasihan pada Jun Su.
Jun Ho melirik ayahnya yang langsung terlihat kehilangan selera makannya. Ia tahu ayahnya juga merasakan hal yang tidak menyenangkan akan terjadi.
“Kejutan!” Nyonya Kim menyodorkan sebuah jepit pita yang cukup besar.
Jun Su hanya memandang jepit pita itu dalam diam; tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sementara itu Jun Ho sudah tersedak oleh makanannya. Benar-benar sesuatu yang buruk.
“Apa yang kau lakukan?” Tuan Kim menatap istrinya dengan mata yang membulat.
“Kenapa?” Nyonya Kim meninggikan suaranya pada Tuan Kim yang hanya menghela nafas dan memijit-mijit pelipisnya.
“Bagaimana? Kau menyukainya?” Nyonya Kim kembali beralih pada Jun Su dengan cepat. “Eomma melihat ini saat berjalan-jalan dengan teman Eomma. Pita ini sangat manis, ‘kan? Pasti cocok denganmu.” mata Nyonya Kim sudah berbinar senang, memandang pita di tangannya dan rambut hitam Jun Su bergantian.
“Kau tidak perlu memakainya kalau tidak suka.” Tuan Kim memandang Jun Su dengan lembut.
“Apa yang kau katakan? Tentu saja Jun Su menyukainya.” Nyonya Kim segera berdiri dari kursinya dan memakaikan jepit pita itu pada Jun Su.
“Lihat, anak Eomma sangat manis.” Nyonya Kim memandang Jun Su yang hanya memaksakan senyum kecil pada Nyonya Kim, meskipun Tuan Kim dan Jun Ho tetap dapat mendapati ekspresi Jun Su yang terluka.
Jun Su hanya menghabiskan sarapannya dalam diam; merasa tidak nyaman dengan sesuatu di kepalanya, walaupun itu tidak ada apa-apanya ketimbang rasa tidak nyaman di dadanya.
Jun Ho melirik Jun Su yang berjalan dengan kepala tertunduk.
Ya, bagaimana Jun Su bisa berjalan tegak dengan pita besar di rambutnya? Orang-orang yang melihatnya pasti akan melemparkan pandangan aneh. ‘Bahkan di Hamufield laki-laki tidak mengenakan pita seperti itu.’ Jun Su menghela nafas tanpa sadar.
“Kau bisa melepas pita itu sekarang. Aku tidak akan bilang Eomma.” suara Jun Ho membuyarkan pikiran Jun Su.
Jun Su segera melepas pita itu dan menyimpannya di tas tanpa memandang mata Jun Ho yang iba padanya, merasa lega karna ia tidak mau diledek habis-habisan di sekolah. Walau pun tidak pernah benar-benar mengungkapkannya, tetapi Jun Su selalu merasa berterimakasih pada Jun Ho atas pengertiannya.
Pagi hari selalu tidak begitu menyenangkan bagi Yoo Chun. Mata merah dan kantung mata tebal terlihat jelas. Bocah dengan rambut ikal kecoklatan itu sudah membayangkan hukuman yang akan diberikan penjaga sekolah nanti; ia terlambat lagi.
Minggu lalu Yoo Chun akan berlari kencang agar tidak terlambat, tapi sudah beberapa hari terakhir ini Yoo Chun benar-benar pasrah. Ia hanya berjalan santai dengan tatapan menghakimi orang asing di sekelilingnya yang sepertinya tahu ia terlambat, atau bahkan berpikir ia akan membolos. Yoo Chun tidak peduli.
Yoo Chun menghela nafas dan berjalan lemas di balik pintu gerbang sekolah yang sudah tertutup. Ia bisa melihat beberapa anak lain menjalani hukuman di halaman sekolah.
“Park Yoo Chun. Terlambat lagi?” guru yang selalu ditemuinya setiap pagi ini melipat tangannya.
Yoo Chun menelan ludah. Ia sudah cukup kelelahan untuk menerima hukuman berat pagi ini.
“Maaf.” Yoo Chun hanya bisa menggumam kecil. Ia bahkan tidak pernah memiliki energi untuk memberi alasan apa pun sejak hari pertamanya terlambat.
Guru laki-laki di awal kepala empatnya itu menghela nafas, “Ikutlah denganku.”
Yoo Chun hanya bisa pasrah dan berjalan lemas di belakang Guru Lee. Yoo Chun bisa merasakan tatapan ngeri anak-anak lain yang sedang menjalani hukuman di lapangan saat Yoo Chun melewati mereka dan memasuki gedung sekolah bertingkat tiga itu.
Langkah Yoo Chun sedikit terhenti ketika Guru Lee melanjutkan langkahnya menuju lantai tiga. ‘Bukankah ruang guru di lantai dua?’ Yoo Chun mengernyitkan dahi, tetapi ia tetap patuh mengikuti sosok guru olah raga itu dalam diam.
Yoo Chun hanya bisa terdiam kaku saat mereka sudah berdiri di atap sekolah. Ia tidak bisa menebak jalan pikiran guru senior itu.
Guru Lee segera duduk bersandar pada tembok tua yang meneduhkannya dari sinar matahari pagi sembari menghembuskan nafasnya dengan lelah. Ia tidak bisa menutupi umurnya yang sudah membuatnya kelelahan dengan anak tangga yang didakinya. “Duduklah.” guru Lee menepuk lantai di sebelahnya.Tidak seperti dugaan Yoo Chun, guru yang akhir-akhir ini selalu menghukumnya di lapangan itu terlihat santai dengan nada suara yang menyenangkan.
Ragu-ragu, Yoo Chun menurut dan duduk di sebelah guru Lee yang terlihat menikmati hembusan angin pagi dari ketinggian.
“Ceritakan padaku apa yang terjadi.”
Jun Su baru saja mengeluarkan buku pelajarannya saat teman sebangkunya berdiri dan menunjuk tas Jun Su sembari berteriak keras, “Lihat! Jun Su membawa pita anak perempuan!” dan Jun Su bisa mendengar jelas tawa teman-teman sekelasnya.
Jun Su hanya menunduk malu meski hari-harinya selalu dipenuhi dengan ledekan semacam itu. Tidak peduli bagaimana orang-orang menertawakannya setiap hari, Jun Su masih tidak bisa terbiasa dengan itu.