Abaya membuka matanya secara perlahan. Pertama kali yang dilihatnya adalah ruangan serba putih. Matanya menangkap seseorang yang sedang duduk di sofa, tak jauh dari brankar yang ia tempati. Pandangannya masih kabur, belum terlihat jelas siapa orang itu.
"Aya?"
Abaya kembali mengedarkan pandangan saat seseorang mendekat ke arahnya dan menyentuh punggung tangannya. Akhirnya, ia dapat melihat jelas dan menemukan Mina yang berada di sampingnya.
"Sakit?" tanyanya saat melihat Abaya yang meringis saat mencoba bicara.
Abaya terdiam karena tidak mampu bicara. Saat matanya menelusuri lagi, ternyata yang duduk di sofa adalah Arsan. Kini, ia sedang menatap Abaya dengan tatapan tajam dan juga ... bersalah?
"Oh, iya itu Ka Arsan. Kalo Ibu lagi urus administrasi." Mina seolah menjawab pertanyaan yang hinggap di kepala Abaya.
"Gila banget, ya! Untung aja kamu gak sampai geger otak. Tau gak? Tadi, Sean marah banget. Dia sampai mau nampar Ka Dayne." Mina bercerita dengan antusiasnya. Sedangkan Arsan, ia menatap tajam Mina, mengingatkan agar tidak berbicara lebih.
Mina menghiraukan kakaknya itu. Ia kembali melanjutkan cerita, "Ka Dayne yang bikin kamu jatuh. Aku ngeliat sendiri karena aku kan tadi tunggu kamu di bawah tangga."
"Makanya, Kak. Cari pacar itu yang bener," sindir Mina.
Arsan hanya bisa mendengus mendengar sindiran dari adiknya ini. Ia berdiri dan keluar dengan wajah kusutnya.
"Bener deh, Ya. Sean tadi kalap banget pas ngeliat kamu gak sadarkan diri. Untung aja, Ka Arsan ngejauhin Ka Dayne dari dia, kalo enggak, mungkin bakalan habis di tangan Sean. Lain kali, kalo Sean nembak terima aja. Dia tulus banget dan aku yakin dia bakal menjaga kamu dengan baik."
Abaya terdiam. Sean memang selalu baik kepadanya, bahkan di saat ia sudah menolaknya berulang kali, Sean tetap baik. Mina benar, mungkin Abaya harus menerimanya suatu saat nanti. Walaupun jika nanti ia masih menyukai Arsan, tapi ia yakin Sean akan menggantikan posisi itu. Bukankah jatuh cinta itu karena terbiasa?
Tapi, apa ia juga egois? Menginginkan Sean hanya untuk menyingkirkan nama Arsan dari hatinya?
"Oh, iya. Ka Arsan sama Ka Dayne lagi break."
Abaya tercengang saat Mina mengatakan itu. Arsan dengan Dayne break? Tapi, break ataukah putus? Haruskah kini ia merasa senang? Tapi, kenapa ia merasa seperti biasa saja saat mendengar berita itu, tepat setelah Mina mengatakan sesuatu tentang Sean? Tidak mungkin, kan, posisi Arsan dapat tergeser dengan cepatnya?
"Aya sudah sadar?" Ibu Mina datang dengan wajah khawatirnya.
"Kalo butuh apa-apa bilang ya, Nak. Oh iya, Ibu sudah telepon orang tua kamu. Mereka akan sampai ke sini besok pagi."
Abaya tersenyum, menjawab pernyataan ibu. Rupanya, orang tua adopsinya masih peduli. Ia kira, ia akan kembali dibuang seperti dulu.
"Kamu istirahat aja dulu." Ibu Mina mengelus kepala Abaya pelan.
Mata Abaya juga masih terasa berat, seluruh tubuh juga terasa sakit. Ia kembali memejamkan mata. Menetralkan rasa sakit yang mendera ini.
Hingga matanya kembali terbuka saat lampu kamar rumah sakit yang ia tempati itu sudah menyala di mana-mana, menandakan bahwa hari sudah malam.
"Hai," sapa seseorang saat ia membuka mata.
Ia menemukan Sean yang sedang duduk di samping ranjang. Ia tersenyum manis. Di ruangan ini, ia tidak melihat siapapun lagi selain Sean.
"Mereka semua lagi istirahat, makan di kantin. Gue yang lagi jagain lo." Kata demi kata, tak lupa diiringi dengan senyum manisnya. Senyum yang membuat rasa bersalah timbul dalam hati Abaya.
Tadi, saat Mina menyuruhnya untuk menerima Sean, hatinya menerima saran itu. Tapi, kini setelah berhadapan dengan Sean pikirannya berubah. Hatinya begitu plin-plan dalam memilih. Sekarang, ia malah ingin tetap menyukai Arsan. Apalagi, ada kesempatan yang bagus karena Arsan dan pacarnya sedang break.
Abaya menghela napas. "Jangan kayak gini terus, Sean," lirihnya.
Ternyata, tidurnya tadi bermanfaat. Terbukti bahwa ia sudah bisa untuk berbicara lagi walaupun masih terasa sangat lemas untuk melakukannya.
Sean mengernyit bingung. "Maksudnya?"
"Jangan buat aku terus merasa bersalah sama perasaan kamu ke aku. Aku takut gak bisa membalas perasaan itu. Dan aku juga takut, di saat aku jatuh hati sama kamu, aku akan melupakan semua yang menjadi tujuanku." Abaya berkata dengan pelannya. Ia tidak ingin rasa itu terus-menerus muncul dan mengganggunya.
"Jadi, aku mohon, buang perasaan itu. Kamu orang baik, dan harus mendapatkan yang baik juga." Matanya mulai berkaca-kaca. Mengapa sesakit ini saat meminta seseorang untuk menghilangkan perasaan kepadanya?
Sean terdiam. Senyum bahagia saat menyambut Abaya yang membuka mata tadi telah pudar, digantikan dengan senyum yang Abaya pahami itu sebagai bentuk kekecewaan.
"Aku gak pernah menyesal suka sama kamu, walaupun kamu sudah nolak berulang kali. Karena, di saat aku sudah menentukan pilihan pada satu hati, maka itu akan terus berlanjut, dan gak bisa tergantikan. Aku akan terus menunggu sampai kamu siap. Dan aku bisa pastikan, apa yang ingin kamu capai gak akan terganggu dengan adanya aku di sisi kamu."
Air mata Abaya luruh saat Sean mengatakan hal itu. Perasaan tulusnya membuat hati Abaya tergetar. Entah kapan waktu yang bisa menjatuhkan pilihan hatinya kepada Sean. Jujur saja, ia tidak ingin egois. Ia menyukai Arsan, tetapi ia juga tidak mau menggantungkan harapan kepada orang lain. Tapi, kenapa ia tidak sanggup untuk meminta Sean agar benar-benar melepaskan perasaannya? Ini salah, tanpa sadar ia sudah menjadi egois.
"Kamu itu kayak parasit tau, gak?!" bentak Abaya tiba-tiba. Ia tidak tahu kenapa kalimat itu bisa keluar dari mulutnya. Ia sendiri terkejut dengan perkataannya, ia terlalu merasa frustasi terhadap rasa bersalahnya kepada Sean.
Sean juga tersentak mendengarnya. Ternyata, di mata Abaya, tak lain ia hanyalah sebuah parasit yang begitu mengganggu. Ia tersenyum miris, fakta itu cukup membuatnya sakit. Cukup membuatnya sadar bahwa Abaya tidak menyukai dirinya.
"Jangan nangis." Sean mengusap air mata yang mengalir di pipi Abaya. "Kalo kamu memang benar-benar mau aku pergi dari kehidupan kamu, bakal aku lakuin."
Ia tersenyum kembali, lalu bangkit. Berpamitan pulang, karena hari sudah menunjukkan pukul delapan malam. Jalannya terlihat gontai dengan pandangan yang terus menunduk, menarik pintu pun seperti kehabisan tenaga.
Kini Abaya merasa seperti orang jahat. Dulu, ia menggantungkan kepastian pada Sean, dan sekarang, ia menyakitinya. Tapi, entah kenapa, ada satu titik di hatinya yang ikut sakit saat meminta hal itu kepada Sean.
"Lo disakitin sama dia?"
Arsan kini tepat di samping Abaya. Duduk di tempat Sean tadi. Abaya sendiri baru menyadari kehadirannya saat Arsan bertanya. Bahkan, Abaya pun tidak sadar, jika air matanya masih mengalir dengan deras.
"Jadi cewek itu jangan mau disakitin. Harus ngelawan, kalo gak mau harga dirinya diinjak."
Nyatanya, Arsan yang lebih menyakitinya daripada Sean. Tapi, inilah risiko yang harus ia terima. Saat ia memutuskan untuk suka dalam diam, maka ia harus menanggung sendiri apapun risiko yang akan dialami. Karena, orang yang ia suka tidak tahu apa-apa dan dirinya sendiri yang patut disalahkan saat tersakiti.
"Gue minta maaf soal Dayne yang berbuat gini sama lo. Gue gak tau kalo kejadian tadi pagi, bisa separah itu. Atas nama Dayne, gue minta maaf." Ucapan maafnya begitu tulus terdengar.
Tapi, kenapa Arsan yang meminta maaf? Ini bukan salahnya, Dayne yang seharusnya meminta maaf. Apa rasa sayang Arsan begitu besar, sehingga kesalahan pacarnya sampai mau ia pertanggungjawabkan?
Abaya mengangguk, memaksakan tersenyum. "It's okay," jawabnya parau.
Yang hanya bisa ia lakukan saat ini hanyalah menertawakan dirinya dalam hati. Menyadari bahwa rasa yang ia miliki tidak akan pernah terbalas, tidak ada ruang kosong yang tersisa di hati Arsan. Sedangkan, di sisi lain ia sudah membuang seseorang yang begitu tulus memiliki perasaan kepadanya. Betapa bodohnya ia. Tapi, tetap saja, perasaannya kepada Arsan masih sangat besar, tidak bisa hilang dengan mudah.
Tangisnya telah mereda. Matanya terpejam, terasa sangat berat sehabis menangis tadi. Hingga, ia terpejam sepenuhnya, terbang ke alam mimpi dengan Arsan yang masih setia duduk di sampingnya
**
Sinar mentari menyelinap masuk dalam indra penglihatan Abaya yang terpejam. Ia membuka mata. Hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah kedua orang yang sangat ia rindukan. Matanya berkaca-kaca, rasa rindu yang membuncah seketika hadir. Mereka adalah orang tua adopsi Abaya, yang setelah satu tahun lebih baru kembali di hadapannya.
"Maafkan kami." Mama Abaya ikut mengalirkan air mata saat melihat putri adopsinya itu.
Mereka mendekat. Mama Abaya duduk di samping putrinya. Sedangkan Papanya, masih bertahan dengan wajah dinginnya. Mama Abaya memeluk tubuh putrinya yang masih terbilang lemah itu. Seketika, tangis Abaya menjadi lebih keras. Ia begitu rindu akan pelukan hangat ini.
"Seharusnya, kami bisa menjaga kamu. Seharusnya, kami selalu bertanggung jawab membahagiakan kamu. Maafkan kami, sayang." Sorot mata Mama Abaya terlihat begitu bersalah.
"Kami akan mengirim asisten rumah tangga ke rumah, untuk menjaga kamu. Kami tidak bisa tinggal di sini, karena adik kamu sudah bersekolah di kota tempat Papa kerja. Akan sangat susah jika harus mengurus kepindahan, karena tugas Papa di sana juga belum selesai," jelas Papa Abaya.
Rasanya, Abaya ingin berteriak saat ini. Bukan, bukan itu yang ia inginkan. Ia hanya menginginkan kedua orangtuanya untuk terus berada di sampingnya. Berbagi kebahagian, tawa, serta duka bersama. Iya, ia sadar, ia hanyalah anak adopsi. Tapi, apa ia juga tidak berhak mendapatkan kebahagiaan?
"Pa," Ia berkata dengan lirihnya, diiringi isak tangis yang terus mengeras.
Ia ingin mengeluarkan semua isi hatinya. Tapi, sangat susah untuk dikeluarkan. Ia takut, jika mereka akan terluka dan terganggu dengan perkataannya.
Mama Abaya bangun dari duduknya. "Kami harus kembali. Kasihan adik kamu, kami tinggal. Jaga kesehatan, jangan sampai kejadian ini terulang lagi."
Mereka bergantian mengecup kening Abaya, lalu setelahnya pergi dari ruangan ini.
Abaya kembali menangis. Sangat jarang ia meluapkan seluruh masalahnya dengan menangis, namun akhir-akhir ini ia menjadi sangat perasa, lemah akan semua hal.
"Aku denger semuanya." Mina datang dengan wajah sedihnya. Bahkan, ia mengatakan itu dengan sangat pelan.
Abaya membetulkan posisi menjadi duduk, walaupun kepalanya masih terasa sangat sakit.
Kini, Mina tepat berdiri di samping Abaya. Menatapnya dengan tatapan sendu. "Kamu jarang banget kayak gini, Ya. Kamu berusaha memendamnya sendiri. Tapi, sekarang aku tahu semuanya dan kamu bisa berbagi penderitaan itu ke aku." Ia memeluk Abaya dengan erat.
Abaya membalas pelukan itu. Menangis di dalam pelukan sahabatnya. Mina mengelus pundak Abaya, menenangkannya yang sedang menangis tersedu.
"Apa gunanya hidup aku sekarang?"
Mina menggeleng. "Jangan bilang gitu." Suaranya juga berubah menjadi parau dan Abaya bisa merasakan butiran air yang membasahi punggung. Mina juga menangis.
"Kamu masih punya Aku, Ibu, sama Ka Arsan. Kamu gak sendirian. Jangan merasa hidupmu itu gak berguna. Kamu sudah sangat sering mendengarkan keluh kesahku, nenangin aku kalo aku nangis. Dan kini, giliran aku yang ngelakuin itu. Nangis sepuasnya, luapkan semuanya. Tapi jangan bilang, kalo hidup kamu itu gak ada gunanya."
Abaya mengigit bibir, tangisnya mengeras, sesekali ia juga berteriak meluapkan semuanya. Ini adalah saat yang paling menyakitkan untuknya. Ia selalu berdoa agar nyawanya diambil secepat mungkin. Tetapi, di sini keluarga Mina selalu memberinya kekuatan.
"Jangan pernah menyerah akan keadaan. Banyak hal di luar sana yang bisa membahagiakan hidup kamu. Jangan hanya terpaku dalam satu masalah, karena itu gak akan bisa merubah hidup kamu sampai kapan pun. Coba kamu lihat, seberapa banyak orang yang menyayangi kamu. Tapi, harus kamu ingat, kamu harus mencintai diri sendiri melebihi kamu mencintai orang lain. Karena dengan begitu, kamu akan membangun benteng yang kokoh saat kamu merasa tersakiti. Aku akan selalu ada mendorong di belakang, menggenggam tangan kamu untuk bangkit dan bersama-sama kita akan mengubah dunia ini."
Pelukan mereka, semakin mengerat. Saat Abaya berada dititik terlemah, selalu ada orang-orang yang berada di sampingnya. Saat ia berpikiran untuk mengakhiri hidup, selalu ada yang orang-orang yang memberikan kekuatan, membuatnya membuka maa untuk melihat betapa banyaknya orang yang sayang kepadanya dan peduli padanya.