Gadis itu berlumuran darah. Tubuhnya babak belur, dan hanya dibalut kaus yang kotor. Langkahnya tertatih-tatih seraya menahan lengan kanannya yang remuk. Surai pirangnya tertiup angin seiring ia berjalan menyeret sebelah kakinya. Tidak seorang pun mencoba menolong. Di kegelapan malam, sang gadis menahan rintihan. Rasa sakit seolah menusuk setiap indranya. Namun ia tetap tegar melewati hari.
"Alexa," panggil seorang lelaki dari belakang gadis yang dipanggil Alexa itu.
Alexa menoleh, dan mendapati sosok lelaki berjas hitam diiringi para anteknya. "Apa maumu?" tanya nya sebelum melihat lelaki di hadapannya menodongkan pistol hitam. Gadis itu tidak berusaha melarikan diri. Ia setia menunggu lawannya datang. Mereka berdua kini bertukar pandang. "Menyerahlah!" Alexa berlari mendekat, dan mengerahkan tenaga terakhirnya untuk menyerang. Suara tendangan round kicknya bahkan terdengar nyaring seolah sudah meremukkan sesuatu yang keras. Mematikan, dan tepat sasaran.
"Kau... bukan tandinganku," ucap Alexa menekankan kata terakhirnya.
"CUT!" teriak seseorang saat Alexa selesai mengucapkan dialog terakhir. "Astaga! Kau memang stuntman terbaik yang kita miliki!" Sontak semua orang bertepuk tangan, mengisi suasana serius sebelumnya dengan riuh. "Tidak mengherankan mengapa bayaranmu sangat mahal." Orang itu adalah sutradara Snory, orang yang bertanggung jawab atas pengarahan film. Walau Snory sedikit ceroboh, juga aneh. Lihat, Snory mengenakan jaket berbulu di dalam studio yang panas. Semua kru pun ikut gelisah melihat segala kelakuan sutradara mereka. Namun kepintaran Snory tidak perlu diragukan. Kemampuan kepimpinannya juga hebat.
Saat para kru memindahkan kamera, seorang wanita berkacamata bulat menghampiri mereka dengan beberapa alat makeup di tangan. Brush, sponge, blush, berbagai macam barang yang asing di mata para pemeran. Mereka cenderung sibuk melatih akting, juga mengecek peralatan yang akan digunakan di skenario. Setting, kostum, properti bukanlah bidang kemampuan mereka, dan yang paling utama adalah gadis pirang yang memerankan karakter bernama Alexa itu. Ia stuntman utama di film bertema aksi. Terluka di tengah aktinya bukanlah hal yang perlu diperhatikan. Pekerjaannya sebagai pemeran pengganti memang terkadang menantang maut. Wanita berkacamata itu berjalan mendekati mereka, sibuk menata penampilan setiap aktor sebaik mungkin supaya cocok dengan deskripsi karakter di skenario.
"Red!" Itulah nama aktor pemeran Alexa. Red Foxelia.
Gadis yang merasa dipanggil sang artist makeup kemudian menoleh. "Oh maaf, maaf," ucapnya baru menyadari ia terlalu banyak bergerak sehingga makeupnya sedikit berantakan. Selama riasan wajahnya dihapus, Red melepas wig pirangnya penuh kesal. Ia benci sekali mengenakan properti yang serba rumit. Apa daya pekerjaan memaksanya begini. Red sejenak terdiam, membiarkan wanita di hadapannya menghapus pernak-pernik yang terlukis di wajah mungilnya. Seharusnya masih ada sekitar lima adegan lain. Namun kru lain harus mengurus tampilan film. Apalagi sutradara Snory yang tidak kunjung berhenti ke sana kemari disibukkan pekerjaan.
"Nah sudah. Sekarang lihat kemari."
Red menoleh sesuai perintah wanita berkacamata itu. Tidak ada lagi lipstick merah, atau hiasan tambahan. Melihat dirinya di pantulan cermin, Red langsung menghembuskan napas berat. Sepertinya ia perlu menjaga dirinya baik-baik. Tanpa bedak, kini lingkar hitam di bawah matanya nampak jelas sedangkan obat untuk kondisinya yang bagaikan mayat hidup adalah tidur. Red berdiri, mengambil tas ransel miliknya, lalu berjalan keluar dari studio.
"Aku pulang dulu!" teriaknya yang dibalas anggukan para kru.
Red melangkah ke parkiran. Ia mengenakan helm, dan tidak lama kemudian, ia menancap gas motor besar yang sepertinya terlalu berat untuk tubuh selemahnya. Iris mata merahnya memicing memperhatikan jalan raya. Ia melesat melalui keramaian mobil menuju rumah tercinta. Tidak butuh waktu lama sampai Red berhenti di depan sebuah gedung bertingkat bercat abu-abu. Jarak antara studio ke rumah memang tidak terlalu jauh. Ia mematikan motornya begitu sudah membawanya ke parkiran di samping pintu masuk.
Banyak orang, dari anak kecil hingga nenek tua menyapa Red yang pulang bekerja. Seluruh tetangga sangat senang melihat Red. Khususnya setiap lelaki remaja yang selalu dibuat kagum oleh paras cantik Red. Rambut merah bergelombangnya yang bersinar di bawah terik matahari semakin memukau. Red sendiri gemar bermain bersama anak-anak di sebelah rumahnya. Ia suka menemani mereka di hari Sabtu. Itulah mengapa Red sangat terkenal di kalangan tetangganya.
Gadis itu menaiki lift yang mengantarnya ke lantai lima. Setelah keluar, ia bergegas berbelok, dan langsung menemukan pintu kayu. Itulah rumahnya. Di antara ruangan apartemen lainnya. Red memang menyebut apartemennya sebagai rumah. Sedari dulu ia hidup sesederhana mungkin, tidak seperti aktor yang melemparkan uang hasil kerja keras untuk berfoya-foya. Apartemennya bukanlah villa mewah. Namun ia cukup puas. Sang gadis bersurai merah melangkah maju, dan kaki jenjangnya menginjak lantai keramik berwarna putih. Ia melompat ke sofa empuk yang menunggunya dipeluk. Sungguh, beristirahat seperti ini saja sudah membuat Red kembali bernyawa.
Apartemen Red tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Ukuran tepat bagi gadis yang hidup seorang diri. Hanya ada ruang tamu dilengkapi sofa, televisi kecil yang di sebelahnya adalah ruang tidur beserta kamar mandi. Sepulang kerja Red tidak sanggup bergerak lebih banyak, jadi ia langsung terlelap. Hal biasa yang dilakukannya setiap hari.
Red menutup mata, membiarkan mimpi mengalir di imajinasi bawah sadarnya. Namun sebelum ia terseret arus itu, terdengar suara ketukan pintu. Red mau tidak mau bangun. "Siapa?" tanya nya heran.
"Ini aku, Floyd Wade!" Suara khas menarik perhatian. Red pun terlebih dahulu mencuci mukanya supaya nampak lebih segar. Ia kemudian membuka pintu apartemen diiringi senyuman ceria.
Red memiringkan kepala. "Tetangga sebelah, ya," batinnya sebelum bertanya, "Ada apa?"
"Oh, tidak. Aku ingin tahu apakah kau besok bisa menjemput anakku pulang sekolah?" Floyd sedikit ragu meminta bantuan Red. Bukan karena Red tidak berpengalaman menjaga anak kecil. Namun wanita berkepang itu tidak ingin merepotkan Red, wanita pekerja yang sepertinya akan menghabiskan waktu di studio seharian.
Red menyipitkan mata, menyelidik raut Floyd. "Baiklah!" balas sang gadis seraya mengacungkan jempol kegirangan setelah bertukar pandang dengan Floyd beberapa kali. "Aku akan meminta izin pada sutradaraku."
Floyd membungkuk hormat, menandakan rasa terima kasih. "Kau satu-satunya yang bisa kupercaya. Terima kasih banyak!" Floyd mengeluarkan ponsel, lalu menunjuk ke lelaki bertubuh mungil di layar. "Ini anakku. Namanya Max Wade!"
Red mengangguk-angguk, berusaha menahan amarah saat risih melihat wajah Max yang sedikit menyebalkan. Terlihat jelas Max tidak suka difoto Ibunya, dan Red merasa Max bukanlah tipikal anak kecil pada umumnya. Bukan lelaki yang suka bermain sepeda, atau mungkin belajar sesuai perintah kedua orangtuanya. Max mengenakan kemeja biru muda berdasi navy di foto itu. Tanpa senyuman, menyisakan cemberut di wajah Max.
"Ini pertama kalinya..." ujar Red asal.
Floyd tertawa canggung. "Ya, aku tidak pernah mengenalkan Max padamu. Kau pasti kaget, ya!"
Red kemudian melirik ke arah Floyd. Padahal wanita yang asyik membicarakan anaknya itu sangat sopan. Berambut panjang, mengenakan gaun, sedikit pemalu, terdengar seperti Ibu penyayang. Jika Red bisa berganti posisi, ia mau menjadi anak Floyd. Diberi makanan rumahan bukanlah sesuatu yang remeh. Ia merasa seharusnya Max bersyukur memiliki Ibu sebaik Floyd.
Floyd mendongak ke Red yang lebih tinggi darinya. "Bagaimana? Max imut, bukan?" Floyd menunjukkan tawa termanisnya sehingga Red terpaksa menyetujui apa kata Floyd.
"Baiklah, kalau begitu tolong jemput dia." Floyd memberinya memo berisi alamat dimana Max bersekolah. "Sekali lagi, terima kasih banyak!" Floyd pergi berlari menuju apartemennya, meninggalkan Red yang masih berdiri di depan pintu. Gaun Floyd berayun ke kanan-kiri seiring tertiup angin dingin. Benar-benar wanita yang bertolak belakang dengan Red.
Red kembali masuk. Tangannya meraih sebuah ponsel lipat. Ia menekan beberapa tombol nomor, lalu mengangkatnya ke telinga kanan Red. "Halo. Maaf menganggu. Uhm... besok bolehkah aku pulang lebih awal?" Ia menelpon sutradara Snory, berharap mendapat belas kasihan. Red tidak terlalu enak hati karena ia tahu aktor yang benar-benar penting di skenario adalah dirinya sendiri. Tidak ada aktor yang mampu menyaingi Red. Aksi Red dalam memerankan Alexa benar-benar mengundang perhatian penonton sehingga Snory memaksa Red terus mengganti aktor utama.
"Alasannya?" tanya Snory di balik ponsel.
"Uhm..." Red tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan Snory. Rasanya bodoh jika ia blak-blakan bahwa harus menjemput Max pulang sekolah. Padahal itulah kenyataannya.
Terdengar helaan napas berat. "Baiklah. Sehari saja, oke?" usul Snory singkat. Entah apakah Red tengah memiliki masalah keluarga, perlu istirahat, ingin liburan, apapun itu Snory tidak tahu alasan sebenarnya. Namun Snory akan memberikan izin sehari. Cukup sehari. Tidak boleh lebih dari itu. "Kalau kau bolos lain kali, pasti kau tahu konsekuensinya, kan?" tanya Snory ketus membuat Red bergidik ngeri. Ia tidak ingin mengalami kejadian yang sama lagi. Dulu ia pernah bolos, dan akibatnya, Snory datang menyeret Red dari apartemen ke studio. Mengerikan.
"A, aku mengerti." Red mematikan ponsel.
Seharusnya menjemput Max bukanlah hal yang berat. Namun tidak ada yang menyangka satu keputusan akan mengubah kehidupan Red untuk selamanya. Max menjadi sandera sekelompok perampok.
Terulang dan Mengubah
487
353
3
Short Story
Seorang pekerja terbangun dan mengalami kejadian yang terulang-ulang. Bagaimanakah nasibnya?
Batagor (Menu tawa hari ini)
388
251
4
Short Story
Dodong mengajarkan pada kita semua untuk berterus terang dengan cara yang lucu.
Moment
328
280
0
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya
Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal
[Maaf jika ...
FaraDigma
1468
721
1
Romance
Digma, atlet taekwondo terbaik di sekolah, siap menghadapi segala risiko untuk membalas dendam sahabatnya. Dia rela menjadi korban bully Gery dan gengnya-dicaci maki, dihina, bahkan dipukuli di depan umum-semata-mata untuk mengumpulkan bukti kejahatan mereka. Namun, misi Digma berubah total saat Fara, gadis pemalu yang juga Ketua Patroli Keamanan Sekolah, tiba-tiba membela dia. Kekacauan tak terh...
A Poem For Blue Day
253
196
5
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Anak Magang
123
115
1
Fan Fiction
Bercerita sekelompok mahasiswa yang berusaha menyelesaikan tugas akhirnya yaitu magang. Mereka adalah Reski, Iqbal, Rival, Akbar. Sebelum nya, mereka belum mengenal satu sama lain. Dan mereka juga bukan teman dekat atau sahabat pada umumnya. Mereka hanya di tugaskan untuk menyelesaikan tugas nya dari kampus. Sampai suatu ketika. Salah satu di antara mereka berkhianat. Akan kah kebersamaan mereka ...
Singlelillah
0
0
0
Romance
Entah seperti apa luka yang sedang kau alami sekarang, pada kisah seperti apa yang pernah kau lalui sendirian. Pada akhirnya semua akan membuatmu kembali untuk bisa belajar lebih dewasa lagi. Menerima bahwa lukamu adalah bentuk terbaik untuk membuatmu lebih mengerti, bahawa tidak semua harapan akan baik jika kau turuti apalagi membuatmu semakin kehilangan kendali diri. Belajar bahwa lukamu adalah...
From Ace Heart Soul
592
358
4
Short Story
Ace sudah memperkirakan hal apa yang akan dikatakan oleh Gilang, sahabat masa kecilnya. Bahkan, ia sampai rela memesan ojek online untuk memenuhi panggilan cowok itu. Namun, ketika Ace semakin tinggi di puncak harapan, kalimat akhir dari Gilang sukses membuatnya terkejut bukan main.
Diskusi Rasa
1132
668
3
Short Story
Setiap orang berhak merindu. Tetapi jangan sampai kau merindu pada orang yang salah.
Jawaban
383
243
3
Short Story
Andi yang digantung setelah pengakuan cintanya dihantui penasaran terhadap jawaban dari pengakuan itu, sampai akhirnya Chacha datang.