Wajah Red pucat pasi. Kaki kanannya terus-terusan mengetuk tanah dengan ujung sepatu sketsnya. Ia tidak terlalu nyaman berdiri di antara gosip para orangtua. Sudah sekitar dua jam Red menunggu Max pulang, dan dua jam itulah keberadaannya menjadi bahan pembicaraan terbaru bagi mereka. Khususnya Ibu-Ibu. Mereka berkumpul mengelilingi Red seraya berbisik walau Red mampu mendengar jelas apa yang orang tua itu bicarakan. Rambut merah Red, juga gaya berpakaiannya semakin menambah poin plus. Sayangnya ia tidak sempat membawa topi untuk menutupi surai unik itu. Red mengantungkan kedua tangannya di saku jaket bomber hitam, berharap Max cepat datang supaya ia bisa langsung pergi menghindari tatapan aneh mereka.
Red melirik ke gedung sekolah yang dibatasi pagar hitam di hadapannya. Nampak megah, dan memiliki taman bermain anak-anak seluas dua lapangan sepakbola. Sungguh, apartemen Red bahkan tidak sebesar taman itu. "Roselands International, ya..." batinnya membaca spanduk yang terpasang di tiang sekolah Max. Nama yang terlalu bagus untuk sebuah gedung belajar.
"Hei! Tante!" teriak seseorang dari kejauhan tengah berlari ke arah Red.
Red mengerutkan dahi. "Huh?" Tidak ada yang pernah sekurang ajar itu. Ia masih cukup muda. Anak kecil di apartemennya pun memanggilnya 'kakak.'
Lelaki berumur delapan tahun kemudian mendekati sang gadis. "Kau yang disuruh Ibu untuk menjemputku, bukan?" tanya nya diiringi nada menyebalkan, lalu berhenti di depan Red.
"Max... Wade?" Red menunduk, memastikan apakah wajah lelaki menjengkelkan itu sama dengan foto yang diberi Floyd. "Yah benar," lanjutnya mengangguk-angguk. Memang benar apa yang dipikirkannya. Tidak beda dari tipe anak nakal pada umumnya. Dua kancing atas seragam Max tidak terkancing. Poni pirang Max disisir asal ke samping dengan gel. Selain sibuk menghisap permen lollipop orange, Max sendiri sepertinya terbiasa tidak mendengarkan apa kata orang yang lebih tua. Red sudah menyuruhnya mengenakan helm supaya Red langsung membocengnya pulang.
Max menyibak surainya ke belakang dahi. "Kau tidak memiliki mobil?" Mendengar ucapan Max yang terdengar mengejek, Red hampir saja melontarkan sumpah serapah. Seumur hidup baru kali ini ia direndahkan oleh seorang anak yang bermain saja masih harus diawasi. Sutradara Snory juga tidak pernah mengatakan hal yang membuat Red kesal setengah mati.
Red menghela napas. "Mohon maaf, Yang Mulia."
Max mendecih, lalu menaiki motor sebelum Red marah. "Apa kau baru pulang kerja? Jaketmu bau debu." Kedua kalinya Max berceloteh sampai Red berusaha menahan amarahnya yang memuncak. Setidaknya Max bisa bertanya tanpa mengoloknya.
Mereka berdua pun berangkat. Max hanya melingkarkan kedua lengan ke pinggang Red supaya saat motornya mengerem, anak itu tidak terjungkir balik ke jalan raya. Mereka tidak cocok satu sama lain. Hobi mereka berbeda, dan tidak ada yang mereka bicarakan di perjalanan. Namun kedua mata hijau Max berbinar-binar begitu melihat mobil melintas.
"Ternyata kau suka mobil-mobilan, huh. Setidaknya hobinya sama seperti anak kecil di sekitar apartemenku." Red tersenyum miring. "Apa kau mengoleksi mobil mainan?" tanya nya tanpa menoleh ke arah Max yang mengagumi ornamen mahal mobil yang berjejer di sepanjang jalan.
Max menggeleng. "Tidak!" Max langsung membenamkan kepalanya ke punggung Red. Namun ia sempat melihat pipi Max yang merona dari kaca spion motor. Reaksi Max nampak lucu, dan anehnya, Red refleks ikut tersenyum lebar. "Menurutku, itu keren. Begitu saja!"
"Terserah apa katamu. Kalau kau suka, jujur padaku. Lagipula aku selalu tahu kapan kau berbohong." Red terkekeh, lalu belok kepersimpangan dekat lampu merah. Sebuah gedung bergaya eropa yang hampir setinggi lima lantai apartemennya terbuka untuknya. Papan nama bertuliskan Bushvalle Bank terpajang tepat di atap gedung itu. Red mematikan, dan mengunci motornya di parkiran.
Max hendak bertanya apa yang dilakukan Red. Namun Red menyuruhnya
Max memajukan bibir. "Aku ingin ke toilet."
Red mendelik. Ia tidak tahu harus bagaimana. Apakah anak kelas dua SD itu lebih baik dibiarkan pergi sendiri ke toilet, atau harus ditemani? Ia tidak memerhatikan bagaimana orangtua merespon pada hal ini. Alih-alih menjawab ucapan Max, Red malah terdiam.
"Aku bisa melakukannya sendiri, tante." Max seolah mengetahui apa yang kini dipikirkan Red.
"Apa kau tahu di mana arahnya?"
Max mengangguk cepat, lalu berlari ke ruangan di ujung yang berstiker tulisan 'toilet.' Selama menunggu Max selesai, Red mengisi waktunya dengan mengantri ATM. Ia tidak sabar melihat saldo uang gaji tambahannya. Hari ini adalah harinya gajian, dan biasanya sutradara Snory yang langsung transfer ke rekeningnya. Tentu, Red akan menghabiskan uangnya untuk membeli bahan makanan. Red sejenak termenung. Tatapannya beralih ke lantai. "Apa sebaiknya aku sisihkan...? Aku mampu membelikan mainan berbentuk mobil. Max pasti senang sekali, kan," gumamnya sedikit malu.
Keramaian pengunjung, juga staff bank berlalu lalang mengusik telinga Red. Setiap kata yang berbeda-beda keluar dari mulut mereka. Jika ia tidak seksama, mungkin ia kesulitan membedakan apa yang tengah mereka bicarakan. Telinganya cukup tajam, dan ingatannya kuat walau bertahan sekitar seminggu saja. Namun sayangnya, ia melewatkan satu hal.
Awalnya tidak ada yang terjadi. Semua orang asyik berbincang. Para staff sibuk bekerja. Pengunjung tengah mengisi formulir di bilik lain sedangkan ada yang mengantri bersama Red sampai akhirnya pintu terbuka lebar. "Tiarap!" Beberapa lelaki berpakaian hitam datang membawa senapan. Jujur, semuanya terkejut. Tidak terkecuali Red.
Red bergegas bersembunyi di balik meja, memperhatikan gerak-gerik perampok yang tiba-tiba datang. Ketakutan menguasai pikirannya. Bayangan dirinya sendiri bahkan bagaikan sosok jahat itu, menghantui kelemahannya kian dalam. Entah apa yang terjadi, dan Red tahu ia harus kabur.
"Jangan lari," bisik salah satu staff bank yang kebetulan menelungkup di dekatnya.
Red menelan ludah. Ia terlalu takut untuk berbicara sampai-sampai tubuhnya bergemetar tanpa sadar. Ia mengatur detak jantungnya yang semakin cepat. Keringat membasahi dahinya, dan ia berharap tidak memasuki bank hari itu. Seandainya saja Red langsung mengantar Max pulang ke apartemen, maka kejadian ini tidak menimpanya.
"Hei kau! Tunjukkan di mana brankasnya!" Semua pakaian yang mereka kenakan tidak jauh berbeda. Semuanya mengenakan masker hitam, juga membawa tas karung besar. Dengan sekali lihat, Red tidak yakin mampu membedakan kelima perampok itu.
"A, aku..." Staff wanita di sana terdengar tidak yakin.
"Cepat!"
Red menutup mata, berusaha tidak melihat apa yang terjadi pada wanita itu. Kedua perampok itu pergi mengikuti sang wanita menuju brankas berada. Sisanya mengumpulkan ponsel, lalu memastikan tidak ada yang diam-diam menelpon polisi. Mereka sengaja menodongkan pistol supaya tidak ada yang berani melawan.
"Hei lihat apa yang kutemukan!" teriak salah satunya kembali seraya menarik anak kecil. Suara rengekannya memecah kesunyian koridor bank. Semuanya iba melihat anak itu diseret ke sana kemari. Namun tidak ada yang memberanikan diri.
Red mendongak. "Max!" Akhirnya ia berteriak. Ia berdiri, lalu setitik airmata hampir membasahi pipinya. Ia tidak ingin Max terluka. Red berlari menghampiri Max. Namun langkahnya tertahan begitu mereka menodongkan senjata ke arah anak kecil itu. Ia tidak berani bergerak. Selangkah pun tidak. Jika itu membuat mereka tidak menembak Max.
Lelaki yang berdiri di dekat Max kemudian mengayunkan senjatanya ke bahu. Di balik masker hitam yang menutupi wajahnya, Red merasa ada senyum licik yang tersirat. Max tidak berani mengatakan apa pun selain isakan seolah berharap Red menolong.
"A, apa... kau tidak membawaku saja?" Red mencoba bernegoisasi untuk menukarkan Max.
Lelaki berjaket hitam bergaris putih yang Red anggap adalah ketua mereka kemudian tertawa. Anggota lainnya membujuk karena melihat paras cantik Red. Apalagi surai merahnya yang mahal jika dijual. Namun tidak. Mereka tetap menyeret Max, dan tiba-tiba saja selongsong peluru tembus melalui bahunya.
Red sontak memegang sisi bahunya yang berbalut darah. Ia akan mengejar mereka. Walau harus ke ujung dunia. Ia berlari mengikuti langkah mereka, lalu setelah menapak tujuh kali, Red membungkuk. Napasnya yang terengah-engah bahkan tidak dihiraukannya sampai hal terakhir yang dilihatnya adalah mobil yang membawa Max pergi bersama mereka. Sore itu, ia pingsan berlumuran darah tepat di lantai bank.
Entah apa yang kini dipikirkan Max. Apakah menyesal, atau ketakutan yang mendalam? Red tidak tahu. Ia merasa bodoh sudah melibatkan Max. "Aku akan membawamu pulang." Janji yang terdengar mustahil itu berputar-putar di kepala Red.