Kala kita tumbuh dewasa, maka kisah kanak-kanak kita akan dikenang sebagai kisah yang begitu menyenangkan. Itulah yang gue rasakan, bisa dibilang nggak ada sedihnya. Dan, jika ada mungkin karena nggak diajak main kelereng, karena nggak punya. Masa-masa kecil selalu mempunyai alur yang sulit untuk ditebak, namun selalu menghadirkan sebuah cerita yang jika dikenang selalu ingin diulang.
Ini kisah gue, hampir lima belas tahun yang lalu. Usia gue masih lima jalan enam tahun. Lapangan adalah tempat favorit yang selalu dijadikan banyak anak sebagai tempat untuk menghabiskan waktu sore mereka. Setelah solat ashar, lapangan akan penuh dengan berbagai permainan. Sepak bola, layang-layang, kelereng atau petak umpat. Setiap anak bebas untuk memilih permainan, akan tetapi biasanya yang selalu menjadi primadona para anak laki-laki ialah sepak bola dan para perempuan ialah petak umpat.
Hari itu entah mengapa gue ingin main petak umpat. Mungkin, karena sudah terlalu sering bermain permainan laki-laki. Petak umpat diikuti oleh banyak anak dan tidak ada dominasi dimasing-masing kubu. Perempuan dan laki-laki jumlahnya sama yaitu lima. Setelah menentukan siapa yang harus menghitung dan siapa yang harus mengumpat. Tibalah seorang perempuan, teman satu pengajian sama gue. Dia menghitung dan dalam sekejab seluruh pemain menghilang, mencari tempat mengumpat yang tidak bisa ditemukan oleh yang menghitung.
Satu jam berlalu, belum ada yang berhasil ditemukan. Gue bersama beberapa laki-laki harus berjibaku dengan gatalnya tumbuhan alang-alang, akibat sang penjaga yang tidak berhasil menemukan kita. Seiring berjalannya waktu, gue nggak tahan sama gatal yang menyerang hampir sekujur tubuh. Alhasil gue menerah dan kalah. Setelah itu gue yang menjadi penghitung dan yang lainnya mengumpat, termasuk satu orang yang sebelumnya menghitung.
Gue terlihat sangat santai pada saat itu. Gue yakin bahwa seluruh teman-teman gue akan dengan mudah gue temukan. Akan tetapi, perkiraan gue meleset jauh. Alang-alang tempat persembunyian favorit sepi dari para pengumpat. Begitu juga dengan tempat-tempat yang bisa disinggahi oleh teman-teman gue, sama sekali tidak diminati. Sore itu menjadi sore yang panjang buat gue. Kaki pegal, keringat mengucur dan sudah pasti rasa kesal di dada yang begitu besar. Hingga pukul lima lewat tiga puluh, gue belum berhasil menemukan seluruh teman-teman gue yang mengumpat. Seluruh tempat sudah gue datangi, namun hasilnya masih tetap sama.
Karena sudah semakin sore, gue akhirnya memutuskan untuk pulang. Ditengah perjalanan pulang, gue melewati beberapa rumah teman gue yang juga ikut bermain petak umpat. Dengan santainya dia keluar dan menyapa gue.
“Gue udahan ya, disuruh mandi soalnya!” ujarnya sembari cengengesan. Gue hanya bisa menghela napas berat. Dan, setelah itu gue lanjutin perjalanan dan melewati sebuah mushala, gue ngeliat segerombolan anak yang tengah duduk di depan mushala dan gue seperti tahu persis siapa saja yang ada disitu.
Ketika sudah sangat dekat, dugaan gue betul. Enam orang yang tadi mengumpat ada disitu.
“Habis dari mana?” tanya teman perempuan gue yang sudah sangat terlihat rapih dengan pakaian mengaji.
“Lah, kok lo belom siap-siap ngaji?” laki-laki dengan sarung yang melekat ditubuhnya melihat dengan heran.
“BODO AMAT!” seketika gue berlari menuju rumah dan malas untuk main bersama mereka.
Terlihat konyol dan menyedihkan si. Tapi, biarlah, semoga kalian terhibur.