Kisah ini terjadi hampir enam belas tahun yang lalu, disaat usia gue empat tahun. Masa-masa itu belum ada gudget yang merajalela seperti sekarang dengan berbagai games yang ada di dalamnya. Rental Playstation masih menjadi primadona saat itu, dimana setiap anak yang mempunyai uang maka akan ia bawa untuk bermain Playstasion. Ruang kecil seperti layaknya ruang tamu rumah menjadi tempat yang selalu padat akan anak-anak. Entah untuk bermain atau hanya sekadar melihat temannya yang sedang bermain seraya berharap esok ia akan bisa bermain seperti temannya.
Hari itu kebetulan sandal jepit gue putus, maklum sudah terlalu lama dipakai dan sudah terlalu tipis. Sandal jepit dipilih selain karena kuat dan awet, juga karena harganya yang sangat terjangkau. Makanya, setiap rumah memiliki sendal jepit lebih dari satu pasang.
Ibu gue akhirnya pergi ke warung yang nggak terlalu besar. Disana, dia membeli sepasang sandal jepit yang ukurannya sesuai dengan kaki gue saat itu. Setelah itu dia kembali dan memberi sandal itu untuk gue pakai.
“Sekali lagi rusak, besok nggak usah pakai sandal!” ujarnya setengah mengancam. Dan saat itu gue hanya bisa mengangguk seraya cengengesan. Sandal itu pas dikaki gue dan akhirnya gue melangkah ke rental Playstation untuk melihat orang yang sedang bermain. Setelah itu gue akhirnya masuk dan duduk manis. Tidak berselang lama, tiga teman baik gue datang dan tanpa basa-basi langsung duduk disamping gue.
“Lo mau main?” tanya gue.
Semuanya menggeleng. “Nggak punya duit!” jawabnya.
“Kalau lo?” dia balik bertanya.
Gue cengengesan, habis itu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Yah, sama aja!”
Hampir semua anak suka bermain games yang penuh dengan tantangan dan rintangan. Itulah sebabnya mereka sering berkerumun di tempat orang yang bermain games itu. Satu jam berlalu, timbul rasa bosan sebab kita hanya menjadi penonton, bukan pemain. Lain halnya jika kita menjadi pemain, maka berjam-jam berada di ruang pengap itu pun kita akan sanggup.
“Kita ke lapangan aja, yuk?” usul salah satu teman gue.
“Yuk!” semuanya setuju, termasuk gue.
Setelah setuju akhirnya kita keluar dari rental Playstation, lalu pas gue ingin memakai sandal baru gue, dua bola mata gue menatap nggak percaya sebab ada tiga pasang sandal yang sama persis berjajar dengan sandal gue dan semuanya masih terlihat baru.
“Sandal gue yang mana, ya?” gue kebingungan saat itu.
“Iya, sandal gue yang mana, ya?” teman-teman gue juga bingung. Detik itu juga suasana berubah menjadi ramai. Gue sama teman-teman gue saling mengklaim sandal yang paling bagus. Ibu gue datang dan juga Ibu dari teman-teman gue. Disaat kita tengah berkelahi, bahkan hingga nangis, mereka malah terlihat bahagia dan sibuk tertawa.
“Ibu beli dimana sandalnya?” Ibunya teman gue bertanya sama Ibu gue.
“Di warung situ.” Ibu gue menunjuk warung di ujung dekat lapangan.
“Sama,” sahutnya.
“Saya juga disitu,” sambar dua Ibu yang lainnya.
“Iya, katanya stok warnanya hanya tersisa itu dan ukurannya juga hanya yang itu.”
“Yaudah jadikan sandal bersama saja, biar nggak ribet!” celetuk Ibu gue seraya tertawa dan diikuti oleh tiga Ibu teman gue. Alhasil keempat sandal jepit itu menjadi sandal bersama, yang siapapun bisa memakainya jika keadaanya seperti ini dibangdikan harus terus berkelahi.