Read More >>"> Lantunan Ayat Cinta Azra (Welcome to Moskow) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lantunan Ayat Cinta Azra
MENU
About Us  

Sinar matahari telah menerobos jendela dan masuk ke dalam kamarnya. Hari kira-kira pukul tujuh pagi, Azmi baru bangun tidur. Ia kaget karena bangun terlalu siang, ia belum shalat subuh. Ia langsung bangkit dan mengambil air wudhu dengan tergesa-gesa. Ketika hendak shalat ia bingung arah kiblat. Terpaksa ia keluar kamarnya untuk menanyakan kiblat, kebetulan ada Sandy di ruang santai apartemennya yang sedang menonton televisi. “San, arah kiblat dimana? Kok Aku tadi subuhnya nggak dibangunkan?” gerutu Azmi.

            “Maaf Az, tadi pagi aku lihat wajahmu keliatan begitu capek, lagian kamu juga baru nyampe tadi malam, perjalanan Indonesia-Rusia bukanlah perjalanan yang dekat Az.”

            Azmi kembali ke kamarnya mengerjakan dua rakaat shalat subuhnya yang sangat telat itu, kemudian kembali ke ruang santai. Salju masih turun bagai kapas yang diterpa angin, pohon-pohon bereozka di kanan kiri jalan sesekali bergoyang dihempas angin, daun-daunnya telah tanggal satu persatu sejak musim dingin. Angin dingin terus berhembus perlahan dari kutub utara, menambah suhu udara semakin dingin membekukan apa saja yang dilaluinya.

Azmi mendekat ke arah Sandy, seketika dirinya teringat kalau Sandy adalah teman sekelasnya Azra. Muncullah dibenaknya sebuah niat untuk menanyakan hubungan Azra dan Zakky. “San….,” panggil Azmi.

Sandy yang masih asyik menonton televisi hanya menyahut tanpa menoleh kearah Azmi. “Ada apa Az?” tanya Sandy.

“Ada yang ingin kutanyakan padamu, ini penting! Perkara hati San.”

Mendengar penuturan Azmi, Sandy langsung menoleh ke arahnya. “Tumben Az, sudah sepuluh tahun aku bersahabat dekat denganmu tapi baru kali ini aku mendengar dirimu bicara soal hati. Haha…. Ternyata Azmi yang dingin ini juga punya perasaan ya!” ledek Sandy. “Oh iya, siapa orangnya Az? Boleh kutebak? Hmmm… Kayaknya Sylla deh, soalnya kamu dekat banget dengan Sylla,” tebak Sandy. “Iyakan! Yakan!” ujar Sandy meledek.

“Hmmm….. Bukan San.”

“Lho, terus siapa Az? Aku jadi kepo deh! Siapa sih cewek yang bisa menembus dinginnya dinding hati Azmi?” ledek Sandy.

“Tapi sepertinya dia mencintai orang lain San.”

“Kamu juga sih jadi orang jangan dingin-dingin banget, kalo kamu tetep kek gini kagak bakal ada cewek yang bakal tahu tentang perasaan kamu, seharusnya kamu ungkapin donk perasaan kamu itu. Jadi cowok itu harus gentle, kalo kamu gentle mengungkapin perasaan kamu mungkin saat ini dia mencintai kamu Az,” tutur Sandy panjang kali lebar.

“San…. Aku tuh mau cerita, eh kamu malah menjatuhkan aku,” rajuk Azmi lemas.

“Maaf Az, maaf, yaudah sok diceritain atuh.”

“Begini San, Aku sudah lama menyukai dia. Sejak kita baru masuk SMA dulu, pertama kali aku melihatnya saat dirinya latihan nyanyi dengan tim band sekolah kita. Suaranya lembut dan merdu banget, dan suara itulah yang membuatku jatuh hati pada pandangan pertama kepadanya. Tidak hanya itu San, dia juga cantik.”

“Hmmm… Tim band, siapa ya? Kak Silvi? Atau Sylla? Eh… Nggak-nggak Sylla tidak masuk list. Atau jangan…. Jangan Tiara? Suara Tiara kan lembut dan merdu, dia juga cantik,” tebak Sandy.

“Dengerin aku dulu San.”

“Okay.”

“Awalnya rasa itu hanya kekaguman belaka, yang rasa itu membuatku tidak berani untuk menatap wajahnya sampai aku selalu telat masuk kelas karena menunggu dia keluar dari mushalah dulu barulah diriku keluar. Awalnya semuanya bisa ku kendalikan, namun ketika aku satu tim dengannya perasaan itu semakin menjadi-jadi San. Sampai aku lupa akan sakit yang aku rasakan saat melihat dirinya bersama orang lain,” tutur Azmi lemas.

“Sumpah aku penasaran dengan tuh cewek, to the point aja Az, siapa sih sebenarnya dia itu?”

“Dia siswi teladan di sekolah kita San, seorang hafidzah yang begitu baik tutur katanya, aktivis sekolah. Siswi berprestasi, ahh…. Rasanya aku memang tidak pantas untuknya San. Dia terlalu sempurna untukku, mungkin memang orang itu yang terbaik untuknya.”

“Maksudmu Azra  Az! Afischa Azra kan!”

“Iya San, Azra dialah satu-satunya wanita yang bisa menggetarkan hatiku, bahkan Sylla yang selalu bersamaku saja tak mampu menggetarkannya.”

“Ehhh…. Tapi siapa laki-laki yang kamu maksud? Setahuku Azra nggak pernah dekat dengan laki-laki manapun!” ujar Sandy.

“Zakky San, kakak kelas kita yang kapten basket terbaik di sekolah kita yang selalu pegang juara ketika lomba. Iya dengan prestasinya yang baik itu dan dia juga aktivis sekolah plus seorang hafidz juga kurasa dia memang cocok buat Azra San.” lirih Azmi.

Sandy tertawa keras mendengar penjelasan Azmi sampai dirinya guling-guling karena tak sanggup menahan tawa. “Azmi…. Azmi…..”

Azmi kesal melihat Sandy bukannya ngasih solusi, malah tertawa “Sandy!” geramnya.

“Habis kamu juga sih Az cemburunya pada orang yang tidak tepat. Hahahh……” Sandy kembali tertawa terbahak-bahak.

“Sandy! Kok kamu nggak jelas gini sih! Maksud kamu apa?” ujar Azmi penasaran.

“Azmi…. Zakky itu sepupunya Azra, mana mungkin Azra jatuh cinta dengan Zakky. Kamu ini aneh ya! Makanya Az kalo cemburu itu harus liat-liat dulu siapa orangnya. Abinya Azra itu kakak Ayahnya Zakky Az. Makanya Zakky itu dekat benget ama Azra, lagian orang yang taat agama seperti Azra nggak mungkin dekat dengan orang yang bukan mahramnya. Banyak lho teman sekelasku yang suka dengan Azra termasuk aku. Hihi…. Tapi untuk mendekati dia itu sulit banget, padahal dia sekretarisku loh. Tiga tahun malah,” ujar Sandy.

“Eh kamu seriusan San?”

“Iya Azmi, aku serius! Masa aku bohong sama kamu. Lagian ya nih Az kagak ada untungnya aku bohong sama kamu,” tegas Sandy.

Azmi terdiam mendengar penjelasan Sandy, sungguh dia benar-benar  tidak tahu bahwa Zakky adalah sepupunya Azra. Berarti selama ini dia  telah salah paham. “Hmmm…. Berarti masih ada kesempatan bagiku untuk mengisi relung hatinya Azra,” batinnya.

Moskwa menjadi saksi kembalinya rasa cinta Azmi yang menggebu-gebunya terhadap hafidzah cantik nan lembut yang telah menerobos dinding hatinya Azmi, dia Afischa Azra.

***

            Superior Apart Seleznyov Sky, apartemen yang terdiri dari ruang tamu yang dilengkapi dengan TV layar datar dan AC, dan dapur kecil dengan microwave dan kulkas, serta kamar mandi pribadi dengan hot up dan bathtub juga dilengkapi dengan ruang makan dengan tempat duduknya juga. Yang paling penting dilengkapi dengan akses wifi gratis yang sangat cocok untuk mahasiswa seperti Azmi dan Sandy.

            Sesuai dengan rencana yang telah ia siapkan selagi di Indonesia Azmi berencana menikmati pagi pertamanya di moskwa dengan jalan-jalan ke Olimpiysky yang tak jauh dari lokasi apartemen mereka. Dengan bantuan google maps akhirnya dirinya dan Sandy sampai di Olimpiysky.

            Kompleks olahraga serbaguna terbesar di Eropa yang memiliki luas hampir 55.000 meter persegi ini terletak di jantung kota Moskwa dengan dimensi dan arsitekurnya yang begitu luar biasa membuat Olimpiysky ini menjadi ikon kebanggaan masyarakat Rusia khususnya Moskwa.

            Azmi berjalan menyusuri Olimpiysky melihat setiap sudut stadion yang begitu berkelas itu. Stadion yang sekelas dengan Manchester United ini membuat Azmi begitu terpukau dibuatnya.

            Sandy hanya bisa terdiam melihat kesempurnaan Olimpiysky, sebuah mahakarya yang dihasilkan oleh tangan-tangan manusia terampil ini mampu menyihir mata siapa saja yang melihatnya. Namun akhirnya Sandy tersadar bahwa ada mahakarya yang lebih sempurna daripada Olimpiysky ini yakni syurga-Nya Allah. Masya Allah.

            Kira-kira hampir dua jam Azmi dan Sandy menelusuri kawasan Olimpiysky ini membuat kaki Azmi terasa begitu keram, mungkin ini karena pertama kalinya bagi Azmi berjalan kaki selama itu. “San, istirahat dulu yuk!” ppinta Azmi.

            “Oalah… Okaylah.”

            Azmi dan Sandy duduk sembarang di rumput hijau di Olimpiysky, Azmi mengingat apa yang Sandy jelaskan pagi tadi. Hal itu membuatnya kembali bertekad untuk menemui orangtuanya Azra setelah dirinya lulus nanti. “Ya aku harus mengungkapkan semuanya kepada Azra, sudah terlalu lama aku memendam perasaan ini. Aku takut rasa cinta yang tak seharusnya ini melebihi rasa cintaku terhadap-Nya. Ya Allah lindungilah aku dari semua itu,” batin Azmi.

            Mengingat semua itu membuat Azmi bertekad untuk tidak merokok lagi karena dirinya tahu itulah yang membuat Azra menjauhi dirinya. “Iya mulai kali ini akan kucoba untuk meninggalkan kebiasaan burukku itu, iya demi Azra,” lirihnya.

“Azra….. Andai engkau tahu gejolak rasa ini. Ahhh… Aku terlalu berharap akan dirimu Ra, entah ini cinta atau hanyalah nafsu belaka? Namun bagiku rasa ini begitu mendalam terpatri didalam qalbu ini. Lillah… Izinkan aku mambersamainya kelak,” doa Azmi membatin.

***

            “Allahuakbar…… Allahuakbar……” Suara adzan dzuhur berkumandang di smartphonenya Azmi, ya sengaja dirinya setel karena dia tahu bahwa ini Rusia bukan Indonesia, suara adzan jarang ditemukan di Negara ini kecuali pada tempat-tempat tertentu saja tidak seperti di negaranya yang suara adzan bersahut-sahutan di mana-mana. “Hmmm…. Sudah dzuhur San, gimana kalu kita pulang saja?” ajak Azmi.

            “Iya Az, aku juga ingin membuat perapian untuk memanaskan tubuh, badanku rasanya ingin beku, disini dingin sekali.”

            “Tapi aku sudah tidak sanggup untuk berjalan lagi San, kita naik taksi aja ya!”

            “Yaudah yuk kita keluar dulu mencari taksi,” ajak Sandy.

            Hawa dingin Moskwa merasuki tubuh Azmi padahal dirinya sudah memakai pakaian empat lapis ditambah jaket tebal yang dirinya beli sewaktu ikut Papanya meeting dengan kliennya di Seoul. “Aduh…. Kalau begini bisa beku badanku lama-lama diam disini,” ujar Azmi.

            Tanpa disengaja Azmi melihat seorang wanita yang begitu mirip dengan Azra sedang berdiri di halte yang berseberangan jalan dengannya “Azra!” lirihnya.

            Azmi berjalan menuju dimana wanita itu berada namun metro lewat menghalangi pandangan matanya “Aiihhhh…. Kenapa harus sekarang sih?” gerutu Azmi.

            Beberapa jurus kemudian metro itu bergerak meninggalkan halte, wanita yang dilihatnya tadi juga ikut pergi bersama metro itu. “Yahhh…. Dia pergi! Aku yakin itu Azra, hijab itu….! Iya sepertinya itu adalah hijab yang aku hadiahkan untuknya waktu itu. Walau aku tahu dirinya tidak mengetahui bahwa hijab itu dariku, tapi aku bahagia ternyata hijab itu dipakai olehnya,” ujar Azmi.

            “Woii…. Az, ada apa? Kenapa kamu lari kesana?” tanya Sandy kebingungan. “Untung ini Moskwa bukan Jakarta. Kalo Jakarta kamu keknya udah nggak ada lagi di dunia ini” ketus Sandy.

            “Aku melihat Azra San!” jelas Azmi.

            “Azra? Haha….. Haha…. Azmi…. Azmi…. Kamu ngayal kali Az. Mana mungkin Azra disini Az. Setahuku Azra dapat beasiswa di Malaysia. Nggak mungkinlah dia menyia-nyiakan kesempatan itu. Kamu kira dia ke Moskwa mengejar cintamu, dan kamu menolaknya lalu dia jatuh cinta pada pria Rusia yang bermata hijau hingga menikah dengannya dan hidup bahagia selamanya di Moskwa yang dingin ini. Haha…. Baguskan drama yang ku buat!”

            “Bagus sekali sampai perutku rasanya ingin mengeluarkan segala yang tersimpan di dalamnya.”

            “Haha…. Lagian kamu sih ngaco, masa Azra mengejar kuliah disini padahal di depan matanya sudah nyata universitas yang menerimanya tanpa seleksi lagi dengan beasiswa pula,” papar Sandy.

            “Hmmm…. Tapi batinku mengatakan kalau itu Azra San,” ujar Azmi meyakinkan Sandy.

            “Udahlah Az, aku sangat tahu Azra, tiga tahun kami belajar bersama, tiga tahun kami satu kelas, dan tiga tahun pula kami satu organisasi. Azra itu tidak pernah mau merepotkan kedua orangtuanya, kamu tahu selama SMA Azra nggak pernah beli kebutuhannya di luar segala yang telah disiapkan di rumah dengan uang orangtuanya, dia wanita yang mandiri Az. Walaupun dirinya anak tunggal pengusaha kaya tapi dia selalu bekerja untuk menghasilkan uang sendiri. Pernah satu waktu dia kepergok olehku berjualan sosis bakar di taman kota,” papar Sandy.

            “Apa San? Jualan sosis bakar?” tanya Azmi terkejut.

            “Iya Az, aku liat dengan mata kepalaku sendiri.”

            “Rahmaan…. Benar-benar wanita yang tangguh,” ujar Azmi kagum.

            “Iya Az, aku salut dengan Azra, setahu aku ya kebanyakan anak orang kaya itu manja dan suka menghamburkan uang orangtuanya. Tapi Azra dia beda, dia benar-benar meneladani akhlak para istri Rasulullah. Bahkan yang aku tahu hasil usahanya sering ia sumbangkan ke panti asuhan,” jelasnya.

            Azmi terdiam mendengar penjelasan Sandy, melihat dirinya yang benar-benar jauh berbeda dengan Azra, dia tidak pernah mencoba untuk mencari uang sendiri, selalu minta dengan orangtua. Apalagi untuk sedekah rasanya sangat jarang sekali.

            “Ya Allah…. Rasanya aku memang tidak pantas untuk orang sebaik Azra?” batinnya.

***

Azra benar-benar tidak menyangka dan terpikirkan akan bertemu Azmi di Moskwa, padahal alasan utamanya untuk kuliah di Moskwa adalah agar tidak melihat Azmi kembali dan belajar melupakan Azmi untuk selamanya.

            “Ya Rabbi….. Mengapa harus seperti ini jadinya,” batin Azra.

            “Eh Ra, kamu kenapa?” tanya Tiara.

            “Aku nggak apa-apa Ti, hanya kedinginan saja. Ternyata Moskwa lebih dingin daripada yang kupikirkan,” ujar Azra.

            Tiara bingung dengan pernyataan Azra karena setahu Tiara ini bukan pertama kalinya bagi Azra berkunjung ke Moskwa.

            “Hmmm….. Bukankah sebelumnya kamu pernah ke Moskwa Ra?” tanya Tiara.

            Azra lupa akan hal itu, iya ini bukan yang pertama kali baginya berkunjung ke Moskwa, mungkin ini sudah yang ke delapan kalinya atau bahkan lebih.

            “Hmmm…. Iya Ti, tapi kali ini Moskwa terasa lebih dingin daripada sebelumnya,” ujar Azra berbohong.

            “Begitu toh Ra, Ra sebelumnya terima kasih ya, berkat dirimu aku bisa merasakan dinginnya Moskwa. Dan berkat dirimu nanti aku akan menjadi salah satu Mahasiswi di Moskwa ini. Demi Allah aku terharu Ra, melihat ciptaan Allah seindah Moskwa ini,” papar Tiara.

            “Jangan berlebihan Ti, kamu sahabatku. Saat aku punya sesuatu yang dapat kubagi maka akan kubagi denganmu, lagian kamu pantas mendapatkan semua ini Ti. Kamu siswi berprestasi di sekolah. Jadi kumohon terima ini semua dan buktikan kepada dunia bahwa kamu bisa. Buat kedua orangtuamu bangga,” ujar Azra.

            “Terima kasih Ra, kamu telah banyak membantuku, demi Allah aku belum pernah mendapatkan sahabat seperti dirimu,” isaknya.

            “Masih banyak orang yang lebih baik dariku Ti, aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan,” ujar Azra seraya tersenyum.

            “Aku sayang kamu Ra,” ujar Tiara seraya memeluk Azra dengan berlinang air mata haru.

            Azra membalas pelukan Tiara dengan pelukan sayang.

“Aku juga menyayangimu Ti,” ujar Azra.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • diandra_lovia

    MasyaAllah pengen deh jadi kayak Azra

    Comment on chapter Ikhwan yang Bersuara Merdu
Similar Tags