\"Ya terserah Bapak! Percaya atau nggak. Saya cuma bilang. Toh Saya sudah tahu sifat asli Bapak. Bos kok nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.\"
Read More >>"> Bait of love (Catch me if you can ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Bait of love
MENU
About Us  

 

Kata siapa gitu pernah bilang "Jodoh itu jangan di cari, tapi di jebak"

Alvin menatapnya dengan senyum prihatin. Gadis di depannya menunduk lemas dengan isak tangis yang terus menerus keluar dari bibirnya. Bahkan di sela tangisannya, terlontar beberapa sumpah serapah terhadap lelaki yang sangat dia kenal. Alvin hanya menepuk punggung gadis itu. Sesekali dia mengambilkan tisu untuknya.

"Salah Aku apa, Vin? Kerja semaleman telat di kasih bonus, Aku ikhlas, Vin. Apalagi  di caci maki, di bilangin bodoh sama translator yang lain. Aku ikhlass Vin! Di malu-maluin di depan kompeni Jepang, sumpah Aku ikhlas. Tapi sekarang. Aku di pecat Vin. Yaaallah..." Dia menggerutu, lalu mengambil tisu dari tangan Alvin. "Dasar iblis botak! Gua doain spermanya basi! Mandul! Nggak nikah-nikah!"

"Huuusstt. Mulutnya ya nggak boleh ngomong gitu. Nggak ilok." Alvin membungkam mulut Ara. Dia khawatir seseorang mendengar umpatan Ara. Bisa jadi tambah berabeh. Beruntung sekali koridor lantai tiga sedang lenggang. Dia kemudian melepaskan tangannya, membuat Ara mencak-mencak semakin kesal.

"Ra. Hati-hati kalau ngomong. Kalau Gavian beneran mandul, terus Kamu nya yang jadi istrinya. Giman-"

"Naudzubilllah," Ara langsung memotong laju kalimat Alvin dengan menjitak kepalanya.

"Duh, kira-kira, Ndoro Kanjeng Ara?!" Dia mengusap kepalanya. Ara benar-benar menjitaknya sangat keras.

"Itu kok bisa otak mu mikir nggak jelas kayak tadi, huh?"
Alvin menatap Ara dengan menghela nafas. "Bayangin aja, cewek yang selalu di dekat pak Gavian itu kamu. Terus, Gavian jomblo, Kamu  jomblo. Jadi, ya aku mikir, kenapa nggak?"

Ara memutar bola mata. Dia cukup jengah dengan gagasan rekan kerjanya yang dari dulu selalu nggak jelas. Sejak kapan, dia yang menjadi bahan gosip untuk menikah dengan Gavian jika setiap hari dia selalu berhadapan dengan banteng yang selalu melampiaskan kemarahannya kepada dirinya. Seandainya pun memang terjadi, itu sangat tidak wajar. Ara sama Gavian itu ada di dunia beda. Yang satu di dunia normal, nggak pernah menganggap uang itu segalanya, nah yang Gavian, dia lebih suka dengan dunia kaum ekspatriat. Dunia yang selalu di kelilingi uang, bisa di bilang dunia yang penuh tikus berdasi, bahkan kekuasaan. Jadi, bisa dikatakan bahwa mereka berdua nggak bakal berjodoh. Pemikirannya beda, dunianya beda.

Satu lagi alasan yang bisa melawan keras pemikiran Alvin. Gavian itu suka sama wanita berbody semok, tinggi dan tentu memiliki derajat yang sama dengannya. Ara masih mengingat jelas alasan mengapa dia pemilih dengan namanya kaum wanita. Katanya, "Jodoh yang baik itu pasti untuk orang yang baik. Nah, mangkannya saya mau cari jodoh yang baik. Karena saya cukup baik dalam segala hal di dunia ini." Dan saat itu, Ara benar-benar berpikir jika Gavian memerlukan sosok psikiater untuk mengobat penyakit NPD-nya  (Narcissistic Personality Disorder).

"Aku punya ide yang lebih menarik. Kamu jebak aja Gavian. Cari cara gimana Kamu bisa ngancam Dia sampai Dia nggak bisa mengelak."

Ara menoleh ke Alvin. Dia merengkuh wajah Alvin, membelainya pelan dengan menatap kedua mata Alvin begitu lekat."Aku ngerasa beruntung punya sahabat sejati kayak Kamu, Vin. Sudah ganteng, pinter, gaul lagi. Harusnya kamu yang jadi dambaan para wanita, bukan bapak Gavian."

Alvin menepis tangan Ara dari wajahnya. Dia menggigil ketakutan.

Ara tersenyum simpul. Dia merentangkan tangannya di punggung kursi. Tangan kirinya menepuk bahu Alvin begitu kuat, membuat Alvin meringis kesakitan.

°°°°°

Harusnya Alvin nggak akan pernah mencetuskan ide segila ini ke Ara, perempuan yang di selimuti perasaan dendam yang berlebihan. Dia juga tidak akan seikut campur ini menanggapi permintaan Ara menyewa kamar di hotel yang harganya selangit. Ya meskipun Dia tidak masalah dengan nilai uang yang akan dia kekuarkan. Tetapi, Ara yang kelewat sinting ini punya rencana terkejam yang nggak pernah Dia pikirkan sebelumnya akibat yang bakal Dia peroleh. 

Ara cuma melengos jika Alvin menyuruhnya untuk kembali menimbang rencana gilanya.  Dia sudah mantap. Tanpa ada pengecualian. Dia bakal terus maju menjalankan rencana gilanya, meskipun Alvin akan mengancam dengan segala cara.

"Ra, Jangan deh. Bisa mati kita berdua nanti." Alvin nerengek dengan mengayunkan lengan Ara.
Ara menepis tangan Alvin dengan memberi pelototan lebar. Tangannya membungkam mulut Alvin."Diam deh!"

Bahu Alvin terkulai lemas. Dia membiarkan begitu saja melihat sahabatnya mulai naik ke atas ranjang, masuk ke dalam selimut, dan menghimpit tubuh Gavian.

"Kalau gini malah kelihatan Kamu yang merkosa Gavin." Saran Alvin.

Ara mendengus jengkel. Tangan Ara perlahan menggapai tangan Gavian yang kekar untuk Dia letakkan di pinggangnya. Setelah itu, Dia menghadap ke depan  membelakangi Gavian yang memeluknya. Ara sempat tersentak kaget ketika wajah Gavian menelisik di lehernya.

"Cepetan foto, Vin." Seru Ara bergertar takut dengan posisinya saat ini.

Alvin mengambil benda persegi panjang yang saat ini di gandrungi beberapa remaja hingga orang tua. Tangannya menyapu layar kemudian men-capture Ara dam Gavian yang ada dalam satu selimut.

"Via n, Bantuin Aku keluar
Nakitin  ini laki." Ara berseru pelan.

Sedangkan Alvin memutar matanya jengah. Dia melangkah untuk membantu Ara keluar dari rengkuhan Gavin yang nasih nampak mendengkur nyenyak dalam tidur.

"Selesai!" Ara berseru pelan dengan senyum sumringah yang Dia pamerkan ke depan wajah Alvin.

Alvin menghela nafas panjang. "Saranku, Ra. Kamu juga harus tidur di kamar ini. Biar besok Kamu bisa langsung ngancam Dia."

Ara mangut-mangut setuju dengan saran kesekian kalinya dari Alvin. Dia tersemyum lalu mengibaskan tangannya untuk menyuruh Alvin kembali pulang.

Dia memegang HPnya setelah kepergian Alvin. Menggeser kunci untuk membuka. Beberapa SMS terlihat bersahutan masuk ketika dia menyalakan mobile data.
Ara melongo tidak percaya mendapati foto dirinya yang sedang di peluk lelaki yang 10 jam lalu menyumpah serapah dirinya di depan rekan kerja. Parahnya, dia di pecat dengan tidak terhormat.

Dalam foto, Dia hanya dilapisi dengan satu selimut yang membungkus Ara dengan lelaki yang bertubuh telanjang atau telanjang bulat, karena di dalam foto, lelaki itu hanya menampakkan setengah tubuh telanjangnya.

Ara tersenyum simpul. Dia cukup bahagia menatap lelaki yang masih mendengkur halus. Dia melangkah mendekati ranjang. Dia duduk di ujung ranjang. Ara bisa melihat jelas lelaki yang tertidur pulas dengan tangan terlentang menampakkan bulu-bulu halus dari ketiaknya. Kepalanya yang plontos nampak mengkilap ketika cahaya lampu dari luar tidak sengaja memantul di kepalanya.

I'm still virgin. And this the last chance to make him subservient to me. I know this is wrong way, but he should have received karma. Oh ya, this is gift from god to help me out. I got answer after prayed.

Dia menatap ke belakang, menatap dada lelaki itu yang telanjang.

I'm sorry bos.

°°°°

Gavian membuka matanya begitu pelan ketika cahaya matahari menelisik ke kornea matamya,  membuat dia mau tak mau memicingkan matanya. Dia membuat tubuhnya duduk ketika membuka mata secara keseluruhan. Kepalanya cukup pening, masih terasa sisa-sisa alkohol di mulutnya. Dia memilih turun dari ranjang. Tapi langkah kakinya terhenti. Sosok wanita yang sangat dia kenal duduk tak jauh darinya. Wajahnya muram, dan kusut. Dia sedang menahan isak tangis. Matanya bahkan sembab.

"Kam-Kamu?" Dia terbata-bata. Matanya melotot lebar.

Kata siapa gitu pernah bilang "Jodoh itu jangan di cari, tapi di jebak"

 

Alvin menatapnya dengan senyum prihatin. Gadis di depannya menunduk lemas dengan isak tangis yang terus menerus keluar dari bibirnya. Bahkan di sela tangisannya, terlontar beberapa sumpah serapah terhadap lelaki yang sangat dia kenal. Alvin hanya menepuk punggung gadis itu. Sesekali dia mengambilkan tisu untuknya.


"Salah Aku apa, Vin? Kerja semaleman telat di kasih bonus, Aku ikhlas, Vin. Apalagi di caci maki, di bilangin bodoh sama translator yang lain. Aku ikhlass Vin! Di malu-maluin di depan kompeni Jepang, sumpah Aku ikhlas. Tapi sekarang. Aku di pecat Vin. Yaaallah..." Dia menggerutu, lalu mengambil tisu dari tangan Alvin. "Dasar iblis botak! Gua doain spermanya basi! Mandul! Nggak nikah-nikah!"

"Huuusstt. Mulutnya ya nggak boleh ngomong gitu. Nggak ilok." Alvin membungkam mulut Ara. Dia khawatir seseorang mendengar umpatan Ara. Bisa jadi tambah berabeh. Beruntung sekali koridor lantai tiga sedang lenggang. Dia kemudian melepaskan tangannya, membuat Ara mencak-mencak semakin kesal.

"Ra. Hati-hati kalau ngomong. Kalau Gavian beneran mandul, terus Kamu nya yang jadi istrinya. Giman-"

"Naudzubilllah," Ara langsung memotong laju kalimat Alvin dengan menjitak kepalanya.

"Duh, kira-kira, Ndoro Kanjeng Ara?!" Dia mengusap kepalanya. Ara benar-benar menjitaknya sangat keras.

"Itu kok bisa otak mu mikir nggak jelas kayak tadi, huh?"

Alvin menatap Ara dengan menghela nafas. "Bayangin aja, cewek yang selalu di dekat pak Gavian itu kamu. Terus, Gavian jomblo, Kamu jomblo. Jadi, ya aku mikir, kenapa nggak?"

Ara memutar bola mata. Dia cukup jengah dengan gagasan rekan kerjanya yang dari dulu selalu nggak jelas. Sejak kapan, dia yang menjadi bahan gosip untuk menikah dengan Gavian jika setiap hari dia selalu berhadapan dengan banteng yang selalu melampiaskan kemarahannya kepada dirinya. Seandainya pun memang terjadi, itu sangat tidak wajar. Ara sama Gavian itu ada di dunia beda. Yang satu di dunia normal, nggak pernah menganggap uang itu segalanya. Nah kalau Gavian, dia lebih suka dengan dunia kaum ekspatriat. Dunia yang selalu di kelilingi uang, bisa di bilang dunia yang penuh tikus berdasi. Jadi, bisa dikatakan bahwa mereka berdua nggak bakal berjodoh. Pemikirannya beda, dunianya beda.

Satu lagi alasan yang bisa melawan keras pemikiran Alvin. Gavian itu suka sama wanita berbody semok, tinggi dan tentu memiliki derajat yang sama dengannya. Ara masih mengingat jelas alasan mengapa dia pemilih dengan namanya kaum wanita. Katanya, "Jodoh yang baik itu pasti untuk orang yang baik. Nah, mangkannya saya mau cari jodoh yang baik. Karena saya cukup baik dalam segala hal di dunia ini." Dan saat itu, Ara benar-benar berpikir jika Gavian memerlukan sosok psikiater untuk mengobat penyakit NPD-nya (Narcissistic Personality Disorder).

"Yaudah, jebak aja. Kayak sinetron Indonesia. Pura-pura Kamu hamil, nangis histeris minta tanggung jawab." Alvin menyahut berbentuk candaan.

Beda dengan Ara yang tersenyum lebar. Dia merengkuh wajah Alvin, membelainya pelan dengan menatap kedua mata Alvin begitu lekat.

Alvin menepis tangan Ara dari wajahnya. Dia menggigil ketakutan. "DUH GELI AKU, RA"

 

°°°°°

 

Harusnya Alvin nggak akan pernah mencetuskan ide segila ini ke Ara, perempuan yang di selimuti perasaan dendam yang berlebihan. Niat bercanda malah dianggap serius. Sifat Ara itu keras, keukeuh dengan apapun yang telah Dia rencanakan. Ara cuma melengos jika Alvin menyuruhnya untuk kembali menimbang rencana gilanya.

 

"Ra, Jangan deh. Bisa mati kita berdua nanti." Alvin nerengek dengan mengayunkan lengan Ara.
Ara menepis tangan Alvin dengan memberi pelototan lebar. Tangannya membungkam mulut Alvin."Diam deh!"

 

Bahu Alvin terkulai lemas. Dia membiarkan begitu saja melihat sahabatnya mulai naik ke atas ranjang, masuk ke dalam selimut, dan menghimpit tubuh Gavian.

 

"Kalau gini malah kelihatan Kamu yang merkosa Gavin." Kadang Alvin bingung dengan dirinya sendiri. Dia itu 100% nggak setuju, tapi sejak tadi Dia juga yang memberi saran dan pencetus ide gila ini.


Tangan Ara perlahan menggapai tangan Gavian yang kekar untuk Dia letakkan di pinggangnya. Setelah itu, Dia tidur menghadap ke samping kanan, membelakangi Gavian yang sedang memeluknya. Ara sempat tersentak kaget ketika wajah Gavian menelisik di lehernya.

Jujur Ara merasa geli. Nggak ada seperempat pun keinginan untuk di sentuh atau menyentuh Bosnya. "Buruan, Vin fotonya! Geli bangettt!"

Alvin menghela nafas kesal. Lagi dan lagi, Dia mengikuti perintah Ara. Alvin mengambil benda persegi panjang yang saat ini di gandrungi beberapa remaja hingga orang tua. Tangannya menyapu layar kemudian men-capture Ara dan Gavian yang ada dalam satu selimut. Kan... Padahal Alvin bisa banget ngebantah.

 

"Aku pulang, Ra. Sisanya Kamu sendiri. Aku nggak mau ikut-ikut lagi." Alvin memasukkan HPnya setelah mengirim beberapa foto ke Akun chatting milik Ara.

 

Bergegas Alvin keluar dari kamar, menyisakkan Ara yang masih terbaring dalam pelukan Gavian. Ara berusaha melepaskan pelukan Gavian dari pinggangnya, berusaha menggulingkan badan Gavin dari tubuhnya, tapi yang ada, Ara semakin terkungkung dengan kaki Gavian ikut membelit tubuhnya. Kepala Ara menjadi tumpuan dagu runcingnya.

 

Kalau ini sih, Ara yang ketiban sial. Mau gimana lagi, Dia harus menunggu Gavian melepaskan pelukannya. Toh, nggak mungkin juga Gavian memeluknya sepanjang malam.

 

Kata siapa?

 

Ara harus mendekam semalaman di pelukan Gavian. Lelaki ini malah menyerusuk ke leher Ara, mengambil posisi seenak mungkin memeluk Ara. Tentu saja Ara berusaha mengelak, melepas sekuat mungkin tangan Gavian dari pinggangnya. Tapi apa daya, lelaki itu malah memeluknya semakin erat, menyatukan tubuhnya semakin dalam. Untung seuntungnya, nggak ada yang aneh dari bawah tubuh Gavian.

 

Kesenyapan kamar membuat Ara sulit menahan rasa kantuknya. Bunyi detik jam ikut serta menjadi nyanyian nina bobonya. Suhu dingin dari Air conditioner tidak lagi membuat Ara harus menggulung tubuhnya dengan selimut sejak Gavian mendekapnya begitu erat. Mau bagaimana lagi, suasana ikut mendukung, dekapan Gavian juga turut serta menariknya masuk semakin dalam ke alam mimpi.


°°°°°°°°°°

Langit cerah membiru. Matahari memyembul dari balik awan. Saat ini, Matahari berada di bawah horizon atau langit bagian bawah yang berbatasan dengan permukaan bumi atau laut, memaparkan sinar UV A dan sedikit sinar UV B. Sinarnya sedikit masuk dari celah gorden yang tersingkap sedikit, membuat Gadis itu membuka pelan matanya, memicingkan matanya, membuka mata lagi, kemudian menguap lebar. Seperti pagi pada umumnya, Ara akan merenggangkan kaki, merentangkan tangan dan meluruskan punggung. Hanya saja, Dia tidak dalam keadaan pada umumnya.

 

Lelaki itu sejak kemarin malam, masih memeluk erat tubuhnya. Lebih parah lagi, Ara terlelap nyenyak dalam tidur.

 

"Euuuuhhh..." Ara tergugu, matanya melebar, wajahnya nampak tegang, ketika mendengar suara lelaki di belakangnya. Tangannya tertarik ke atas, punggungnya Dia luruskan, dan merenggangkan kaki. Kembali lelaki itu bergulir ke kiri,membelakangi Ara.

 

Ara menghela nafas lega. Dia mengendap pelan turun dari ranjang. Perlahan kakinya yang terlebih dulu turun, menggeser tubuhnya hibgga lepas dari ranjang. Dia melangkah dengan tubuh membungkuk, menjinjit pelan.

 

"Siapaa?" Lelaki itu berseru.

 

Ara tersentak kaget dalam tubuh membungkuk dengan berjalan menggunakan ujung jari kaki yang berjejak.

 

"Kamu siapa? Heh!" Lelaki itu sudah turun dari ranjang.

 

Tubuh Ara pelan-pelan menegak dengan kedua tangan mengepal. Berulang kali Dia berkomat-kamit.

 

"Aku tanya. Kamu siapa?" Lelaki itu melangkah lebar kearahnya.

 

"Saya!" Ara langsung membalik tubuhnya.

 

Gavian membeku di tempat. Ara bisa melihat lelaki itu menatapnya tajam. Jangan lupakan jika Gavian hanya beralas celana boxer Calvin Klein, menunjukkan enam kotak ibarat roti sobek yang menggiurkan untuk sarapan pagi hari dengan rasa beraneka ragam. Aduhhh... Sebenci apapun ke lelaki ini, kalau disuguhi roti sobek setiap pagi, jangan salahkan Ara untuk menggagalkan rencana kemarin malamnya.

 

"KAMU NGAPAIN KE KAMAR SAYA? AKU MIMPI APA BISA SEKAMAR SAMA CEWEK JELEK KAYAK KAMU!"

 

Allahu akbar. Lupakan tentang roti sobek, enam kotak-kotak di perutnya.

 

"Eh Pak Gavian, Saya yang harus tanya, Bapak kenapa meluk Saya dari kemaren malam." Ara melipat tangannya di dada, menatap tegak wajah Gavian.

 

"Eh Sapa? Saya? Kamu jangan ngacoh deh. Tipe Saya itu bukan Kamu."

 

Ara nggak habis pikir sama lelaki di depannya. "Bapak juga bukan." Ara menghentikkan laju kalimatnya, menimang-nimang kalimatnya. Kalau mau dikatakan sebenarnya, lelaki di depannya ini tipe idealnya. Eh tapi, "Tipe ideal Saya."

 

"Jangan bohong, Kamu. Saya ini tipe idaman para wanita." Lelaki itu berkacak pinggang.

 

Ara gemes, gemes sama enam kotak di perutnya. Tangannya gercap ingin menyobek, terus mengunyah, terus Dia telan.

 

"Lah itu kan menurut Bapak. Dalam tipe ideal Saya, Bapak itu nggak masuk. Ya sih, Bapak atlentis, ganteng, tinggi, kaya, Tapi ya itu."

 

Gavin melipat keningnya, nampak sedang menunggu kalimat Ara.

 

"Maaf ya, Pak. Bapak itu nggak ada rambutnya. Gundul. Nggak suka Saya."

 

Ohhh Bantengnya marah.

 

"Kamu bilang apa?" Tanya Gavian nampak bersungut-sungut.

 

"Bapak jangan marah dong. Tadi juga Bapak bilang Saya jelek." Ara membela diri.

 

"Kamu memang jelek!"

 

"Bapak juga gundul," Timpal Ara, kemudian tertunduk lesu, menyesali kalimatnya barusan.

 

Ara mendongak, memberanikan diri menatap wajah Gavian yang merah padam "Duh, Pak. Maaf. Bukan maksud Saya buat bilang gitu. Btw, ya, pak. Bapak nggak ada niat gitu buat pakai baju?"

 

Gavian menatap tubuhnya. Keningnya terlipat."Kenapa? Saya nggak telanjang."

 

Sayanya, Pak. Bapak mau Saya terjang? "Tapi haram hukumnya, Pak. Nggak ilok ngelihatin aurat ke yang bukan mukhrim" Bagus, Ara tertawa bangga dalam hati.

 

Gavian acuh tak acuh dengan memgibaskan tangannya di depan. "Sekarang, pertanyaan Saya. Kenapa Kamu dan Saya bisa ada di satu kamar?"

 

"Saya nggak tahu, Pak." Jawab Ara sekenanya.

 

Dia sama sekali belum mempersiapkan alasan mengapa Dia juga bisa tertidur satu ranjang sama si Baby hui botak. Masalahnya juga, Dia nggak bakal nyangka kalau Dia akan disini semaleman. Ini bukan bagian dari rencana Ara.

 

"Ya pokoknya. Saya juga nggak tahu. Bangun-bangun, Bapak udah meluk Saya. Saya berani sumpah, Pak." Ara menunjukkan jari tengah dan kelingkingnya membentuk angka dua. Tetapi Dia juga menyilangkan jari telunjuk dengan jari tengah satunya ke belakang punggung.

 

Ara kesal dengan dirinya sendiri. Rencana yang Dia susun semalaman hancur. Bagaimana Dia bisa ngancam lelaki ini, kalau Dia udah ketahuan sebelum bertindak. Mau ngancam sekarangpun, percuma. Benar kata Alvin, Dia bisa mati. Ara nggak tahu harus bagaimana lagi bisa lolos dari kamar ini.

 

"Jadi maksudmu, Kita berdua di jebak?" Tanya Gavian terduduk di bibir ranjang. Dia mengusap wajahnya, menatap Ara dengan wajah penuh tanya.

 

Tunggu...

 

"Ya bisa juga sih,Pak. Bapak kan ganteng tuh, banyak fansnya juga, kekayaannya melimpah, bahkan ya pak, keluarga Bapak mau punya 100 turunan, orang-orang di dunia ini nggak bisa ngalahin kekayaan Bapak." Jelas Ara dengan akhiran senyum kemenangan.

 

Gavian mangut-mangut. Dia mengelus dagunya, nampak sedang berpikir, lalu kembali mangut-mangut, mengelus dagunya, berulang-ulang, membuat Ara malah jengah ngelihatnya.

 

"Pak, Saya izin pulang, ya?"

 

Lelaki itu mendongak ke atas, melepaskan tangannya dari dagu, kemudian kembali beranjak dari ranjang, melangkah menuju Ara.
Dia itu gadis normal. Kalau melihat laki-laki bertubuh seperti Gavian, Dia juga bisa meneteskan air liur, seperti mayoritas para perempuan di dunia ini. Bahu tegap Gavian, kumis tipis di atas bibirnya, kaki panjang yng sedikit berbulu, otot-otot di kedua lengannya, bibir bawah yang tebal berwarna merah muda, seakan sudah mendapatkan tambahan filler, rahangnya kuat dengan cetakan tegas terlihat di wajahnya, kecuali kepala plontos yang Dia miliki, tapi Ara akui, Gavian itu lelaki tipe sempurna untuk di ajak atau di pamerkan ke seluruh dunia ini.

 

"Jangan pulang dulu."

 

Ara mengerjapkan matanya, sedikit kurang percaya dengan kalimat Gavian kepadanya.

 

"Maksud Saya, Jangan pulang dulu sebelum Kamu bawakan makanan buat Saya." Gavian memerintah dengan senyum lebar.

 

"Kok Saya? Bapak kan bisa pesan ke bawah atau telepon. Toh Saya sudah bukan karyawannya Sampean, Pak. Jadi Sampean nggak ada berhak nyuruh Saya ini itu!" Ara membalikkan tubuhnya, melangkah lebar membelakangi Gavian.

 

"Yaudah, Maaf kalau Saya kasih nilai ketidakpuasanpada surat rekom-"

 

"Bapak Gavian Ardhana Bagaskara mau pesan apa? Saya dengan senang hati akan menuruti perintah Bapak. Untuk terakhir kalinya." Ara menyahut laju kalimat Gavian cepat, dengan menekankan kalimat terakhirnya.

 

"Bubur ayam mang dudung, ya? Tapi yang di belakang TP, jangan yang daerah kompleks." Gavian berputar mencari celana panjangnya, kemudian menemukannya di atas buffet tempt tidur. Dia mengambil dompet dari saku celana, kemudian mengulurkan selembar uang ratusan kepada Ara.

 

"Kalau habis?"

 

"Bubur ayam yang daerah dukuh kupang aja kalau gitu." Jawab Gavian dengan nada datar.

 

"Pak, itu jauhnya minta ampun loh. Dan gak searah lagi."

 

Lelaki itu hanya mengangkat alis sebelahnya, lalu kembali menghempaskan tubuhnya di ranjang. Dia kembali menyibak selimut, menggulung setengah tubuhnya.

 

Ara mendesah kesal. Dia menghentkkan sebelah kakinya di lantai dengan wajah ditekuk ke bawah. "Tapi beneran loh Pak. Surat rekomendasinya yang baik-baik. Kalau bisa jangan ada alasan-"

 

"Kamu sepuluh detik nggak kekuar dari kamar ini, Jangan harap Saya kasih surat rekomendasi yang baik tentang Kamu."

 

Ara langsung berdecak lidah, kemudian berlalu keluar kamar. Dia menutup pintu kamar hotel begitu keras. Sampai tidak sadar, seorang lelaki bule nampak tersentak mendengar pintu terbanting itu.

 

Ara melangkahkan kakinya lebar, bersungut-sungut menekan tombol turun, menyumpah serapah di depan lift, menghentakkan kakinya di lantai, menendang dinding lift yang masih tertutup untuk melampiaskan kekesalannya yang dibuat oleh Gavian, si gundul Baby Hui.

 

Ini sih, Ara yang dikerjai, bukan Ara yang ngerjain Gavian.

 

Dia tersadar sesaat, kemudian mengambil HP dari celana jinsnya. Pakaiannya sama, seperti kemarin malam. Kemeja putih flamingo dengan celana jins sobek dan sepatu docmart warna biru dongker. Ditatapnya foto dirinya yang sedang di peluk oleh lelaki yang baru saja membuat Dia kesal. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Tangannya menyapu layar, mengetik salah satu nama akun yang sedang di minati oleh beberapa orang, yang memiliki slogan "cekrek-cekrek, hengpon jadul, atau remahan rengginang"

 

Dia mengetik kalimat panjang lebar, menggunakan akun Fake, lalu mengirimkan foto melalui WA yang terlampir di biodata akun tersebut. Setelah itu, Ara tertawa, tergelak begitu keras. Dia tidak peduli dengan sekitarnya. Pintu lift pun terbuka dengan keadaan kosong, Ara masuk ke dalam, masih menatap layar HPnya dengan tawa tergelak, bahkan saat pintu lift tertutup kembali, Ara malah semakin tertawa terbahak-bahak, jongkok dengan memukul lantai saking tak kuasa menahan tawanya.

 

Lima menit sebelum ointu kift terbuka, saat Ara masih tertawa tergelak, sosok lelaki menatap punggungnya dengan tatapan cengo.

 

"Who is She?" Dia tersenyum.

#####

 

 







 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
That Devil, I Love
3016      1253     0     
Romance
Tidak ada yang lebih menyakitkan bagi Airin daripada dibenci oleh seseorang yang sangat dicintainya. Sembilan tahun lebih ia memendam rasa cinta, namun hanya dibalas dengan hinaan setiap harinya. Airin lelah, ia ingin melupakan cinta masalalunya. Seseorang yang tak disangka kemudian hadir dan menawarkan diri untuk membantu Airin melupakan cinta masa lalunya. Lalu apa yang akan dilakukan Airin ? B...
Hamufield
26025      2975     13     
Fantasy
Kim Junsu: seorang pecundang, tidak memiliki teman, dan membenci hidupnya di dunia 'nyata', diam-diam memiliki kehidupan di dalam mimpinya setiap malam; di mana Junsu berubah menjadi seorang yang populer dan memiliki kehidupan yang sempurna. Shim Changmin adalah satu-satunya yang membuat kehidupan Junsu di dunia nyata berangsur membaik, tetapi Changmin juga yang membuat kehidupannya di dunia ...
Katanya Buku Baru, tapi kok???
435      289     0     
Short Story
Seperti Cinta Zulaikha
1777      1151     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.
She Is Mine
303      192     0     
Romance
"Dengerin ya, lo bukan pacar gue tapi lo milik gue Shalsa Senja Arunika." Tatapan Feren makin membuat Shalsa takut. "Feren please...," pinta Shalsa. "Apa sayang?" suara Feren menurun, tapi malah membuat Shalsa bergidik ketakutan. "Jauhin wajah kamu," ucapnya. Shalsa menutup kedua matanya, takut harus menatap mata tajam milik Feren. "Lo pe...
Kedai Kopi Hitam
334      266     3     
Romance
Bianca perempuan berparas cantik pintar dan pemilik Kedai Kopi Hitam tidak hanya menjual kopi tetapi juga menjual informasi kecuali menjual perempuan. Dia terpaksa membayar denda ratusan juta akibat kesalahan informasi yang diberikan. David CEO tampan yang memberi informasi dari Bianca Dia jatuh cinta padanya. Benih-benih cinta tumbuh di antara mereka. Apa Bianca tetap fokus mengumpulkan pundi-...
Young Marriage Survivor
2620      905     2     
Romance
Di umurnya yang ke sembilan belas tahun, Galih memantapkan diri untuk menikahi kekasihnya. Setelah memikirkan berbagai pertimbangan, Galih merasa ia tidak bisa menjalani masa pacaran lebih lama lagi. Pilihannya hanya ada dua, halalkan atau lepaskan. Kia, kekasih Galih, lebih memilih untuk menikah dengan Galih daripada putus hubungan dari cowok itu. Meskipun itu berarti Kia akan menikah tepat s...
Salju di Kampung Bulan
1868      839     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
SI IKAN PAUS YANG MENYIMPAN SAMPAH DALAM PERUTNYA (Sudah Terbit / Open PO)
4041      1532     8     
Inspirational
(Keluarga/romansa) Ibuk menyuruhku selalu mengalah demi si Bungsu, menentang usaha makananku, sampai memaksaku melepas kisah percintaan pertamaku demi Kak Mala. Lama-lama, aku menjelma menjadi ikan paus yang meraup semua sampah uneg-uneg tanpa bisa aku keluarkan dengan bebas. Aku khawatir, semua sampah itu bakal meledak, bak perut ikan paus mati yang pecah di tengah laut. Apa aku ma...
Balada Valentine Dua Kepala
271      161     0     
Short Story
Di malam yang penuh cinta itu kepala - kepala sibuk bertemu. Asik mendengar, menatap, mencium, mengecap, dan merasa. Sedang di dua kamar remang, dua kepala berusaha menerima alasan dunia yang tak mengizinkan mereka bersama.