Seoul, Musim Panas 1996
Ji Hyo dan Ji Hye terlihat menangis kencang di pojok dapur kediaman keluarga Shim.
“Chang Min! Sudah Eomma bilang untuk menjaga adik-adikmu!” Nyonya Shim tidak henti-hentinya mengomel.
Chang Min hanya menunduk dan menangis. Ia merasa itu bukan salahnya, tapi ia tidak bisa mengatakan apa pun selain terus menangis.
Seoul
Keguguran? Janinnya bahkan belum genap empat bulan!
Nyonya Kim hanya terduduk lemas di sudut ranjangnya, ia tidak bisa menahan air matanya untuk keluar. Dokter bilang ia tidak akan bisa memiliki anak lagi. Harapannya untuk memiliki anak perempuan sudah hancur.
Jun Su melihat punggung ayahnya yang duduk diam di sofa ruang tengah. Meski hanya bisa melihat punggung ayahnya, Jun Su dapat merasakan aura sedih yang memenuhi rumah itu sejak kedua orang tuanya pulang beberapa waktu lalu.
Ada yang ganjil. Jun Su tidak melihat ibunya yang biasanya selalu menempel pada Tuan Kim. Ia juga tidak mendapat sambutan suara riang ibunya tiap kali mereka pulang. Untuk beberapa saat, Jun Su hanya berdiri diam di tempatnya, sementara Tuan Kim sama sekali tidak menyadari keberadaan Jun Su di sana. Ia tenggelam dalam tatapan kosongnya pada TV besar di hadapannya yang hanya menampilkan layar gelap dan banyangannya sendiri.
Kaki kecil Jun Su akhirnya beranjak dan membawanya ke kamar orangtuanya. Ia hanya cukup mendorong pintu yang tidak tertutup rapat itu agar tubuh kecilnya bisa masuk.
Ibunya menangis. Ini adalah kali pertama Jun Su melihat ibunya menangis.
Jun Su memanjat tempat tidur orangtuanya dengan lincah. Ia mengambil tempat di sebelah Nyonya Kim dan hanya duduk diam di sana. Memandangi ibunya dengan mata polosnya yang jernih dan kini turut terlihat sedih.
Nyonya Kim yang baru menyadari kehadiran putra bungsunya itu segera berusaha menghentikan tangisannya. Ia memeluk Jun Su erat-erat.
Setidaknya ia masih memiliki putra kesayangannya...