Hari ini, Abaya pergi ke sekolah bersama Arsan dan Minara. Sesuai dengan perkataan Ibu Mina kemarin, Arsan juga harus menjaga Abaya. Mungkin, jika Teressa ada tidak sakit, ia juga akan pergi bersama. Tetapi, sayangnya ia sakit. Dan barang-barangnya yang ia bawa saat ingin bermalam di rumah Abaya, diambil oleh supirnya tadi pagi.
Sepanjang perjalanan, Abaya dan Mina terus berbincang. Sedangkan Arsan, ia hanya sesekali menjawab jika diajak bicara. Arsan bukanlah cowok dingin seperti dalam novel-novel remaja. Ia hanya membatasi bicara saja, karena menurutnya, lebih baik sedikit bicara, daripada banyak bicara tetapi perkataanya akan menyakiti orang lain.
Mobil yang dikendarai Arsan telah melewati gerbang sekolah dan berhenti tepat di parkiran. Keadaan sekolah sudah cukup ramai, terutama di lantai satu, tempat kelas sepuluh. Mungkin saja, para murid baru itu takut dihukum jika terlambat.
Abaya dan Mina turun dari mobil. Seketika, semua pasang mata mengarah ke arah mereka berdua. Ah, bukan berdua, hanya Abaya saja. Mungkin mereka semua bingung dengan kedatangan Abaya bersama Arsan dan Mina, karena biasanya Abaya pergi sendiri ke sekolah menggunakan sepeda miliknya.
Seorang siswi menghampiri Arsan yang baru saja turun dari mobil. Ia adalah Dayne, kekasih Arsan. Mina tersenyum ke arah kekasih kakaknya, menundukkan kepala, lalu mengucapkan selamat pagi. Dayne membalas ucapannya itu disertai dengan senyuman. Yang Abaya yakini, senyum itu adalah senyum keterpaksaan.
Dengan wajah angkuhnya Dayne beralih menatap Abaya. Mina menyenggol Abaya, mengisyaratkan untuk tidak menatap Dayne dan segera mengucapkan salam. Tetapi, Abaya mengabaikannya. Ia malah dengan terang-terangan menatap Dayne.
"Adik kelas kurang ajar!" umpat Dayne.
Suaranya itu pelan, tetapi pasti akan terdengar ke seluruh penjuru sekolah, karena keadaan sedang hening, menyaksikan drama yang terjadi sekarang ini.
Dayne yang tadinya berada di samping Arsan, kini berjalan mendekat ke arah Abaya. "Maksud lo apa, natap tajam gue kayak gitu?! Gak sopan banget jadi adik kelas!" bentak Dayne.
"Maaf, Ka. Tapi, sorot mata Abaya memang kayak gitu," bela Minara.
Dayne menatap tajam Mina, membentaknya supaya tidak ikut campur, melupakan bahwa Mina adalah adik dari kekasihnya.
Abaya menghela napasnya pelan. Mungkin, ini adalah saat yang tepat untuk melakukan tujuan pertamanya. Juga untuk mengeluarkan seluruh kekesalannya terhadap kakak kelas yang selalu semena-mena.
"Maaf, Ka. Dan sebelumnya, selamat pagi." Abaya menundukkan kepalanya, seraya senyum terpaksa.
Ia kembali mengangkat wajahnya, menatap Dayne yang sekarang berada di hadapannya itu. "Maaf jika perkataan saya ini akan menyinggung Kakak ataupun seluruh kakak kelas di sini. Ada hal yang membuat keinginan seseorang itu tidak tercapai. Seperti sekarang ini. Saya ingin menyuarakan isi hati seluruh adik kelas. Jika seseorang tidak melakukan hal yang kakak inginkan, untuk selalu menunduk, tidak boleh menatap, serta harus mengucapkan salam setiap waktu, akan di-bully, kan?"
"Saat mereka tidak menuruti hal itu, mungkin saja mereka sedang muak dengan kesenioritasan yang terjadi di sekolah ini. Kami tahu batasan, Ka. Dan kami tidak akan berperilaku tidak sopan kepada kakak kelas. Tetapi, tindakan para kakak kelas yang selalu menginjak adik kelas di bawahnya, menganggap kami kecil, seolah-olah kami ini budak yang harus melakukan apapun yang kalian minta. Itu sudah di luar batas, Ka. Bahkan, seringkali itu membuat beberapa siswi trauma karena di-bully kakak kelas, sampai dia gak mau sekolah lagi. Jika itu terus terjadi, bisa saja dilaporkan ke pihak yang berwajib, Ka." Abaya mengatakan itu dengan lantangnya. Tak ada terselip keraguan sedikitpun dari nada bicaranya.
Ia berdeham, tenggorokannya terasa sakit karena terlalu banyak bicara. Dilihatnya Dayne yang wajahnya sudah memerah menahan amarah, dengan kedua tangan yang mengepal sempurna di kedua sisi badan.
Abaya mengedarkan mata. Ternyata, di tiga tingkat lantai sekolah ini, semua murid memperhatikannya. Ada yang menatapnya dengan senyum puas dan acungan jempol. Tetapi, ada juga yang menatapnya dengan amarah, yang tentunya itu adalah kakak kelas yang merasa tersinggung dengan perkataannya tadi. Arsan, menatapnya dalam diam. Sedangkan Minara, mencoba untuk menutup mulutnya dengan tangan, agar tidak menyemburkan tawa.
"Sepertinya saya sudah terlalu banyak bicara. Maaf jika membuat kakak tersinggung. Saya permisi," pamit Abaya.
Ia berbalik meninggalkan Dayne. Tetapi, baru satu langkah yang ia ambil, lengannya ditarik, tubuhnya pun ikut berbalik ke posisi tadi. Lalu, sebuah tamparan melayang di pipi kanannya. Tentunya, Dayne yang melakukan itu. Rasa perih dan nyeri menjalar begitu saja. Saking kerasnya tamparan Dayne, hingga membuat sudut bibirnya terluka.
Mina membawa sahabatnya menjauh dari Dayne yang sedang dikuasai amarah. Sedangkan Dayne, ia ditarik oleh Arsan.
"Dia permalukan aku!" Dayne memberontak saat Arsan membawanya menjauh, tetapi Arsan menulikan pendengarannya, tetap menarik Dayne menjauh.
Dayne menghempas tangan Arsan. "Gue belum selesai, ya!" teriaknya pada Abaya sebelum akhirnya ia pergi sendiri dengan amarah yang membuncah.
Mina juga segera membawa Abaya ke kelas. Ia mendudukkan Abaya di tempat mereka duduk. Pagi seperti ini, sudah pasti UKS belum buka. Akhirnya, ia memilih beranjak pergi mengambilkan es batu di kantin.
Baru sedetik Mina hilang dari balik pintu, teman-teman sekelasnya bergerombol datang ke meja Abaya.
"Gila ya! Hebat banget lo," puji Anggi.
"Iya, lo udah menyuarakan isi hati kita," timpal yang lainnya.
Abaya memutar bola matanya dengan malas. Perkataannya tadi itu, memang tujuannya sendiri, yang ingin mengubah dunia di sekitarnya. Yang dimulai dari lingkungan sekolah.
Mereka kembali memuji Abaya. Bahkan, anak kelas sebelah pun masuk ke kelasnya dan ikut memuji. Alih-alih merasa bangga, menurut Abaya, pujian itu membuat kepalanya tambah pusing.
Sampai seseorang menyentuh pipinya yang terkena tamparan tadi. Itu adalah Sean Arsyaka, lelaki yang terang-terangan menyukai Abaya. Tetap mengejar, walaupun sudah ditolak berulang kali. "Pasti sakit, ya?" tanyanya lembut.
Abaya terdiam, ia menatap Sean. Sean adalah pria yang baik. Perasaanya tulus, tidak pernah dendam karena Abaya selalu menolaknya. Jika terus diperlakukan lembut seperti itu, Abaya pasti akan luluh juga. Karena, di sisi lain mengharapkan Arsan itu adalah hal yang mustahil.
Ah, Abaya mengenyahkan pikiran itu. Ia tidak ingin posisi Arsan digantikan oleh siapapun. Ia lebih memilih suka dalam diam, daripada harus menerima seseorang yang berujung pacaran. Pasti, tujuannya nanti akan terganggu.
Abaya menepis tangan Sean. Sean tetap tersenyum, walaupun sorot matanya menampilkan kekecewaan.
"Aduh! Berisik banget, sih! Makin sakit, nih, pipi gue denger cuap-cuap gak jelas dari kalian semua! Udahlah, simpen aja pujian lo semua buat nanti! Karena ini baru awalnya." Abaya tersenyum miring. Menyadarkan semua orang bahwa ini baru permulaan, dan masih banyak hal yang harus dilakukan nanti.
Semuanya bergidik ngeri saat melihat senyum miring yang ditampilkan Abaya. Mereka langsung beranjak ke tempat duduk semula, anak kelas sebelah juga langsung keluar dari kelas Abaya.
"Tenang, gue bakal jadi tameng buat lo."
Sean tersenyum saat mengatakannya. Seketika, Abaya tenggelam dalam manik mata Sean yang meneduhkan. Kata-kata pria itu, bahkan senyumannya seakan membuat Abaya terhipnotis.
Jadi, haruskah Abaya menerima Sean? Ia bisa memanfaatkan Sean untuk melindungi dirinya dari berbagai halangan yang bisa menggangu dalam mencapai tujuannya. Tetapi, ia menggeleng, itu namanya egois.
Tatapan mereka terputus, saat Mina datang membawa es batu yang dibalut kain. Ia duduk ditempatnya, di samping Abaya. Dengan cekatan, ia mengompres pipi sahabatnya. Sesekali, Abaya meringis, merasakan sakit.
"Mau gue bantu?"
Ternyata, dari tadi Sean masih bergeming di depan Abaya. Ia terus memperhatikan Abaya yang diobati. Wajah Abaya yang sesekali meringis, membuat Sean menjadi gemas.
Abaya melayangkan tatapan tajamnya ke Sean. Bukan rahasia lagi, jika seisi kelas mengetahui bahwa Sean menyukai Abaya. Lelaki itu selalu saja blak-blakan dalam mengatakan sesuatu. Suaranya itu tidak bisa dibilang pelan, sudah dipastikan teman-teman sekelasnya mendengar. Dan terbukti dengan mereka yang mulai menggoda Abaya, menyorakinya dan juga bersiul.
Sean hanya bisa tertawa terbahak. Apalagi, saat ia melihat Abaya yang terlihat kesal. Sebelum pergi ke tempat duduknya, ia mengacak gemas rambut Abaya. "Ily," bisiknya.
"Perhatian! Untuk seluruh anggota OSIS agar segera berkumpul di ruang OSIS sekarang."
Pengumuman dari microphone terdengar dua kali. Abaya dan Mina saling bertukar pandang. Mereka yakin, bahwa rapat kali ini akan membahas tentang pemimpin OSIS baru, yang akan dilaksanakan dua bulan lagi. Mereka berdua bersama anggota OSIS kelas, beranjak menuju tempat sesuai pengumuman tadi.
Keadaan ruang OSIS sudah cukup ramai, tinggal menunggu ketua dan wakil ketua OSIS datang.
"Maaf kami terlambat." Esa dan Megan memasuki ruang OSIS. Mereka adalah ketua dan wakil ketua OSIS di SMA Guna Mulya ini. Mereka berdua satu tingkat di atas Abaya.
Esa Tirtana. Ya, dia adalah selingkuhan dari pacar Arsan dulu. Ketua OSIS yang mampu menarik atensi seluruh siswi SMA Guna Mulya ini. Lelaki dengan wibawa yang tegas seperti dirinya akan lebih mudah untuk menarik siswi saat melihatnya. Tetapi anehnya, citranya setelah ketahuan sebagai selingkuhan Dayne, tidak menjadi buruk. Ia malah mendapat dukungan dari semua siswi, saat Arsan memojokkan dirinya. Tepat setelah kejadian itu, Esa dan Arsan tidak pernah bersama lagi, seperti orang asing yang tidak pernah kenal sama sekali.
Esa dan Mega mengucapkan salam kepada seluruh anggota OSIS yang ada di ruangan itu, setelahnya langsung membahas inti dari rapat.
"Mungkin kalian semua sudah menebak, bahwa rapat kali ini akan membahas tentang pemimpin selanjutnya, yang pemilihan itu sendiri akan dilaksanakan dua bulan lagi," jelas Esa.
"Iya. Ibu Septi sudah menyerahkan tanggung jawab tentang pemilihan pemimpin baru itu kepada kami berdua. Jadi kami mohon bantuannya, agar pemilihan ini berjalan dengan lancar," timpal Megan.
"Kami minta, mulai sekarang kalian semua membuat visi dan misi. Yang nantinya, itu akan diseleksi terlebih dahulu dengan vote antar OSIS ini dan menyisakan 4 orang untuk dipilih warga sekolah," tambahnya.
Semua mengangguk mengerti. Ini akan menjadi hal yang mudah bagi Abaya dan Mina. Abaya beranggapan, bahwa mereka semua sudah mengenalnya karena kejadian tadi, jadi ia hanya perlu memberikan bumbu sedikit agar bisa diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin baru.
"Visi dan misi itu harus selesai dalam dua minggu dan akan langsung kita seleksi. Mungkin itu saja pembahasan dari rapat kali ini. Ada yang ingin ditanyakan?" tanya Esa.
Mereka semua terdiam, tidak ada pertanyaan yang terbesit saat ini.
"Jika ada yang tidak dimengerti, nanti bisa langsung tanyakan ke kami ataupun lewat grup OSIS."
Esa dan Megan menutup rapat hari ini. Semua anggota OSIS serentak membubarkan diri, menuju kelas masing-masing.
Para Anggota OSIS kelas Abaya juga segera memasuki kelas, karena ini adalah waktu pelajaran guru killer untuk jurusan IPA. Tetapi, untung saja, beliau mengizinkan mereka masuk.
Pikiran Abaya berkelana saat Pa Denis menjelaskan. Ia begitu pusing memikirkan visi dan misinya dalam pemilihan pemimpin OSIS yang baru nanti. Ia harus menyiapkannya dengan baik, karena itu satu-satunya cara yang bisa ia lakukan untuk mengubah lingkungan sekolah.
Hingga bel istirahat berbunyi, semua siswa berhamburan menuju kantin setelah guru yang mengajar meninggalkan kelas terlebih dahulu.
SMA Guna Mulya ini memiliki tiga lantai. Lantai pertama adalah lantai untuk kelas sepuluh, ruang guru dan ruang olahraga. Kantin utama sekolah ini juga berada di lantai satu. Lantai kedua untuk kelas sebelas. Dan lantai terakhir untuk kelas dua belas.
Hampir seluruh warga di sekolah, memilih makan di kantin utama, dibandingkan dengan berbelanja makanan ringan di koperasi yang ada di setiap lantai.
Abaya bersama Mina berjalan menuju tangga yang menghubungkan lantai seluruh kelas ke lantai dasar. Lantai satu-satunya yang digunakan oleh kelas sebelas dan dua belas jika ingin turun ke lantai satu. Walaupun ukurannya cukup besar, tetapi tetap saja tangga itu akan selalu macet keadaannya, saat istirahat tiba.
Seperti yang pernah Abaya bilang sebelumnya, sekolah ini adalah sekolah buangan. Banyak para murid yang tidak diterima disekolah unggulan dan akhirnya mendaftar ke sini. Baginya sendiri, ia sekolah di sini karena rumahnya dengan sekolah hanya berjarak dua kilometer saja. Alasan Mina dan Arsan pun juga sama seperti Abaya. Sekolah unggulan di kota tempat mereka berada sangat jauh dan memakan waktu kurang lebih empat puluh lima menit. Itu sebabnya, mereka memilih untuk sekolah di sini agar menghemat waktu.
Langkah Abaya terhenti seketika, teringat akan sesuatu yang tertinggal. Orang-orang di belakangnya protes, merasa bahwa Abaya telah menghalangi jalan mereka.
"Kenapa?" tanya Mina
Abaya menariknya menuruni tangga lebih cepat, lalu berhenti di koridor yang tidak terlalu ramai.
"Min, aku lupa kumpulin tugas dari bapak killer tadi. Aduh, mati!" Abaya bergerak gelisah. Ini adalah bahaya untuknya. Salahnya tadi, karena tidak memerhatikan saat Pak Denis berbicara.
Mina memukul lengan Abaya. "Pak Denis, Aya. Jangan sebut gitu lagi, nanti kalo ketahuan kamu bisa dihukum dan dikurangin nilainya. Terus gimana tugas kamu?" tanyanya.
Abaya terdiam, berpikir keras untuk itu. Jika ia ketahuan lambat mengumpul, maka nilainya akan dikurangi setengah dari nilai tugas itu.
"Eh, ini kan istirahat. Pasti Pak Denis juga lagi istirahat. Yaudah, aku mau ke kelas dulu."
Abaya berbalik, tetapi ditahan oleh Mina. "Aku ikut," pintanya.
"Jangan! Kamu duluan aja ke kantin. Waktu istirahat kan gak banyak," pinta Abaya.
Mina menggeleng, tidak menyetujui ucapan sahabatnya itu.
"Oke, kamu tunggu aja di sini. Aku bakal cepat." Abaya tersenyum saat melihat anggukkan dari Mina.
Dengan segera ia berlari menuju kelas, beruntung bahwa tangga saat ini tidak ramai, mungkin semuanya sudah turun menuju kantin.
Ia membongkar isi tas, menemukan buku yang berisi tugas dari Pak Denis. Kemudian, berlari lagi menuju kantin. Pasti Mina sudah sangat menunggunya.
Sepuluh langkah sebelum tangga, ia melihat rombongan Dayne yang sedang berada di anak tangga kedua dari atas. Langkah Abaya menjadi pelan, ia menyapa mereka dengan senyum yang agak dipaksakan. Mereka berhenti mengobrol dan ikut tersenyum kepada Abaya.
Turun satu tangga dari rombongan mereka, Abaya terhuyung ke depan. Dahinya terbentur anak tangga dengan sangat keras, ia jatuh terguling. Kejadian itu terjadi begitu cepat, otaknya masih mencerna apa yang sedang terjadi sekarang ini.
Tidak, ia tidak terpeleset. Tetapi, ia terjatuh karena ada sebuah kaki yang menghadangnya. Ia tadi tidak melihat ke arah anak tangga sebelum kejadian itu, karena terlalu terburu-buru.
Sekarang, ia tergeletak di lantai dasar. Kepalanya terasa sangat sakit, ia juga merasakan sesuatu yang mengalir di dahi. Orang-orang di sekitar mengelilinginya. Dan Mina, ia menidurkan kepala Abaya di pahanya. Hanya itu yang bisa Abaya lihat, sebelum akhirnya pandangannya menjadi gelap dan tak sadarkan diri.