Benar-benar mimpi yang indah. Tidak kusangka aku bisa bermimpi di tempat impianku dan bertemu dengan seseorang yang dapat membuatku nyaman. Jika saja ada seseorang seperti Juno di kehidupanku, tentu saja keadaan akan menjadi berbeda.
Cahaya matahari yang masuk melalui jendela kamar membangukanku dengan mengarahkan sinarnya ke mataku. Aku bangun dan duduk di atas kasur sejenak. Kemudian, aku melihat jam dinding yang tergantung di kamarku.
“Jam 7… Kenapa aku bangun sepagi ini?”
Hari ini adalah hari libur. Aku baru beberapa minggu bersekolah dan sudah merasa Lelah. Andai saja ada seseorang seperti Juno di sekolahku, tentu saja keadaan akan menjadi berbeda.
“Juno, Juno, Juno…”
Bangun dari tidur, yang hanya kupikirkan adalah Juno. Aku mendambakan seseorang sepertinya. Namun, jika apa yang dikatakannya adalah benar, maka aku bisa saja bertemu dengannya lagi di dalam mimpiku.
Aku tertawa kecil sambil bergumam, “Tidak kusangka teman pertamaku adalah yang kutemui di dalam mimpiku.”
Akan tetapi, mimpi adalah mimpi. Hal seperti itu tidak akan abadi. Jika aku ingin bermimpi terus, maka aku juga harus hidup lebih lama. Hidup tidak lain hanyalah sebuah mimpi buruk.
Aku berdiri, mengambil sebuah barang di mejaku, lalu menghadap ke cermin.
Aku masih teringat dengan perkataan Juno dimana dia bilang kalau aku tidak seperti gadis seumuran denganku pada umumnya. Dia mengatakan bahwa aku selalu terlihat murung.
Aku mengamati pantulan diriku di cermin lalu tertawa kecil.
“Mungkin dia benar.” Ucapku.
Walaupun tubuhku kecil dan parasku bisa dibilang cantik, tetapi tatapanku benar-benar kosong. Mataku yang berwarna hijau ini tidak mengeluarkan cahaya sedikitpun.
“Aku bahkan tidak tahu siapa diriku ini…”
Barang yang kuambil dari mejaku adalah box cutter. Aku dorong keluar pisaunya dan kuarahkan menuju leherku.
Ini adalah rutinitasku sehari-hari. Aku ingin bangun dari mimpi buruk ini. Namun, setiap saat aku akan melakukannya, tanganku bergetar. Aku mencoba menghentikan getaran tanganku dengan tangan yang satu lagi, tetapi masih tidak bisa. Beberapa saat kemudian, kakiku juga ikut bergetar. Kemudian, seluruh tubuhku ikut bergetar hingga aku kehilangan keseimbangan dan jatuh.
“Se-sesulit ini kah untuk melakukannya…?”
Sudah setahun aku mencobanya Akan tetapi, tidak ada yang berubah sejak saat itu. Aku belum bisa membangunkan diriku sendiri dari mimpi buruk ini.
“…”
Aku meletakkan box cutter-ku kembali ke meja, lalu duduk sejenak untuk menenangkan diri.
“Coklat…”
Aku teringat bahwa Juno menyarankan untuk memakan coklat. Akan kucoba nanti. Mungkin itu bisa menenangkan hatiku yang selalu kacau ini.
Setelah tenang, aku berjalan keluar dari kamar dan masuk ke kamar kakakku. Aku melihat kakakku sedang tertidur pulas di kasurnya. Namun, di dahinya terdapat luka memar baru. Melihat itu, aku mengambil es dan kubungkus dengan handuk. Kemudian, aku kompreskan dahi kakak perlahan.
Sensasi dingin dari es tidak mengkagetkan kakakku. Malahan, dia membuka matanya perlahan dan bangun dengan tenang. Hal ini karena kakak sudah terbiasa.
“Terima kasih, Aria…” ucap kakak pelan karena masih merasa kantuk.
Setelah berterima kasih, dia menutup matanya lagi.
Dasar pemalas batinku.
Kakakku memiliki kebiasaan aneh dimana terkadang keadaan emosionalnya menjadi tidak stabil dan dia membenturkan kepalanya. Aku sudah beberapa kali memarahi kakak agar tidak membenturkan kepalanya, tetapi sia-sia saja. Dia berkata bahwa alasannya membenturkan kepala adalah agar dirinya menjadi normal lagi. Jujur, aku benar-benar tidak paham terhadap alasan yang dikemukakannya.
Ayah dan ibu tiri kami sudah membawanya ke psikolog dan psikiater. Dia tidak terdiagnosa penyakit jiwa apapun, tetapi dia dikatakan sedang mengalami tekanan mental.
Tidak ada yang tahu tekanan mental yang dialami kakak. Bahkan aku juga tidak tahu. Kedua orangtua tiri kami berspekulasi bahwa kakakku masih tidak bisa meninggalkan ibu kandung kami. Memang, kakakku lah yang paling terbebani selama ini. Dia tidak mendapatkan sosok seorang ayah karena ayah kami meninggalkan kami dan ibu meninggal setelah melahirkanku. Kami berdua hanya berbeda 5 tahun, sehingga semua itu terjadi ketika kakak berumur 5 tahun.
Namun, aku mendengar pernyataan dari kakakku sendiri…
“Aku bahagia karena ibu telah meninggal. Sebenarnya, aku sudah tidak terbebani lagi.” Begitulah katanya saat dulu ketika dia kutanyai.
Benar-benar membuatku kesal. Satu-satunya orang yang dekat denganku adalah kakakku sendiri, tetapi aku tidak bisa memahaminya. Aku benar-benar ingin menyelamatkan kakakku dari beban misterius yang selama ini dia sembunyikan.
…Mungkin itulah alasan kenapa aku tidak bisa merenggut nyawaku sendiri.
Aku tidak ingin meninggalkan kakakku sendirian. Aku ingin selalu bersama dengannya. Aku tidak ingin dia sedih karena aku meninggalkannya sendirian. Setidaknya…
Setidaknya aku harus mati setelah kakak meninggalkanku duluan.
Benar-benar harga yang mahal. Untuk mencari kebahagiaan kakak, aku harus hidup lebih lama di mimpi buruk ini. Namun, seorang manusia bisa bahagia di dunia ini memang hampir mustahil. Oleh karena itulah, aku selalu berharap bisa membuat duniaku sendiri. Dimana aku dan kakak bisa bahagia.
“…”
Suasana hatiku menjadi sedikit kacau. Aku teringat bahwa coklat bisa membahagiakan seseorang, sehingga aku memutuskan untuk pergi ke toko terdekat.
“Kakak, aku pergi dulu. Ayah dan ibu sudah pergi tapi mereka sudah menyediakan makanan.” Pamitku sambil berjalan keluar dari kamar.
“Hati-hati…” ucap kakakku sekuat tenaga.
***
Setelah beberapa saat, aku sudah memegang sebatang coklat di tanganku. Aku memutuskan untuk memakannya di taman terdekat. Aku duduk di sebuah bangku dekat pohon. Sambil melihat beberapa anak yang sedang bermain, aku membuka bungkus batang coklatku dan menggigitnya.
“…”
Sedikit keras, tetapi teksturnya halus. Setelah beberapa saat, coklatnya meleleh di mulutku dan aku dapat merasakan sensasinya.
“…Pahit.”
Tidak semanis yang kuharapkan. Terdapat sedikit rasa pahit dan aku tidak suka dengan rasa pahit.
“…”
Benar-benar tidak membuatku merasa lebih baik. Malah kepalaku masih dipenuhi dengan berbagai pikiran. Aku pernah dinasihati oleh seorang guru di sekolah untuk bermain dengan teman-teman sekelasku agar beban pikiranku semakin ringan. Namun, aku merasa tidak bahagia ketika bermain dengan siapapun. Ketika makan coklat pun aku tidak merasa bahagia.
“…Benar-benar kutukan yang mengerikan.” Gumamku dengan senyuman sinis yang mengejek diriku sendiri.
Pada saat aku baru lahir, aku diheboh-hebohkan oleh kedua orangtua tiriku sebagai calon anak jenius karena aku bisa berbicara lebih cepat dari bayi pada umumnya. Pada kenyataannya, tingkat kecerdasanku biasa-biasa saja.
Ketika berumur 4 tahun, aku bisa berdebat layaknya orang dewasa. Pada umur itu juga aku sudah mulai tidak tertarik bermain seperti anak-anak lainnya.
Ketika berumur 6 tahun, aku sudah mulai merasa tidak bahagia lagi dan aku tidak tahu kenapa. Aku selalu beranggapan bahwa sumber ketidakbahagiaanku berasal dari sebuah “kutukan”.
Aku bahkan tidak tahu yang mana diriku sebenarnya. Apakah selama 7 tahun ini aku hidup sebagai diri sendiri atau bukan? Apakah aku terlahir sebagai “Aria” atau orang lain? Karena selama ini, aku merasa hidup bukan sebagai diri sendiri.
“Seseorang…”
Adakah seseorang yang bisa melepaskan diriku dari kutukan ini? Adakah seseorang yang bisa membuatku bahagia sedetik saja? Adakah seseorang yang bisa membangunkan aku dari mimpi buruk ini?
“Adakah…ADAKAH SESEORANG YANG BISA MENJELASKAN SEMUANYA KEPADAKU!?”
Kekesalanku membuatku melempar batangan coklat yang padahal masih kugigit sekali. Yah, tidak apa sih. Memakan coklat bukan membuatku bahagia, tetapi malah menjadi kesal.
Karena dilihati oleh anak-anak yang bermain, aku memutuskan untuk pulang kembali ke rumah.
“Mungkin lebih baik kalau aku tidur saja.”