"Wani piro?"
"Ma, Frans ini anaknya Mama. Bukan orang lain. Jadi buruan ah, kasih tahu alamatnya Farah!" todong Frans langsung.
Bukan Mama Karina namanya, jika langsung memberikan apa yang dimaui kedua anaknya. Sejak Frans lahir, rekor kemenangan Mama Karina atas anak-anaknya belum pernah tergeser! Buktinya, Mama Karina memenangkan pertaruhan yang beberapa bulan lalu dilakukannya dengan Tama. Yang pada akhirnya membuat Tama duduk di salah satu kursi panas di kantor.
"Mama mau Frans jadi jomlo seumur hidup?"
"Ya nggak dong. Masa anaknya Mama yang ganteng begini bakalan jadi perjaka tua?"
"Ya udah, makanya siniin alamatnya Farah."
"Janji sama Mama."
Melihat reaksi Frans yang jengah, membuat Mama Karina tersenyum.
"Kamu bakalan bawa Farah balik ke sini."
"Ma, Farah di sana punya keluarga. Ntar Frans dikira nyulik anaknya orang lagi.
"Ya kalau gitu, bawalah dia dalam keadaan halal. Resmi. Tercatat di catatan sipil!"
"Maksud Mama?"
Kali ini senyum Mama Karina makin lebar, "Kamu nikahin Farah! Gitu aja nggak ngerti. Percuma kuliah jauh-jauh ke Jerman, kalau masalah gini aja kamu mendadak bego."
"Mending Frans jomlo aja, deh," sahut Frans, kemudian beranjak dari hadapan Mama Karina. Tidak memedulikan lagi teriakan kesal Sang Mama.
Juga bukan Frans namanya, jika pria itu menyerah begitu saja. Keesokan harinya, Frans sudah berdiri di depan gerbang rumah Wendi. Membuat asisten rumah tangga sahabat Farah itu bingung. Jika Wendi bisa bersikeras menolak memberitahu alamat Farah, maka Frans juga bisa lebih keras berusaha mendapatkan alamat itu.
"Pagi, Tante," sapa Frans pada Mama Wendi, dan dibalas dengan senyuman oleh wanita berdaster yang baru saja keluar.
"Kamu yang kemarin ke sini, kan? Ngapain?"
"Mau jemput Wendi, Tante."
"Kamu siapanya Wendi? Pacar?"
"Teman dekat, Tante."
"Ada siapa, Ma?" teriak Wendi dari dalam rumah.
"Pacar kamu," sahut Mamanya.
"Hah?!" pekik Wendi kaget. Gadis itu gegas berlari keluar, dan langsung menggeram kesal saat melihat Frans sudah berdiri menantinya. "Ngapain lo di sini? Bikin eneg tau, nggak?"
"Hus! Anak cewek kok ngomongnya kasar gitu," tegur Mama Wendi.
"Ma, kalau sama-"
"Wen, bentar lagi kamu telat, lho," potong Frans seraya mengulurkan tangannya untuk menjabat Mama Wendi sekaligus berpamitan. "Ayo, katanya kemarin minta dijemput," bohong Frans yang malah membuat tekanan darah Wendi makin naik.
"Udah sana berangkat," anjur Mama Wendi.
Sepasang pemuda-pemudi itu pun akhirnya melaju membelah padatnya lalu lintas kota pagi. Lucunya, sepanjang perjalanan-yang biasanya mobil Frans riuh oleh teriakan pernyiar radio, mendadak-sepi bak kuburan.
Wendi, sedari menghempaskan bokongnya di kursi penumpang, tak sekalipun dia acuh pada Frans. Gadis itu lebih memilih memainkan semua permainan yang ada di ponselnya. Sedangkan si empunya mobil wajahnya sudah memerah menahan amarahnya sejak kemarin.
"Wen," sapa Frans seramah mungkin, agar lawan bicaranya ini tidak naik pitam. Namun, tak ada jawaban dari gadis di sebelahnya yang masih menunduk.
Melihat reaksi Wendi yang benar-benar tidak peduli, akhirnya memaksa Frans untuk membelokan setir dan berhenti di salah satu pom bensin. Pria itu langsung memutar tubuhnya menghadap Wendi yang masih belum sadar bahwa dirinya akan sangat terlambat masuk kantor nantinya.
"Kasih tahu gue. Apa yang mesti gue lakuin supaya bisa dapetin info soal Farah?"
Tak ada jawaban.
"Ok, Wen, dengan lo diem begini nggak menyelesaikan masalah sama sekali. Nggak bisa jelasin ke gue, kenapa lo bisa marah sama gue? Secara gue sama lo nggak kenal-kenal juga. Berapa kali sih kita pernah ketemu?"
Wendi masih diam.
"Terus Farah tiba-tiba kabur dan lucunya lo nyalahin gue. Nyokap gue juga sama. Sedangkan sejauh gue mengingat, gue nggak ngelakuin apapun sama Farah. Kalau Farah pergi karena gue tolak, kayaknya nggak mungkin. Kalau memang itu alasannya, udah dari lama dia bakalan pergi."
"Gue denger, lo ditinggalin calon bini lo. Gimana rasanya?" tanya Wendi balik tanpa membalas kalimat Frans sebelumnya.
"Sakit."
"Farah ngerasain lebih dari itu."
"Ya makanya, kasih tahu gue alamatnya dia. Biar gue bisa minta maaf sama dia, meskipun gue juga nggak tahu apa salah gue ke dia."
Wendi menoleh cepat, menatap kesal tak suka pada Frans yang baginya sangat tidak peka. Tidak mengerti keadaan, bahkan terkesan tak acuh. Menganggap apa yang dilakukannya dan yang terjadi pada Farah hanyalah masalah sepele yang bisa selesai hanya dengan minta maaf.
"Emang ya, sekalinya bajingan akan tetep jadi bajingan. Lo itu contohnya!"
"Wen! Bilang ke gue, emangnya gue udah ngapain Farah?!"
----------------------------------
"Pokoknya, kita dateng cuma setor muka doang. Setelah itu kita balik," ujar Farah, seraya mempercepat langkahnya menuju salah satu restoran fine dining-tempat janji temunya dengan pria yang tiba-tiba saja datang dalam kehidupannya dan mengaku sebagai salah satu anggota keluarga.
"Tapi ini acara makan malam keluarga lo, Far."
"Tapi ini juga hari ultahnya Om Frans! Mana mungkin gue lewatin! Nggak ada di kamus gue ya, Wen! Gue ngajak lo buat ke ultahnya Om Frans. Ke sini cuma sampingan. Paham?"
Saat memasuki restoran, langkah Farah berhenti tepat di samping salah satu meja. Pria itu ada di sana, sedang tersenyum menyambut kehadiran Farah.
"Kupikir kamu nggak akan datang," ujarnya dengan logat Bahasa Indonesia yang sedikit aneh.
"Nggak usah basa-basi. Langsung aja."
"Baiklah, setidaknya kamu bisa duduk dulu. Meskipun aku bicara langsung ke intinya, tetap butuh waktu, kan? Izinkan aku mengucapkan terima kasih, atas kedatanganmu dan ..." Pria itu memandang Farah dari ujung kepala hingga kaki. "Kamu, penampilanmu sangat manis dengan lipstik merah meronamu untuk ukuran orang yang dengan berat hati kemari."
Farah mencebik kesal, ditambah lagi dengan tingkah Wendi yang menarik kursi untuk Farah duduk.
"Seenggaknya duduk, ngemil appetizer kek, atau nge-wine," bisik Wendi, lalu mengambil posisi duduk di sisi antara Farah dan pria berlogat aneh itu.
"Berisik, ntar gue traktir di lamongan indah, ayam penyet sama lele goreng," lirih Farah.
"Semua keperluanmu sudah disiapkan untuk besok lusa. Kamu tinggal berangkat."
"Gue nggak mau!"
"Tapi dia butuh kamu."
"Setelah sekian lama dia nggak pernah nyari gue, dan sekarang-"
"Seperti yang sudah pernah aku bilang, dia malu, merasa bersalah, dan tidak berani bertemu denganmu. Tapi sekarang dia ingin bertemu denganmu."
"Gue nggak peduli!" bentak Farah seraya kedua tangannya menggebrak meja.
"Jaga tingkah dan ucapanmu! Dia adalah ayahmu!"
"Seorang ayah yang tidak menginginkan anaknya, apakah masih pantas disebut sebagai ayah?"
Pria di hadapan Farah kini menunduk, lalu menghela napas pelan.
"Aku tidak ingin kamu menyesal."
"Nggak akan! Dan ini untuk terakhir kalinya gue ngomong! Gue nggak mau ikut lo pergi!" tegas Farah seraya bangkit dari duduknya, "Ayo, Wen! Ada acara yang lebih penting dari sekedar dengerin cowok ini ngomong."
"Jadi kamu lebih mementingkan pria yang tidak pernah peduli padamu daripada ayahmu sendiri?" sindir Si Pria, yang berhasil membuat langkah Farah terhenti, "bukankah kalau dipikir-pikir dua pria itu sama saja? Keduanya tidak memedulikanmu? Lalu kenapa kamu memperlakukannya dengan berbeda?"
Farah tertegun mendengar ucapan Si Pria dengan iris mata abu-abu itu. Kalimat yang dilontarkan dengan nada datar itu, berhasil memukul telak logika dan perasaannya. Benar. Sosok ayah yang begitu didambanya untuk menjadi tempat berlindungnya di kala hujan deras dan kilat petir yang membuat Farah meringkuk dalam selimut. Sosok ayah yang diharapkannya, bisa melindungnya dari pria-pria bejat yang membuat putrinya sakit hati. Sosok ayah yang diinginkannya untuk menjadi tempatnya berbagi di saat senang maupun duka. Tidak pernah ada.
Kemudian ada Frans. Sosok pria yang selalu tak acuh dengan perasaan Farah. Sosok pria yang bisa melontarkan kalimat keji dan dingin dari mulutnya, hanya untuk Farah seorang. Sosok pria yang seolah memiliki prinsip 'lebih baik mati daripada berurusan dengan Farah'. Keduanya sama-sama tak pernah peduli dengan kehadiran Farah. Lalu kenapa Farah memperlakukannya berbeda?
"Jawab Farah," Pria itu masih menuntut.
Beberapa saat masih mendapati Farah terdiam, pria itu memilih untuk beranjak dari duduknya. "Ingatlah, kelak keluarga adalah tempatmu kembali, kami semua menunggumu di Rioja," lanjut Si Pria lalu memanggil pelayan dan memberikan kartu untuk membayar semua pesanan yang tidak pernah disentuhnya.
"Mau aku antar pulang?" tawar Si Pria lagi.
"Nggak perlu! Gue bisa pulang sendiri. Ayo, Wen!" ajak Farah, lalu melangkah cepat.
-----------------------------------------
Beberapa saat kemudian, Farah dan Wendi sudah melaju menuju rumah Frans. Ketika sampai di rumah Frans, situasi masih sepi. Tiba-tiba saja, Farah melihat Mbak Yum berlari keluar bukan dengan wajah bahagia menyambutnya, tapi panik!
"Mbak Yum kenapa?" tanya Farah setelah turun dari taksi.
"Anu ... itu, Non! Nyonya! Nyonya di rumah sakit."
"Hah?! Kok bisa? Kenapa?"
"Kecelakaan. Baru aja ada telepon dari polisi yang ngabarin," jawab Mbak Yum panik. "Ini kita semua mau ke sana."
"Ya udah, ayo. Mana yang lain."
"Lo ngapain di sini?!" pekik Frans, "Pulang!" perintahnya, lalu menyeret paksa Farah kembali ke rumahnya.
Farah meronta dalam cekalan Frans, dia berusaha melawan dan kembali ke rumah Frans.
"Om, aku mau ikut ke rumah sakit."
"Nggak usah! Bikin susah! Emangnya lo pikir Mama jadi kayak gini gara-gara siapa? Emang bawa sial lo!" ucap Frans, lalu menghentakan cekalannya kasar, membuat Farah terhuyung mundur hingga punggungnya menabrak pagar.
"Mas, jangan marahin Non Farah. Dia nggak tahu apa-apa."
Farah mengangguk cepat mengamini ucapan Mbak Yum. "Iya, kenapa gara-gara aku?"
"Mbak Yum, saya nggak tuli! Sebelum Mama lari keluar rumah, Mama teriak manggil-manggil Farah panik, khawatir nyariin dia!" Frans mendengus kesal, "Nggak tahunya dia lagi jadi perek!"
"Om!"
"Mas!"
"Heh!"
Pekik tiga suara bersamaan.
"Tarik lagi omongan lo!" gusar Wendi yang sekarang sudah berdiri di antara Farah dan Frans. Kedua netranya menatap nyalang pada Frans. Hatinya panas mendengar tuduhan Frans yang tanpa dasar.
"Apalagi kalau bukan dari merek? Lihat aja penampilannya!"
"Jaga omongan lo! Dia dandan cantik begini juga demi lo, Setan!"
Frans mencebik kesal. "Gue nggak butuh cewek murahan kayak dia. Gue udah dapet yang lebih baik. Emang bener yang dibilang orang, buah jatuh nggak jauh dari pohonnya. Nyokapnya perek, anaknya juga perek. Bapaknya aja nggak mau ngakuin. Makanya dia haus kasih sayang cowok-cowok dan cari perhatian sampai berpenampilan modelan gini. Gue sih-"
Kalimat Frans terhenti oleh sebuah tamparan keras dari Farah. Kedua netra gadis itu menatap Frans tidak lagi dengan cinta kasih. Kini dalam mata bening itu seolah hanya ada amarah, bercampur benci pada Frans.
"Om boleh aja menghina aku! Aku nggak peduli! Tapi jangan sekali-kali bilang sesuatu yang jelek soal Mama aku!" marah Farah, suaranya tercekat di akhir kalimatnya oleh tangis yang tertahan. "Selama ini aku nggak peduli, sekalipun Om Frans bilang aku cerewet, gampangan, berisik, nggak tahu diri, bahkan sekarang cewek murahan dan perek. Om boleh kasih aku sebutan apapun itu, sejelek apapun aku terima. Tapi nggak dengan Mamaku!"
Frans hendak berujar, tapi sebuah panggilan kembali membuat bibirnya mengatup rapat.
"Frans! Ayo!" panggil Yura dari dalam mobil.
Tanpa menjawab ucapan Farah, Frans memilih meninggalkannya, melaju bersama Yura, Om Ghani, dan Tama menuju rumah sakit.
Farah di sana, bediri dalam diamnya dan kedua matanya mulai memanas, hingga airmatanya tak tertahankan. Sakit. Terlalu sakit mendengar orang yang dicintainya, mengucapkan hal buruk tentang Mama yang tak lama dimiliki Farah. Hanya enam tahun kebersamaan mereka.
Sakit. Ketika Farah akhirnya menyadari kesalahannya, mencintai sosok Frans dengan membabi buta.
Sakit. Ketika Farah akhirnya menyadari bahwa seharusnya dia tidak memberikan perlakuan 'berbeda' pada orang-orang yang memang tidak menginginkannya.
Sakit. Ketika Farah akhirnya menyadari tidak ada orang di dunia ini yang menginginkan dirinya.
Lalu, kepada siapa Farah harus mengadu di dunia ini? Kepada Tuhan? Farah sudah melakukan itu berkali-kali. Berdoa, meminta agar seseorang datang pada Farah dan mengulurkan tangannya, menjadikan Farah sebagai orang terkasihnya. Apakah ini jawaban doanya? Apakah ini uluran tangan yang diberikan Tuhan?
Continuará