Kata orang, masa muda itu masa yang indah. Masa muda juga menempati masa terindah di benak orang, contohnya ketika kita berani memimpikan sesuatu yang belum tentu terjadi atau mungkin tidak terjadi. Kita juga mengenal hal baik dan buruk, serta mengaplikasikannya pada dunia yang keras ini. Selektif dalam memilih yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Orang bijak berkata, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Prestasi di masa muda akan menentukan prestasi di masa depan, maka berkaryalah. Kita, anak muda, kadang melupakan tujuan kenapa kita diciptakan. Ketika kita dilahirkan ke dunia, berbagai cita-cita dan impian ikut mengalir bersama raga sempurna.
Dari sudut pandang penulis, aku merasa masa muda memang masa yang indah. Biarpun berbagai masalah tentang kegalauan dalam memilih masih menjadi kendala, tetapi masih banyak cerita indah yang bisa diambil dari kisah masa muda ini. Biarkan aku menceritakan bagian kecil dari kisah masa mudaku kepada kalian. Cerita tentang terkadang walau kita telah mengalami sakit tidak selamanya kita mendapatkan kesenangan.
♣♣♣♣♣♣♣
“Kerjakan soal itu dalam 5 menit. Mulai!”
Sava di bangku belakang mencoba mengingat rumus yang dipelajarinya secara cepat sebelum kuis. Angka-angka di kertas itu semakin lama tampak berputar di matanya, mengeluarkan suara magis ‘tidur...’.
“Sava! Buka matamu dan kerjakan soalnya!”
Sadewa di sudut bangku belakang satunya sibuk membuka rumus yang ditulisnya di media yang dapat terjangkau oleh tangan dan mata. Rumus yang tertulis pada badan penghapus tidak cocok dengan soal di hadapannya dan rumus di sela-sela jarinya pun tidak.
Sadewa menghela nafas, mencari rumus lainnya di dalam tempat pensil lalu menemukan kertas kecil dengan rumus yang cocok dengan soal.
“Sadewa! Jangan mencontek!”
Berbeda dengan Sava dan Sadewa, Andre menjadi orang alim saat ini.
“Ya Bapa, jika aku diberikan kesempatan mengulang kehidupanku. Aku akan belajar keras menjadi anak yang pandai. Ya Bapa, berikan aku petunjuk atas kuis ini…” doa Andre sembari mengepalkan tangan di depan dada.
“Ini bukan di gereja, Andre! Kerjakan bukan berdoa!”
Di barisan bangku ke dua, Althaf memiliki cara untuk mengerjakan soal. Ya lebih baik dari teman-temannya yang diteriaki sedari tadi, “Woy, setelah dibagi diapakan?”
“Dikurangkan.”
“Lagi?”
“Masukkan ke persamaan.”
“Apaan sih? Kagak ngerti Gua! Coba lihat jawaban Lu!” Bu Vivi berdiri di samping Althaf menggelengkan kepala melihat siswanya aktif bertanya jawaban sedari tadi walau saat pelajaran tampak berusaha terjaga.
“Al, Bagaimana tadi setelah dikurang?”
“Woy! Bagi woy Gua kagak ngerti!”
“Al?” Bu Vivi kembali menegur halus.
“Duh! Berisik! Dia bilang masukan ke persamaan ta..di…” Althaf hening setelah menyadari itu suara milik Bu Vivi.
“Kerjakan sendiri Althaf!”
Sementara aku di bangku paling depan tersenyum mendengar nama teman-temanku diteriaki satu-satu. Ku lihat Bu Vivi memijit pelipisnya lalu memandang kami dari depan kelas, “Sudahlah, jadi berapa hasilnya anak-anak?”
“55!” teriak hampir semua anak.
“Tidak ada jawaban yang benar Bu.” Ini jawabanku pribadi.
Bu Vivi bergeming sebentar, “Bagaimana bisa Juna?”
“Jawabannya 56, tapi di opsi jawaban tidak ada. Jadi tidak ada jawaban yang benar.”
Seluruh anak-anak di kelas terdiam melihatku menjawab dengan senyuman polos kepada Bu Vivi. Sejak hari itu, Bu Vivi tidak pernah lagi memberikan soal kuis objektif kepada kelas kami.
-THE END-