Binatang adalah salah satu mahluk pengisi dunia yang hidup berdampingan dengan manusia. Tanpa adanya binatang, mungkin manusia gak akan bisa merasakan gimana enaknya bawal bakar masakan padang, sate kambing, ayam geprek, atau susu beruang. Namun dibalik itu semua ada satu kasus yang pernah gue alami dan berhubungan dengan binatang. Berawal dari seorang teman yang baperan, telah menemukan kucing gelandangan di samping comberan. Waktu itu gue dan dua orang teman bernama Budi dan Tomi sedang begadang di pelataran rumah. Tiba-tiba, Robi teman gue yang baperan jalan di depan kami membawa kucing warna abu-abu dengan bulu yang kumuh.
‘Wiiih kucing baru nih Rob?’ Gue menyapa.
‘Namanya Jarong. Kasihan, gue nemuin dia di samping comberan lagi menggigil kedinginan.’ Robi menimpali
Gue memperhatikan kucing yang diberi nama Jarong itu. Kakinya empat. Matanya dua. Kumisnya belum dicukur. Nampak seperti kucing kampung namun di bagian ekornya punya bulu yang panjang. Mungkin Jarong adalah hasil dari perselingkuhan kucing anggora dengan tikus got.
‘Gue pulang dulu yak. Mau ngajak Jarong nginep di rumah.’ Robi pamit.
‘Oh, oke okeee.’ Sahut gue dan Tomi.
Hari berganti pagi. Gue libur kerja dan sudah niat untuk bermalas-malasan menikmati dunia gue yang jarang ada ketenangan. Tapi niat itu sirna. Dunia gue benar-benar jarang ada ketenangan bahkan untuk memulai hari pada suatu pagi. Gue mendengar suara orang marah-marah dengan intonasi yang cepat. Sontak, gue keluar rumah untuk melihat apa yang terjadi. Ternyata itu Maruli, tetangga gue yang sedang lari membawa sapu.
‘Ada apa sih Bang?’ Gue menanyakan situasi.
‘Sial banget tuh kucing siapa yak? Pagi-pagi boker di depan pintu rumah gue. Lengket nih kaki gue jadinya. Mana bau.’ Maruli nunjuk ke kakinya yang belepotan.
Gue melihat kucing yang dimaksud Maruli. Ternyata itu si Jarong, kucing yang semalam diadopsi oleh Robi. Gue gak perduli dengan kejadian barusan dan masuk lagi ke dalam rumah. Tak berapa lama kemudian, Jarong kembali membuat ulah. Tomi teman gue, teriak-teriak sambil bawa piring lengkap dengan nasi dan lauknya, ‘Kucing gak punya adaaaaaab….!’
Gue keluar rumah dan menanyakan situasi, ‘Ada apa sih Tom?’
Tomi menjawab sambil marah, ‘Kucing si Robi makan ikan gue..!’
‘Loh kok bisa?’
‘Gue juga bingung. Gue lagi makan tiba-tiba itu kucing naik ke meja terus ikan gue di bawa kabur.’
Sambil menatap Tomi dengan wajah iba, dalam hati gue bilang ‘Sungguh kucing yang cerdas dan Tomi yang malang.’
Hari berganti malam. Gue sedang asyik main gitar di teras rumah. Si Jarong lewat di depan gue lalu berhenti. Dia ngelihatin gue dengan wajah yang datar. Tiba-tiba dia bersin. Ingusnya nyiprat ke kaki gue. Sontak gue jitak kepalanya. Dia membalas dengan nyakar tangan gue sampai baret.
‘Kucing kurangajaaaaaaaaar…..!’ Gue teriak sambil nonjok tembok. Tangan gue tambah sakit dan si Jarong pergi tanpa penyesalan.
Kejadian barusan mengarahkan gue pergi ke rumah Tomi untuk menceritakannya. Beruntung Tomi ada di rumah dan bersedia membantu gue nyusun rencana untuk menyingkirkan Jarong dari peradaban. Rencana pertama, kita akan kasih makan Jarong pakai ikan yang sudah di olesi deodorant. Setelah si Jarong mabok, gue masukan dia ke dalam karung lalu membawanya naik metromini kemudian gue tinggal di bawah bangku penumpang. Kalau rencana ini gagal, maka gue dan Tomi akan turun langsung menangkap si Jarong untuk disingkirkan dari sini.
‘Ikan deodorant udah siap nih.’ Tomi ngacungin jempol.
‘Good Job.’ Sahut gue.
Kami pun segera mencari Jarong untuk mengeksekusinya. Tak lama berselang, Jarong terlihat sedang berjalan sambil ngendus tanah. Tandanya dia sedang mencari makan. Gue lempar ikan deodorant ke dekatnya. Dengan sigap, Jarong langsung mengunyah ikan itu sampai habis. Oh Dewi Fortuna, terimakasi hatas keberhasilan ini.
Beberapa menit kemudian…..
‘Si Jarong gak mabok deh?’ Tomi heran.
‘Tuh dia lagi nyari tempat buat buang hajat. Pasti dia mual mules.’ Kata gue sambil nunjuk ke arah Jarong yang menghilang di antara himpitan rumah.
Gue dan Tomi membuntuti Jarong. Sial, kami kehilangan jejaknya. Kami mencari Jarong sampai ke sudut-sudut rumah warga tapi hasilnya nihil. Gue melihat Budi sedang berdiri di depan rumahnya dan hendak masuk. Niat masuk ke dalam rumah itu terhenti kala Budi melihat gue dan Tomi.
‘Ngapain lu berdua? Kayak orang lagi nyari harta karun?’ Budi curiga.
‘Gue lagi nyari kucing yang semalem di adopsi Robi.’ Sahut Tomi.
‘Iyak. Kucing yang namanya Jarong itu loh.’ Gue menyelak.
Budi mendekat ke kami, ‘Emang ada apa?’
Gue menghela nafas, ‘Jadi gini bud, kucing si Robi udah banyak banget bikin ulah di daerah kita. Itu kucing boker di depan pintu rumah Maruli. Si Tomi lagi makan, ikannya dibawa kabur. Gue lagi main gitar, dia bersin terus gue jitak eh dia bales nyakar. Kelakuannya udah gak bisa ditoleransi lagi.’
Budi geleng-geleng kepala, ‘Itu kucing milik teman kita si Robi. Dan kita semua tahu kalau Robi itu baperan. Bayangin gimana sedihnya Robi kalau kucingnya kenapa-napa. Lagian ngapain sih kita baper sama kucing? Kita harus jaga kesetiakawanan. Jaga rasa hangat itu di dalam dada kita. Gak etis kalau kita tiba-tiba marah cuma karena kucing lugu yang tak berdosa.’
Gue dan Tomi diam. Ucapan Budi cukup bijaksana dan begitu membekas di ingatan. Tak ada percakapan di antara kami untuk beberapa detik. Tiba-tiba si Jarong lewat di depan kami. Dia berhenti di depan Budi, mengangkat sebelah kaki kemudian kencing. Budi dikencingin.
Hening.
‘Kucing terkutuuuuuuuuuuk..! Tangkeeeeep..! Gebukin..!’ Budi murka.
Gue dan Tomi yang tadinya berniat memafkan Jarong, tiba-tiba kembali kesal dan membantu Budi mengejarnya. Kami melewati puluhan rumah warga dan menyusuri jalan menanjak, berlari mengejar Jarong yang kabur dengan kecepatan ekstra. Jarong mirip kucing kampung yang biasa hidup survive. Larinya super cepat dan susah dikejar. Gue, Tomi dan Budi kehilangan jejaknya di keadaan malam yang setengah gulita.
‘Gimana kalo kita lanjutin besok aja. Capek gue.’ Tomi menggerutu.
‘Gak bisa. Kejahatan ini harus segera diselesaikan.’ Gue berasumsi.
‘Gue ikut aja deh.’ Budi menyelak.
Dari kejauhan terlihat sesosok kucing hitam yang kumuh. Gue mengajak Budi dan Tomi untuk mendekatinya. Ternyata kucing itu adalah Jarong. Kami semua heran melihat gelagat aneh dari Jarong yang jalan sempoyongan. Tak ada luka sedikit pun yang nampak dari ujung kepala hingga ujung ekor. Sungguh aneh.
‘Kenapa tuh si Jarong?’ Tomi bertanya pada siapa.
hening.
‘Kayaknya dia keracunan.’ Sahut Budi.
‘Mmmmhhh, Jarong udah terinfeksi ikan deodorant nih.’ Gue menyelak.
Tak lama berselang, Jarong tumbang dan tak sadarkan diri. Dari kejauhan ada suara yang berteriak seperti sedang memanggil manggil ‘Jarooooong kamu dimanaaaa? Jaroooooong.’ Gue mengenal suara itu. Mirip suara Robi, teman gue yang baperan sekaligus tuan dari si Jarong. Suara itu makin mendekat kesini. Tiba-tiba, Robi muncul dari kejauhan di seberang jalan. Dia mendekati Jarong yang tak berdaya. Mata Robi terlihat kosong. Kini dua tetes air jatuh dari lubang matanya. Robi menurunkan lutut ke aspal di samping Jarong. Tangannya mengangkat kucing hitam yang sudah tak berdaya itu. Robi menggendongnya lalu berdiri pelan pelan. Dengan mata setengah terpejam, Robi teriak ‘Tidaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak…!’
Hening.
Gue, Budi dan Tomi bergegas menghampiri Robi yang menangis sejadi jadinya. Kami tak tega melihat Robi tapi inilah kenyataan yang harus ia terima. Tapi masalahnya, gue belum berani menceritakan bagaimana bisa si Jarong sampai tak sadarkan diri. Gak mungkin gue bilang ‘Sabar Rob, tadi kucing lu makan ikan bumbu deodorant yang gue racik bersama Tomi’.
Budi menepuk pundak Robi. ‘Rob, mungkin ini udah takdirnya. Sabar Rob.’
‘Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan Rob. Kayak lu dan si Jarong.’ Tomi menimpali.
Dalam hati gue bilang, ‘Rob sebenernya kita bertiga yang udah bikin kucing lu keracunan.’
Robi tak menghiraukan gue, Tomi dan Budi. Dia masih menikmati saat saat terakhirnya bersama kucing hitam yang telah menghilang dari peradaban. Gue menepuk pundak Robi dan meninggalkannya. Tomi dan Budi juga melakukannya dan menyusul gue yang lebih dulu meninggalkan Robi. Suasana jadi absurd, campur aduk antara merasa bersalah, puas, dan senang. Tapi yang penting, satu ekor kucing menyebalkan sudah tak disini lagi.
Gue, Tomi, dan Budi berkumpul di teras rumah setelah berhasil menyingkirkan Jarong. Seperti biasanya, kami begadang sambil main gitar dan menikmati kopi. Kami bernyanyi dan tertawa bersama untuk mensyukuri keceriaan yang sempat hilang. Tapi masalahnya, tak berapa lama kemudian Robi lewat bersama kucing hitam kumuh yang sepertinya tak asing. Robi berhenti di depan kami. Sontak kami semua diam. Ternyata kucing yang di bawa Robi adalah Jarong. Robi kembali berjalan melewati kami tanpa menyapa. Si Jarong hidup lagi atau mungkin tadi gak jadi mati. Suasana jadi kurang asik. Perasaan gue gak enak, begitu juga dengan Tomi dan Budi. Acara begadang bubar. Tomi dan Budi pulang. Gue masuk ke dalam rumah dengan perasaan tidak tenang. Gue tutup pintu rumah lalu lampu gue matikan. Tiba-tiba gue mendengar suara Tomi berteriak, ‘Kucing gak punya otaaaaaaaak…..!’. Gue menelan ludah karena kaget. Tak lama berselang, menyusul suara Budi marah marah ‘Kucing konyoooooool…..!’. Entah apa yang sudah dilakukan Jarong pada Budi dan Tomi, tapi yang jelas sepertinya Jarong akan melakukan sesuatu pada hidup gue, sebentar lagi.