"Mang es krim maaang...!"
"Aku dulu maang....!"
Anak-anak SD Negeri 101 sudah mulai berdesakan memenuhi motor tempatku berjualan. Cuaca sepanas ini memang cocok buat mereka makan es krim. Pedagang lainnya hanya bisa melongo melihatku dikerubungi anak-anak. Memang kuakui juga harga es krim termurah yang aku jual itu seharga dua ribu rupiah.
"Laris ya? Eh maaf bisa Bahasa Indonesia?"
"Saya asli Indonesia kok, Kak."
Agak terkejut si penjual sempolan di sebelahku itu. Iya dia mengira aku ini bukan orang Indonesia asli. Memang dari segi fisik nampak seperti orang barat. Berkulit putih bahkan kemerahan saat kena sinar matahari, rambutku ikal pirang, belum bola mataku yang lebih mendekati warna hijau.
Penjual sempolan itu cukup lama memperhatikan kotak es krim jualanku. Hingga akhirnya ia menganggukkan kepala. Sembari membaca keras-keras nama es krimku.
"ES KRIM MANG BULE...Ooh iya iya saya paham. Jadi dulu ada keturunan bule juga dari
keluarga."
"Iya, Kak."
"Wah seru ya bisa Bahasa Inggris juga berarti? atau Bahasa Belanda?"
"Nggak juga, Kak. Karena di keluarga kami lebih banyak memakai Bahasa Indonesia."
Kembali mengangguk si penjual sempolan itu. Sempat ia tersenyum sendiri saat memperhatikanku. Mungkin kondisi fisikku yang lebih mirip ke bule tapi jualan es krim ini unik bagi dia. Si penjual sempolan itu malah menyarankanku ikut casting iklan atau bintang film siapa tahu terkenal katanya. Namun aku cukup menggelengkan kepala. Ah! Nggak ada bakat aku disana.
***
Mang Bule, itulah panggilan dari orang-orang buatku. Meski nama asliku adalah Kiki, namun hanya orang terdekatku saja yang memanggilku begitu. Lagipula orang lebih suka panggilan itu meski aku tetap mengakui orang Indonesia asli dan bukan bule sungguhan.
Bahkan pernah ada kejadian lucu di salah satu TK saat aku berjualan. Ada satu anak laki-laki yang merengek ingin beli es krim di tempatku. Padahal banyak penjual es krim disana. Namun saat hendak membeli yang rasa apa anak ini agak bingung. Ia hanya menunjukkan saja. Lebih lucu lagi saat hendak membayar.
"How much sir?"
"Pakai Bahasa Indonesia aja dek. Mamangnya nggak tahu Bahasa Inggris."
Ibu si anak tadi bahkan tertawa cukup keras meski si anak masih kebingungan. Hingga akhirnya ibu tadi memberi anaknya selembar uang lima ribu. Lantas si anak memberikan uang itu padaku. Kuterima sambil tersenyum pada anak itu.
"Maaf ya mang kami kira mamangnya bule asli."
"Iya nggak apa, bu. Sering orang terkecoh dengan tampilan fisik saya."
Namun tak selalu jualan laris juga. Terkadang ada yang cuma ingin berfoto bersama. Berasa artis ya ah tapi artis kok jualan es krim. Beberapa teman sempat menyemangati saya semisal mau ikut casting. Siapa tahu dari sini justru bisa menambah penghasilan dan merubah nasib.
"Ayolah...Aku ada kenalan nih yang sering mengadakan casting."
"Nggak deh. Aku nggak biasa menghadapi kamera."
***
"Bang sebentar lagi Maya mau masuk sekolah. Dia butuh seragam baru."
"Kalau misal kita minta baju bekasnya si Vanya anak tetangga sebelah bisa kan?"
"Bukan begitu bang. Ini ada seragam khusus yang diwajibkan oleh sekolah. Kalau pakai punya
Vanya ya cuma seragam biru putihnya saja. Uangku cuma cukup untuk beli bahan kainnya dari
sekolah."
Aku terdiam cukup lama mendengar penjelasan dari Wita istriku. Iya, Maya anakku tak terasa sudah masuk SMP. Meski SMP Negeri yang terhitung murah tak ada biaya SPP namun biaya seragam tetap ada. Itu belum termasuk dia minta buku tulis dan peralatan sekolah lainnya.
Kupandang Maya yang sedang asik menonton televisi di ruang keluarga bersama neneknya. Maafkan ayah ya nak kalau seragam SMP mu nanti belum jadi. Aku meminta waktu sebentar pada Wita untuk berpikir sejenak. Meminjam uang lagi rasanya berat. Karena hutang yang kemarin saja masih belum lunas dengan jaminan sepeda motor milik Wita. Hingga teringat satu temanku dan segera ku telepon dia.
"Halo Win...."
"Eh halo, Ki. Ada apa? Gimana kabar udah lama nggak jualan bareng kita."
"Baik, Win. Eh iya istri kamu masih terima jahitan baju seragam?"
"Iya masih sih malah rame ini. Kalau mau jahitin baju juga antri ya. Kasihan dia sampe aku bantu.
Pelanggannya banyak pada gak sabaran."
"Nah itu dia aku mau jahit baju anakku, Maya. Tapi aku...aku....maaf bisa dicicil bayarnya?"
Erwin agak berpikir juga hingga akhirnya terdengar kembali suaranya. Semoga ini jalan terbaik.
"Begini saja deh, Ki. Bawa bahannya, ukur badan ke anaknya dulu, bayarmu mau dicicil satu
bulan besok deh nggak apa. Tapi maaf jadinya dua minggu dari minggu ini. Nggak apa?"
"Nggak apa, Win. Buatku yang penting Maya bisa pakai seragamnya."
Negosiasi singkat yang berujung deal di ujung telepon. Setidaknya cukup lega sesaat. Kusampaikan pada Wita bahwa biayanya memang tidak sedikit. Itupun terhitung sudah dapat potongan harga karena kenalan.
"Berapa bang?"
"Empat ratus ribu sedangkan pelanggan dia sudah diatas harga itu. Tapi jadinya seragam itu dua
minggu lagi. Sementara waktu biar Maya pakai seragam SD nya dulu. Abang usahakan jualan es
krim bisa lebih banyak lagi dapatnya."
"Iya Wita juga usahakan bisa dapat lebih bang."
Aku berterima kasih pada Wita. Meski dia tidak memberikan ucapan semangat secara langsung padaku. Namun ia turut membantuku untuk kebutuhan Maya.
***
Perasaanku hari ini memang tak enak. Terbukti, rupanya aku bertemu dengan Marno. Dia penjual es krim juga tapi ambil di agen yang berbeda. Hal yang paling tidak kusukai darinya itu kalau jualan selalu merasa memiliki wilayahnya sendiri. Jadi penjual lain tidak boleh masuk ke wilayah jualan dia. Sudah banyak keluhan dari penjual es krim lainnya soal sikap dia.
"Ini lagi bule miskin pake lewat di daerahku lagi!"
"Jaga omonganmu, Marno! Kita ini sama-sama jualan es krim."
"Kamu kan sudah tahu ini wilayahku ngapain lewat sini?! Mau cari masalah?"
"Aku cuma lewat bukan jualan. Ini kan jalanan umum bukan jalanmu!"
Seketika Marno memberhentikan motornya tepat didepan motorku. Ia turun dan tangannya sudah mengepal siap untuk memukulku. Memang diantara penjual es krim lainnya hanya aku yang berani menantang dia. Hanya saja selama ini aku memilih diam dan pergi. Sayangnya kali ini aku tak bisa langsung pergi. Apakah kali ini aku harus merasakan pukulan si Marno?
"Hoi! Kalian berdua ngapain di tengah jalan?!"
Seorang pengendara lain tepat lewat di samping kami. Ia memandang Marno dan aku. Sontak matanya terbelalak saat melihat Marno yang tengah bersiap memukulku. Orang itu segera menghentikan motornya hingga ada pengendara lain penasaran dan ikutan berhenti. Raut wajah Marno nampak panik. Ia tak mengira jalanan yang semula sepi ternyata jadi rame. Sepertinya Marno mengurungkan niatnya, bergegas menuju ke motornya dan pergi.
"Anda tidak apa-apa kan?"
"Nggak apa, Pak. Memang penjual es krim yang satu itu terkenal seperti itu sama penjual
lainnya."
"Wah kalau begitu nanti saya beritahu sama istri. Biar nggak usah lagi beli di dia. Karena hanya
dia yang lewat disini dan memang ada beberapa kejadian anaknya gak minta tiba-tiba sudah
diserahkan es krimnya."
Jadi makin tahu kelakuan busuk si Marno. Iyalah jualan semacam itu kan tidak bawa berkah. Benar bisa cepat habis es krim dia dapat banyak duit. Tapi dia tidak berpikir kalau orang tua yang uangnya mepet bagaimana? Tidak semua orang bisa belikan anaknya es krim dengan harga lima ribu rupiah. Apalagi kondisi ekonomi yang makin nggak jelas. Aku kemudian berpamitan dengan bapak tadi untuk mengejar waktu anak-anak SD kelas satu yang sebentar lagi pulang.
Tapi perasaanku masih nggak enak padahal Marno sudah pergi. Beberapa orang yang sempat mau menonton tadi pun juga sudah bubar. Dari kaca spion kulihat ada mobil Sedan merah berjalan mengikutiku. Kucoba untuk anggap mobil yang paling mau searah denganku.
***
Sampai dengan menjelang Maghrib, perjalanan pulang ke rumah. Sesekali masih nampak mobil sedan merah tadi. Kok aneh ya buat apa mengikutiku jualan? Apa salahku? Dengan perasaan yang semakin kacau aku coba membelokkan motor ke gang kecil menuju ke rumahku. Kebetulan juga gang menuju ke rumah tidak bisa dimasuki oleh mobil. Kulihat langsung ke belakang. Mobil itu sudah tak ada. Wah, baguslah! Pasti si pengendara mobil itu kehilangan jejakku.
"Sudah pulang, Bang? Eh ada apa?"
"Ng....nggak apa seharian tadi abang diikutin sama mobil sedan."
"Tapi abang nggak kenapa kan?"
"Nah, buktinya abang pulang dengan selamat!"
Wita paham betul melihat wajahku yang masih khawatir dengan kejadian tadi. Sungguh rasanya seperti buronan saja. Baru aku mau melangkah ke dapur tiba-tiba ada yang ketuk pintu dan Wita bukakan pintunya.
"Ya, cari siapa pak?"
"Maaf bu, bapaknya ada?"
"Oh ada sebentar ya."
Wita bergegas menarik lenganku yang mau mengambil segelas air putih. Katanya ada yang mau bertemu denganku. Sayang dia lupa menanyakan siapa namanya. Intinya ada dua orang. Kuintip dari dapur, sama sekali tidak kenal dengan wajah mereka berdua. Tapi rasa penasaranku makin besar kalau tak kutemui mereka.
"Ya, ng...maaf sebelumnya. Bapak siapa?"
"Ah iya maaf kami lupa memperkenalkan diri. Saya Pak Irwan."
"Saya Bagas."
"Mohon maaf jika kami dadakan dan sedari tadi mengikuti bapak berjualan. Kami dari tim kreatif eskrim IDOLA sedang mencari model untuk iklan TV. Kami berdua benar-benar tak sengaja menemukan bapak tadi di jalan."
"Iya, Pak. Saya kira tadi bapak bukan asli Indonesia. Tapi saat bapak berbicara Bahasa Indonesia tadi di jalan, kami jadi lebih yakin untuk menjadikan bapak sebagai figuran di iklan kami."
Deg! Seketika aku baru sadar. Rupanya merekalah yang mengikutiku tadi dengan mobil Sedan warna merah. Kupikir tadi orang-orangnya Marno yang hendak balas dendam. Wita keluar dari dapur sembari membawa cemilan ala kadarnya dan tiga gelas teh hangat. Tapi aku kan tak pernah ikut casting bintang iklan. Sekedar berbicara didepan kamera saja aku gugup.
"Jadi ini maksudnya..."
"Bapak besok datanglah ke alamat ini jam delapan pagi."
"Tapi...saya tidak terbiasa dengan...."
"Tenang saja, Pak. Besok kami jelaskan mekanismenya."
Buru-buru kedua orang itu pergi. Aku hanya menatap mereka sambil memegang kertas alamat yang diberikan. Kubaca seksama, iya aku tahu tempat ini kantor salah satu televisi lokal.
***
Aku tak mau datang sendirian, karena takut bagaimana jika kedua orang ini menipu? Namun abangku meyakinkan bahwa mereka orang baik. Langkah kakiku baru sampai di depan pintu. Ada Pak Irwan yang sedang duduk di sofa dekat pintu.
"Ah sudah datang...maaf Bapak ini siapa?"
"Ini abang saya Pak Irwan. Hanya menemani saja."
"Ooh kalau begitu biar tunggu disini dulu tidak apa. Kita ke studio 5 untuk syutingnya. Maaf pak sejak kemarin kita belum kenalan. Nama bapak?"
"Saya Kiki. Tapi biasa dipanggil Mang Bule."
Pak Irwan langsung memintaku mengikutinya ke studio 5. Langkah kakiku agak berat. Ingin rasanya kuajak abangku namun dia hanya memberi kode "sudah ikut saja, abang disini."
Lucu rasanya, Aku seperti anak kecil yang takut mau di ajak syuting. Kulihat ada Bagas sedang berbicara dengan anak laki-laki yang kalau tidak salah dia bintang cilik juga. Bagas menjelaskan padaku bahwa dalam syuting ini aku tak perlu berbicara cukup senyum alami, pakai pakaian yang disediakan, nantinya membawa es krim dan mengacungkan jempol. Anak kecil yang diajak bicara Bagas tadi melihatku cukup lama.
"Wah beneran ada bule-nya ya om Bagas?"
"Eh itu bukan bule lho asli orang Indonesia."
"Masa' sih om Bagas? Halo om bule...! Salam kenal aku Dito."
"Salam kenal juga,Dito."
Anak bernama Dito itu cukup terkejut juga mendengarku berbicara. Memang aku bukan bule asli hanya penampilanku secara fisik iya seperti bule. Bagas memintaku masuk ke ruangan make up. Disana aku juga sudah disambut sama perias dan memintaku berganti baju. Wah baju kemeja bunga, seperti di pantai. Perias itu juga hendak menepukkan bedak ke wajahku namun kutolak.
"Eh nggak usah deh...."
"Nggak apa kak, cuma tempel bedak aja biar wajahnya lebih bagus pas kena kamera. Tenang, nggak akan saya kasih lipstik kok."
Iya deh akhirnya mau ditepuk bedak meski tipis saja. Rasanya geli sampai dimakeupin. Untung Wita nggak melihatku. Setelah siap semuanya, syuting dimulai. Adegan berawal dari Dito dan beberapa anak yang akting kepanasan di pantai. Lalu sekejap muncul produk es krim IDOLA dari pasir pantai secara ajaib. Adegan ini setidaknya diulang dua kali karena ada anak yang salah. Setelah sempurna baru sutradara bilang "CUT". Syuting berlanjut dengan adanya Dito disana dan juga aku.
"Es krim IDOLA...! Memang enaaak lhoo...! Om Bule aja suka."
"CUT! Ulangi lagi ya. Pak, nggak usah grogi biasa aja."
Entah rasanya seketika jempolku kaku untuk digerakkan. Yaah ulang adegan lagi. Oke deh kali ini aku harus bisa! Lagipula tidak ada yang nonton kenapa harus malu ya. Ketika diulang aku bisa melakukan adegan yang dimaksud. Sutradara langsung mengacungkan jempolnya tanda sudah bagus. Lega rasanya berarti nggak perlu mengulang kembali.
***
Seperti biasa aku kembali ke rutinitasku berjualan es krim. Tapi rasanya ada yang berbeda kali ini. Beberapa anak TK yang kusambangi nampak senyum padaku. Bahkan ada yang spontan berteriak.
"Ibu...ibu...itu mamang es krimnya yang ada di TV."
Tentu ibunya terkejut hingga melihatku cukup lama. Kata-kata anaknya memang benar. Bahkan anak itu meminta beli es krim di tempatku. Disusul anak-anak lainnya ikut berdesakan membeli es di tempatku. Penjualan es yang awalnya tidak seberapa sekarang setidaknya di satu tempat habis setengah ember es krim delapan liter. Kalau datang ke tempat lain pasti jadi habis satu toples.
Maya pun saat menonton TV dan pertama kali melihatku ada disana sempat histeris. Tak menyangka ayahnya bisa masuk TV. Terkadang aku hanya tersenyum saja melihat ekspresi wajahnya. Pak Irwan dan Bagas pun berkunjung kembali ke rumahku.
"Pak Kiki, ini luar biasa! Kami sebagai tim kreatif tak menyangka bahwa laporan perusahaan es
krim IDOLA penjualannya meningkat."
"Maaf ini juga sisa pembayaran dari syuting iklan kemarin, Pak."
"Terima kasih Pak Irwan dan Pak Bagas."
Pak Irwan mendapat pesan dari petinggi perusahaan es krim IDOLA untuk memotretku sebagai model bersama bintang cilik Dito di stiker frezer es krim. Gugupku langsung keluar seketika. Tak tahu bagaimana rasanya pemotretan semacam itu. Nantinya aku juga dapat fasilitas frezer gratis bergambar diriku. Juga stok es krim gratis selama tiga bulan saja. Saat mereka pulang Wita berbisik padaku.
"Bang coba buka amplop uangnya. Dapat berapa?"
Kubuka amplop itu lantas kuhitung bersama Wita. Jumlahnya tidak kurang tidak lebih yaitu lima juta rupiah. Kupeluk Wita erat-erat ini lebih dari cukup untuk membayar hutang jahit seragam Maya. Juga bisa membelikannya peralatan sekolah. Sisanya akan kugunakan modal jualan. Aku benar-benar bersyukur malam ini. Tuhan tak pernah tinggal diam selama kita sebagai manusia berusaha dengan jalan yang baik dan pantang mengeluh.